Upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan sektor kesehatan demi kesejahteraan 270 juta penduduknya menemui hambatan yang tak terduga dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang kuat. Suku, agama dan keturunan ditanyakan kepada dokter lulusan luar negeri yang ingin kembali ke tanah air. Kritik dr. Tony Setiobudi yang dimuat The Strait Times – TST mengakibatkan IDI melayangkan surat protes ke Singapore Medical Association(SMA) dan meminta SMA memberikan hukuman.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
TELAH lama menjadi pergunjingan bahwa organisasi kedokteran di Indonesia mengarah ke “kanan”, menjadi ormas yang mengarah ke sektarian dan intoleran. Kalangan dokter dari kaum minoritas kesulitan mendapat izin praktik, bahkan dihambat berpraktik – atas pertimbangan suku, agama dan keturunannya.
Pergunjingan itu menemukan faktanya melalui pernyataan Dokter Tony Setiobudi, dokter asal Indonesia, yang kini berpraktik di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Dokter Tony Setiobudi adalah seorang ahli bedah ortopedi dan dosen senior klinis di National University of Singapore.
Mount Elizabeth Hospital merupakan rumah sakit yang sangat terkenal bagi orang Indonesia, dimana 70 persen pasiennya adalah orang Indonesia. Bahkan, seluruh stafnya adalah orang Indonesia. Sebagian dokternya pun orang Indonesia. Hal itu ironis dalam pandangan dokter Tony.
Menurut dokter Tony, salah satu perbedaan mencolok antara dunia kedokteran di Singapura dan di Indonesia adalah, yang satu menggunakan meritokrasi, yang satu lagi sedang melestarikan praktek diskriminasi.
Dia menyelesaikan gelar sarjananya di Universitas Flinders di Adelaide, Australia Selatan. Kemudian melanjutkan pendidikan di Royal College of Surgeons of Edinburgh, Inggris dalam bedah ortopedi.
Selain itu, dia juga melanjutkan pendidikan di Brisbane, Australia. Pada 2015, dokter Tony menerima Long Service Award.
Dalam pernyataan yang menjadi viral, dr. Tony Setiobudi menyoroti berbagai kebijakan di bidang kedokteran, terutama dominasi organisasi profesi yang cenderung menghambat perkembangan dunia kesehatan nasional dan menghalangi upaya pemerintah Indonesia memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia.
Pernyataan dokter Tony Setiobudi mendapat respon berbagai pihak dan tampil di media massa mainstream Singapore, The Straits Times (TST), edisi 30 Desember 2022.
“Upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan sektor kesehatan demi kesejahteraan 270 juta penduduknya menemui hambatan yang tak terduga: Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang kuat.
“Birokrasi asosiasi dan kendali atas siapa yang dapat mempraktikkan kedokteran telah menyebabkan semakin sedikit dokter yang menjadi spesialis medis. Hal ini menyebabkan waktu tunggu yang lama untuk mendapatkan janji dengan dokter dan sesi konsultasi yang terburu-buru, “ demikian The Straits Times (TST), mengawali laporannya.
Di aplikasi Tiktok, dokter Tony mengisahkan dokter Indonesia yang lulusan luar negeri, sudah spesialis, dan menghadapi pertanyaan rasis saat berurusan dengan kelegium, yang “in charge” di urusan adaptasi.
Pernyataan untuk izin praktik mengarah kepada suku dan agama. “Hai, kalau boleh tahu, kamu suku apa? Agama apa? Apa sudah married apa belum? Alamat kamu di mana? Baru, ‘kamu lulusan dari mana? Thanks’, ujar Tony Setiobudi seraya membaca surat pertanyaan itu.
“Kenapa suku dan agama harus ditanya. Apa pentingnya dalam proses adaptasi. Tolong dijawab,” tanya dokter Tony. “Mungkin ini pertanyaan oknum, bukan kebijakan organisasi. Pertanyaan saya, apakah organisasi profesi tidak tahu ada praktik praktik seperti ini? Hallo, tahu nggak?”.
Menurut dokter Setiobudi, ini masalah diskriminasi. Diskriminasi melanggar undang undang dan etika kedokteran. “Tapi saya tidak tahu, apakah melangaran etike kedokteran di Indonesia. Tolong dijawab?” tambahnya.
Pernyataan blak-blakan dokter Tony Setiobudi melalui media sosial, yang menjadi viral, membikin organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) murka. IDI melayangkan protes dan menyurati Presiden Singapore Medical Association (SMA).
Surat IDI yang ditandatangani Ketua Umum IDI Mohammad Adib Khumaidi, MD ditujukan kepada Presiden SMA, Dr. Ta78n Sia Swam. IDI menuding, Dokter Tony melakukan fitnah kepada organisasi medis Indonesia dan mencampuri kebijakan kesehatan Indonesia.
Untuk itu, pada surat tertanggal 4 Januari 2023., dengan Nomor: 2341.PB/0000.SMA/01/2023, IDI meminta agar Dokter Tony diberikan sanksi (punishment).
Namun, di sisi lain – IDI juga terbuka untuk berdialog dengan SMA dan Dokter Tony.
PDSI Dukung Kritik Dokter Tony Setiobudi
Berbeda dengan tanggapan negatif dari IDI, Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) justru mengapresiasi kritik terhadap kondisi kedokteran di Indonesia yang belakangan mendapat sorotan berbagai pihak termasuk media massa mainstream, Singapore Straits Times.
“Dr. Tony Setiobudi telah berhasil mengungkap persoalan-persoalan besar dalam dunia kesehatan nasional,” ujar Dr. Jajang Edi Prayitno, MHA dalam surat tertanggal 27 Februari 2023 tertuju kepada President of Singapore Medical Association, Dr. Tan Yia Swam.
Dalam surat bernomor 01/PP-PDSI/II/2023, Dr. Jajang Edi Prayitno, mengatakan kritik Dr. Tony Setiobudi, sebagai anggota Singapore Orthopaedic Association, juga telah menyampaikan langsung kritiknya di hadapan Menteri Kesehatan, setelah konten youtubenya viral di kalangan masyarakat.
“Kami sangat berterima kasih dan berharap Dr. Tony Setiobudi melanjutkan kritisismenya di sosial media yang telah mentriger efek domino positif menuju transformasi sistem kesehatan Indonesia yang lebih fair, adil dan tidak diskriminatif,” tegas Dr. Jajang Edi Prayitno.
Dalam surat yang beredar di media sosial, Senin (27/2), PDSI juga berharap kerjasama yang baik dengan Singapore Medical Association menuju perbaikan sistem kesehatan ASEAN
“Terima kasih atas dukungan Singapore Medical Association kepada kami selama ini, kita akan terus berkomunikasi,” ujarnya. – dms.