Kuliner Nusantara “Dari Mana Datangnya Gudeg?” (2)

Gudeg Yu Djum, konon langanannya Bung Karno

Gudeg Yu Djum, konon langanannya Bung Karno

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

TAHUN 2013, sohib Noorca Marendra Massardi ketiban sampur, dapat ‘tugas negara’ untuk menangani dan memimpin KULTUR, in-house magazine di lingkungan Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud (kini ditambah kata “-ristek”). Saya dicangking masuk, untuk ikut menjadi bagian dari redaksi, ikut menulis dan mengisi rubrik pada nomor-nomor khusus yang mengeksplorasi sebuah wilayah budaya Indonesia.

Satu dari sekian nomor khusus KULTUR yang kami garap adalah Jogjakarta yang bersejarah dan kaya ragam budaya, satu dari sedikit kota Indonesia yang banyak melahirkan seniman berskala internasional, kota yang pernah menjadi ibukota kita di awal revolusi mempertahankan kemerdekaan, Kota Pelajar, dan tentu saja Jogyakarta sebagai Kota Gudeg.. Ini antara lain yang saya tulis, Gudeg memang tak hanya dibuat oleh orang Jogja. Dimana-mana, di Pulau Jawa khususnya banyak masyarakat wilayah budaya yang mengenal kuliner Gudeg.

Namun, berkait Gudeg, Jogjakarta (istilahnya) memang “spesial pake telor”, kata Anak Betawi, Di kota itu, entah di gang ataupun kakilima jalan utama, siang ataupun malam, Jogja seperti tak lepas dari harum Gudeg. Kok bisa, ya?

Sekali waktu di Perpusnas di Jalan Merdeka Selatan Jakarta Pusat, saya jumpa dengan Ibu Murdijati Gardjito. Dari profesor sekaligus peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT), Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada itu saya dapat cerita ihwal kelahiran Gudeg yang diperkirakan berbarengan dengan
pembentukan Jogja. Persisnya, “Gudeg ada sebelum Jogja ada,” ucap Bu Mur.

Penulis buku-buku referensi tentang kuliner, antara lain “Pangan Nusantara – Karakteristri & Prospek untuk Percepatan Diversivikasi Pangan”, ini menyebut, Gudeg hadir di abad ke-16 Masehi saat para prajurut babat alas, membabat hutan di kawasan Mentaok (di sekitar Kota Gede saat ini) untuk membangun peradaban baru
yang kini kita kenal sebagai Kota Jogjakarta.

Para prajurit tentu saja butuh makan agar kuat bekerja membangun sesuatu. Tim juru masak mencari, apa kiranya bahan pangan yang bisa dipetik dari alam sekitar, untuk jadi lauk makan nasi (atau thiwul) ? Siapa mengira hutan itu banyak ditumbuhi pohon Nangka (Artocarpus heterophyllus) yang sedang rajin berbuah. Pucuk dicita ulam tiba, “Itu gori bisa diolah jadi Gudeg,” kata seorang prajurit.

Siapa prajurit juru masak yang faham resep Gudeg itu? Wong cilik jarang dicatat oleh sejarah. Yang pasti, berkat buah nangka muda dan buah kelapa yang pohonnya juga banyak di sekitar situ, maka perut sekian ratus prajurit yang sedang membangun peradaban baru, Kota Jogja, bisa terisi nasi dengan lauk utama Sayur
Gudeg. Tapi kok Namanya Gudeg, sih? *** (bersambung)

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.