DIAH:
Aku tahu mudik itu dilarang. Tapi di dalam hati, siapa sih yang tidak kepingin mudik? Ketemu kerabat, anak dan cucu? Bersilaturahmi di Hari Raya, setelah sebulan berpuasa? Tentu aku sangat kepingin, walaupun ragu. Kopit itu lho, yang bikin hati in aras-arasen.
Aku biasa pulang naik trepel. Di situ ada pemudik lain. Lalu di jalan trepel berenti di lestoran untuk berbuka puasa lalu sahur. Makan kan harus buka masker. Di rumah saja Nyonyah selalu bilang kalau aku keluar mengambil paket: masker, masker, masker…
Lalu datang kesempatan itu. Adikku mengajakku pulkam naik mobil pribadi, berempat. Tidak melanggar aturan sebab pulkamnya sebelum tanggal yang dilarang. Ia dan anaknya sudah seminggu lalu ke puskesmas untuk tes apa itu… pokoknya mereka akan bawa surat. Aku sendiri sudah paksin pertama. Kata ART tetangga, surat paksin itu laku sebagai surat jalan.
Tapi justru paksin itu yang jadi pikiran Nyonyah. Katanya, “Kamu kan akan paksin kedua tanggal 6? Masa batal padahal itu sudah usaha maksimal pemerintah?” Nggak tahu aku, maksimal itu apa. Pokoknya Nyonyah kelihatan kesal. Dia juga ngomong entah apa tentang surat jalan itu.
Sumpah, sebenarnya aku kepingin banget pulkam, tapi aku juga takut. Gini-gini aku nonton telepisi. Aku tahu bahayanya Kopit, juga akibatnya kalau orang-orang rame-rame pulkam. Bisa-bisa melonjak. Ya sudah, aku nurut sama Nyonyah. Larangannya membuat aku bisa mengambil keputusan, menolak ajakan adikku.
NYONYAH:
Beberapa minggu sebelum Lebaran aku sudah curiga. Pulang dari pasar berbekal uang pasar plus uang baju, kukira ia akan membeli beberapa daster dan baju untuk ke pasar. Tapi apa yang kulihat? Long dress! Lengkap dengan hijab warna senada.
Melihat aku menatap heran (mencoba tidak berkomentar), ia berkata, “Siapa tahu bisa pulang, Nyah?”
Ia juga membeli lagi beberapa baju kecil untuk cucu perempuannya di kampung. Waktu kutawari untuk mengirimnya melalui kurir seperti sebelumnya, mumpung kurir akan datang menjemput kirimanku, ia menolak. “Mahal, Nyah. Nanti aja saya bawa sendiri. Siapa tahu….”
Lalu hari itu ia mengungkapkan niatnya pulkam tanggal 4 Mei. Aku tahu ia rindu. Kalau aku punya kampung, tentu aku juga ingin sesekali pulkam. Itu manusiawi. Tapi tidak semua keinginan harus difasilitasi, kan?
Menyikapi ART, khususnya yang lagi kebelet mudik, memang seperti bermain layang-layang. Tidak selalu benang harus diulur, ada kalanya harus ditahan dan ditarik.
EPILOG:
Setiap kali membaca dan menyaksikan berita tentang mereka yang berhasil lolos pulkam dengan cara mengadali atau main kucing-kucingan dengan polisi (1,2 juta telah meninggalkan Jabodetabek, kata Kompas hari ini), aku jengkel walau tak berdaya. Membaca tentang upaya pemerintah mengantisipasi lonjakan kasus Covid 19 (karantina, pengobatan bila penularan telanjur terjadi) hati ini semakin nyesek.
12 Mei 2021