Kita Tahu Keluarga Ini

Oleh DIMAS SUPRIYANTO MARTOSUWITO

YA, kita sama sama tahu keluarga ini. Keturunan pengusaha legenda, yang membangun bisnis sejak 1942. Tapi peningkatan kekayaanya melesat setelah pewarisnya terjun politik. Masuk partai, menjadi ketua umum, wakil rakyat dan jadi pejabat negara. Menjadi menteri koordinator; menko kesra dan menko ekonomi pada pemerintahan lalu.

Setelah jabatannya lepas, pamor di bisnisnya merosot. Saham perusahaannya anjlok, seharga permen, dan sampai kini masih menanggung hutang Rp.773 miliar sebagai buntut bencana lumpur di Sidoardjo, Jawa Timur. Terbaru malah tersangkut skandal yang menyebabkan kerugian Jiwasraya sejak tahun 2006, ada penempatan investasi Rp1,7 triliun. Diduga saham bodong. Saham gorengan.

Kendati begitu anak anak dan keturunanya cuek saja. Tetap pamer kekayaan tanpa rasa malu. Dan ada upaya ngemplang juga. Negara terus mendesak tapi diacuhkannya.

Kita tahu pasangan yang bersinar di keluarga ini. Pasangan ganteng dan cantik. Selebritas. Nyaris sempurna dan tak menginjak bumi. Liburan dan foya foya kerjanya – sebagaimana nampak di akun media sosial mereka – selama ini.

Foto : instagram.

Hidupnya makmur, berlimpah harta dan sentosa – tapi seperti tak bersyukur. Enggan berbagi kepada sesama juga. Yang nampak di medsos terus menikmati pesta, liburan, pamer harya dan hura hura. Seakan negara dan bangsa ini sedang baik baik saja.

Tentang tidak berbagi kepada sesama, saya memang tidak tahu persisnya. Baik sangkanya, barangkali, suka beramal tapi tidak dipamerkan. Tapi bagaimana kalau memang tidak ada yang bisa dipamerkan – lantaran tidak pernah beramal?

Nampaknya memang makin ngetrend, gaya hidup warga superkaya yang tak menginjak bumi. Bergaya Sultan. Di tengah pandemi terus berlomba pamer harta, asyik menikmati liburan dan menghamburkan uang.

Sisi baiknya, industri akomodasi dan pariwisata hidup. Sisi buruknya kita bisa lihat manusia Indonesia yang tak punya kepekaan.

Foto instagram.

Barangkali di negara Ethiopia, Nigeria, Bangladesh, Kolumbia dan Timor Leste ada sosialita juga. Seperti mereka. Kaum jetset! Tapi apa sih yang terbayang warga dunia tentang negara negara itu? Kemiskinan, tumpukan hutang dan keterbelakangan!

Demikian juga warga dunia melihat Indonesia. Sosialita berfoya foya di tengah kemiskinan dan pandemi. Tagihan hutang ratusan miliar pada negara. Saat negara sedang pontang panting menyetop bencana.

Dan air mata saya menetes saat membaca kisah nestapa, tukang bubur di Tasikmalaya yang didenda Rp5 juta – lantaran melanggar PPKM – sementara yang hutang Rp.770 miliar bisa pesta pesta dan pakai narkoba.

KITA KENAL KELUARGA SEPERTI INI. Bisa mengurus dan mengatur segalanya. Berdasar kasus sejenis, kita layak menduga bahwa mereka akan direhabilitasi – karena baru kali jadi urusan polisi.

Boleh jadi hamba wet ini akan terus memproses mereka, agar masuk jeruji besi. Tapi jangan lupa, jaksa dan hakim bisa dilobby. Ingat kasus jaksa Pinangki yang dapat vonis ringan karena penegak hukum di pengadilan masuk angin, belum lama ini?

Barangkali vonis rehabilitasi juga cuma basa basi. Dan setelah itu akan mengulangi, foya foya lagi – sebagaimana yang terjadi pada para selebritii.

Kasihan benar abang tukang bubur di Tasikmalaya. Dan juga warga Sidoardjo, korban lumpur Lapindo di Jawa Timur sana. Keadilan tidak berpihak pada mereka.

YA, YA, YA. KITA KENAL KELUARGA INI. Penguasa dan pemilik media dan jaringan televisi – yang dijadikan bemper dan alat untuk mendukung kaum oposisi.

Hanya bermodal sinyalemen, “katanya, … katanya…” dan “kami dengar… ” host mereka bisa menampung narasumber anti pemerintah, pengamat, untuk membenarkannya. Menjadikan opini pembenaran tudingannya.

Stasiun teve grup keluarga ini yang menghadirkan dan mengorbitkan “filsuf jadi jadian”, yang gemar “men-dungu dungu-kan” orang yang berseberangan pendapat dengannya.

Ketika berita penangkapan boss mereka tidak tayang di grup media itu, siang dan petang kemarin – nampak ada jajaran redaksi menjadi dungu berjamaah. Ada berita besar yang tidak tayang. Padahal ditunggu tunggu oleh para “phemirzahhh…”

Produser, pemred, redaktur, reporter dungu bareng. Kompak.

Karma gak pakai lama, ya? Wartawan itu Ratu Dunia, – konon sebutannya begitu katanya. Tapi itu dulu. Di ketiak korporasi kini – wartawan jadi skrup perusahaan dan orang gajian. Pegang nomor induk pegawai. Berita heboh, viral, skandal besar, tentang boss meraka, masuk di laci. Didelete dari newsroom – bahkan boleh jadi tak dibikin sama sekali.

Name make news. Public figure. Celebrity. Proximity. Aktual. Faktual. Controversial. Sensasional. Viral. Hot News. Semua kriteria terpenuhi….. Tapi aakh, itu ‘kan teori? Berlaku untuk orang lain. Bukan untuk Boss kami. Boss anda, maksudnya!

Kini yang terjadi adalah “kontroversi hati” yang “mempertakut” – karena ancaman “labil ekonomi”, akibat tekanan dari pihak yang menguasai “konspirasi kemakmuran”. Sehingga harus “kudeta hati”. Nampaknya perlu “harmonisasi” di semua level demi “konsonan langit”. Apalagi buat yang sudah bekerja “twenty nine years age”.

Ala mak jaaang… Daku kena virus “Vickisinisasi” ! ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.