Kepincut

Seide.id -Kepincut, agak susah dicari padanannya dalam satu kata. Kepincut artinya kurang-lebih adalah: ketertarikan secara emosional -nyaris tanpa mikir- kepada sesuatu dengan “segenap jiwa” terhadap sesuatu atau seseorang.

Terus terang, keterpincutanku terhadap persepakbolaan kita, selesai ketika aku kelas 2 SMA.

Begini. Ketika kecil sampai usia SMP, aku tinggal di jalan Jendral Soedirman. Tak jauh dari patung Pemuda, persis di seberang Ratu Plaza. Tentu perkampungan kami itu dulu, bukan kompleks perumahan elit, meski di jalan protokol Ibukota.

Aku kerap menonton sepakbola di GBK (dulu kami menyebutnya cukup stadion saja). Aku cukup berjalan kaki menuju ke-sana. Masuk pun, biasanya aku ikut atau minta diajak masuk bersama seorang bapak yang menurut insting anak-anakku, bapak ini atau om itu baik dan biasanya mengajak masuk (sekarang anak-anak pun harus bayar, rasanya). Setelah masuk, setelah mengucapkan terimakasih, baru saja masuk di pintu gerbang kami berpisah, aku berlarian menuju ke-atas. Karena pandangan dari atas itu mengasyikkan menurutku. Kita bisa melihat seluruh pergerakan pemain dari ke-dua tim yang sedang berlaga. Malah lebih asyik daripada di tribun bawah dekat lapangan, yang membuat pandangan kita terhadap para pemain seperti tak maksimal, karena datar. Nanti ketika pulang, aku berpatokan kepada tulisan besar KONI, yang menyala bergendat-gendat karena huruf-huruf itu ditempeli neon-sign. Sebab jika salah -karena stadion itu besar- maka aku bisa tersesat sampai ke-Palmerah!

Para pemain hebat jadul itu, masih aku ingat lekat-lekat, sampai ke tipe dan gaya permainan, bahkan karakternya. Junaedi Abdilah, play maker yang tampan, tinggi besar, tenang dan… umpan-umpannya selalu membuka peluang menyerang dan memudahkan kawan. Rony Patinasarani yang kerempeng dan terlihat agak ringkih dibanding tekan-rekannya, tapi skill alamiahnya luarbiasa, ketika mendribel bola selalu bisa mengecoh lawan.
Iswadi Idris yang gempal, tapi lentur dan memiliki ‘tendangan geledek’! Anwar Ujang, pemain belakang yang susah ditembus dan pernah dipuji oleh mendiang Pele, sang legenda Brazil. Ronny Paslah, penjaga gawang tinggi besar yang bisa ‘terbang’ dan agak jail, sebab lututnya kerap ‘naik’ jika melompat ‘memetik’ bola. Abdul Kadir, pemain kiri luar yang gesit, sehingga dijuluki si Kancil. Jacob Sihasale yang terkenal dengan tendangan salto. Risdianto, penyerang cerdas, yang cepat, lincah dan haus gol. Simson Rumahpasal yang selalu menurunkan kaus kaki sebelum masuk ke-lapangan. Nobon, yang tegar, tak pernah gentar beradu fisik, meski postur tubuh lawannya lebih besar. Anjas asmara, anak Medan yang imut, gondrong dengan gaya khas ketika menggiring bola, dst, dll, dsbg.

‘Prestasi’ terbaikku (haha) di dunia sepakbola adalah ketika aku menjadi penjaga gawang di tim kelas pada awal-awal SMA. Ini tim kelas lho, bukan tim yang mewakili sekolah! Tapi tim kelas ini, tak main-main, karena berani dan kerap bertanding di luar sekolah melawan klub-klub sepak bola ‘serius’ di sekitar sekolah (aku dulu melihatnya seperti bapak-bapak). Salah-satu teman sekelas, mungkin ayah salah-satu pengurus atau apalah di Persija, sehingga anaknya jago main bola dan membentuk tim kelas itu. Dia juga yang membuat kami punya seragam dan serius berlatih dan kerap (gaya-gayaan) menantang klub sepakbola serius untuk bertanding. “Sering bertanding -selain latihan- membuat kita mengetahui kekuatan dan kelemahan kita” katanya selalu.

Di dunia kerja, dunia dewasa kami kerap ngobrol ngalor-ngidul-ngetan-ngulon tentang sepakbola. Terutama jika sedang ada turnamen sepakbola penting, baik di tingkat Nasional apalagi Internasional. Usia teman kerja dan ngobrolku beragam. Dari usia yang sepantaran, sedikit lebih muda bahkan ada yang sedikit saja lebih tua dibanding usia anak-anakku.

