Ketupat, Media Dakwah Sunan Kalijaga

Penulis KHOIRUNNIS SALAMAH Editor WK Foto WK

Seide.ide – Thomas F. O’Dea berpendapat, agama mempengaruhi sikap-sikap praktis manusia terhadap berbagai aktivitas
kehidupan sehari-hari.

Salah satu teori sosiologi, teori fungsional, memandang agama terkait dengan aspek pengalaman yang mentransendenkan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari, yakni melibatkan kepercayaan dan tanggapan terhadap sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia.

Oleh karena itu, secara sosiologis, agama menjadi penting dalam kehidupan manusia ketika pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana untuk melakukan adaptasi atau mekanisme yang dibutuhkan.

Tulisan ini akan membahas penyebaran agama yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga (1450-1513) dengan menggunakan pendekatan budaya.

Pendekatan budaya ini lebih ke arah menyesuaikan atau adaptasi dengan budaya terdahulu, namun disisipi nilai-nilai Islam.

Contohnya, Sunan Kalijaga menggunakan ketupat sebagai media dakwahnya.
Ketupat yang eksis hingga kini merupakan sebuah keberhasilan beliau dalam menggunakan pendekatan budaya dalam proses penyebaran Islam di Jawa.

Apa itu ketupat?

Ketupat, yang di Jawa dikenal dengan nama kupat, merupakan hidangan khas Asia Tenggara maritim berbahan dasar beras, yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa muda (janur), atau kadang-kadang dari daun palma yang lain.

Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran sampai lima hari berikutnya, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa.

Di Filipina, ketupat dikenal dengan nama bugnoy.

Bentuk ketupat

Ada dua bentuk utama ketupat, yaitu kepal bersudut tujuh (lebih umum) dan jajaran genjang bersudut enam. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda.

Untuk membuat ketupat, perlu dipilih janur yang berkualitas, yaitu yang panjang dan lebar, tidak terlalu muda, dan tak terlalu tua.

Tradisi ketupat di Jawa

Mengutip dari Wikipedia, tradisi ketupat (kupat) lebaran menurut cerita adalah simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa
“ku” = ngaku (mengakui) dan “pat” = lepat (kesalahan) yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, yang pada waktu itu masih banyak penduduknya yang meyakini kesakralan kupat.

Asilmilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan ketupat menjadi tradisi Islami ketika ketupat menjadi makanan yang selalu ada di saat umat Islam merayakan Lebaran sebagai momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan.

Filosofi ketupat

Tumenggung (1984) mengatakan bahwa ketupat mengandung makna tasawwuf atau
tarekat sebagai berikut:

  1. Kulit atau janur pembungkus merupakan simbol syariat agama Islam
  2. Cara memasukkan beras (ukuran), menyiapkan bumbunya, dan usaha merebus ketupat, merupakan simbol usaha/tarekat (jalan)
  3. Ketupat yang sudah masak menjadi nasi (penyatuan beras), merupakan hakikat (tujuan akhir yang benar)
  4. Menyantap ketupat yang enak dan gurih, merupakan ma’rifat atau pengenalan.

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.