Foto : Melk Hagelslag/Pixabay
Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
Sang filsuf Blaise Pascal, berujar, “Sesungguhnya, sang manusia ini tidak bahagia, karena mereka tidak bisa tinggal diam sendirian di kamarnya.”
Manusia memang selalu ingin berada dalam keramaian, walaupun keramaian itu tak memberinya tempat dan kemungkinan untuk menukik ke dalam kediriannya yang terdalam.
Kendati demikian, manusia selalu terdorong untuk kembali kepada kesendirian dan kediriannya.
Ada empat orang manusia pernah terjebak dalam terowongan gelap. Spontan keempat manusia itu mereaksi atas sikon itu.
Yang seorang dalam kecemasan, berusaha mati-matian untuk ke luar dari kegelapan dengan berlarian kian kemari mencari lubang agar segera bisa ke luar.
Yang seorang, justru santai saja, bahkan sambil menyandarkan tubuhnya, ia bernyanyi seolah tidak terjadi sesuatu.
Yang seorang lagi, justru tidur dengan nyenyak dan bahkan sempat mengorok.
Sementara itu, orang keempat mengatupkan bola matanya sambil berkomat-kamit, sedang berdoa agar segera ke luar dari kegelapan itu.
Saudara, ini fakta reaksi spontan sang manusia kala menghadapi suatu masalah.
Sesungguhnya, inilah yang terjadi dalam keseharian sang manusia. Aneh? Tidak! Berbeda? Ya, berbeda!
Di sini, dipertontonkan bahwa memang, sesungguhnya sang manusia itu makhluk personal, individual, yang tidak membutuhkan ulurang tangan sang manusia lain.
Yang mengusik nurani saya, justru mengapa keempatnya tidak berusaha untuk menggalang kekuatan bersama dan mencari solusi bersama.
Mengapa mereka justru hanya berupaya sesuai pandangannya sendiri.
Dalam konteks ini, sang manusia sesungguhnya hanya mau mengabarkan kepada semesta, bahwa dia toh makhluk personal yang bebas menentukan sikap dalam kondisi apa pun.
Jika memang demikian, kesendirian adalah saat paling nyaman bagi sang manusia.
Seolah sang manusia itu mau mewartakan bahwa, tatkala datang dari rahim Bunda, aku toh sendirian, dan kelak kembali ke rahim bumi, aku toh akan sendirian.
Malang, 6 September 2022