Jika aku katakan gak ngeh tentang kekuatan persepakbolaan kita, apalagi mengetahui dengan detail sampai gaya permainan dan karakternya, biasanya yang seusia anakku akan mengejek: “Aah, gak nasionalis”
“Lho, lho,…justru nasionalis. Karena aku sangat kecewa berat terhadap prestasi persepakbolaan kita. Makanya aku males nonton. Karena jika kita berteriak memberi semangat sampai serak pun dan berharap jadi juara dunia dengan materi seperti itu, itu namanya tak realistis”.
Kamu tahu Anjas Asmara?”
“Pernah dengar dan sedikit-sedikit tahu dari bacaan”
“Naah, kamu tahu dari bacaan. Aku menyaksikan langsung dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana Anjas Asmara menangis!”
“Waah..,seru nih. ‘Gimana..,.ceritanya?!”

Itulah, yang aku anggap era terbaik dunia persepakbolaan kita. Waktu itu kita bertarung melawan Korea Selatan di final, untuk memperebutkan tiket ke-Olimpiade mewakili Asia(?). Skor sama kuat. Sampai perpanjangan waktu pun, skor draw tak berubah. Lalu, diadakan adu penalti. Kita akhirnya kalah tipis. Tapi tipis atau tebal, kalah ya kalah. Korea Selatanlah yang berhak mewakili Asia berlaga di Olimpiade. Anjas Asmara, salah seorang yang gagal menjadi eksekutor adu penalti itu… wajar jika menangis. Cukup lama Anjas sesenggukan sebelum pelatih membujuk dan menenangkan hatinya.

“Aah, mas ini selalu saja membandingkan pemain-pemain sepakbola kita sekarang dengan pemain-pemain jadul”
“Eh..jadul atau bukan ..old school atau milenial . hlaah.. jadi aku harus membandingkannya dengan siapa? itu ‘kan pemain kita. Mosok aku harus membandingkan dengan: Messi.., Zico? Iniesta?.. Cafu? ..George Best? ..Johny Repp?.. Eric Cantona?.. Puscas? ..Lev Jassin?

Sekarang,…Korea Selatan (malah sudah belasan tahun lalu) menjadi salah-satu negara yang sepakbolanya diperhitungkan di dunia. Sementara kita.., di Asia Tenggara saja.., beraaat sekali untuk menjadi juara.

Kemarin aku gemes, takhabisfikir, geregetan dan sedih menonton televisi. Berita di tv mengabarkan bahwa pendukung tim sepak bola kita telah membuat malu karena melempari bus yang ditumpangi dan meneror para pemain Thailand.

Beberapa hari lalu, para pemain bola kita membuat kita (minimal aku) geregetan. Kita sudah memimpin. Skor 1-0. Tim Thailand tentu saja begitu bersemangat untuk membalas. Terus menyerang. Sampai salah seorang pemain Thailand melakukan pelanggaran keras, memperoleh kartu merah alias diusir ke luar dari lapangan. Aah.., kita akan mengira, gol-gol yang dicetak oleh pemain-pemain kita akan bertambah. Tapi,…lho.. lho..lho… boro-boro gol dari tim kita bertambah.., lha, kok kita bukannya menambah gol. Malah dengan pemain yang sudah berkurang, ..ee,…Thailand malah bisa mencetak gol! Skor akhir 1-1. Lalu…, aku menonton berita bahwa penonton pendukung kita melempari bus yang ditumpangi oleh para pemain Thailand. Busyet! Maka, sempurnalah “kecerdasan” dunia persepakbolaan kita!

Aku teringat ucapan bernada gurau tapi sungguh menohok dari seorang teman, pelawak kondang yang sekarang jadi politisi. Dia berpindah-pindah partai. Sekarang menempati posisi cukup tinggi di sebuah partai besar.

Suatu ketika dia bilang: “Sebetulnya, kita beruntung jika menonton sepakbola di sini”
“Beruntung,?”potongku.
“Iya! Bayangkan,…kita membeli tiket untuk menonton 1 cabang olahraga. Tapi yang kita tonton, beberapa cabang olahraga. Ada: tinju, silat, karate, tarkwondo, kadang masih ditambah lempar lembing”

Sekarang, dia sudah jadi politisi, menempati posisi yang lumayan tinggi di sebuah partai besar. Bukan tak mungkin suatu saat dia bisa menjadi ketua PSSI…

(Aries Tanjung)

Qatar (Tak Mau) Ketinggalan Kereta