LEMBAR dokumen di perpustakaan Herbarium Bogoriensis di Kota Bogor, menyebut: tumbuhan semak yang mampu mencapai tinggi sampai tiga meter, ini tumbuh di dataran rendah hingga 1.300 m-dpl. Daunnya oval kecil, hijau gelap dengan panjang 5-6 cm. Bunganya sepanjang tahun, merah gelap atau kuning dengan bercak merah gelap. Buahnya mirip mundar (Garcinia parvolia), manggis hutan, dalam bentuk mini.
Emak ataupun Resti, pastilah faham manfaat daun katuk tersebab paparan para orang tua. Kearifan tradisional di Indonesia memang menghadirkan sistem belajar getok-tular yang terus menerus. Resti lebih beruntung dari Emak, karena kini dunia pustaka kian terbuka. Dari berbagai sumber dia tahu bahwa daun katuk mengandung hampir 7% protein dan serat kasar sampai 19%.
Daun katuk juga kaya vitamin K, selain pro-vitamin A (beta-karotena), B, dan C. Mineral yang dikandungnya adalah kalsium (hingga 2,8%), besi, kalium, fosfor, dan magnesium. Daunnya hijau gelap karena kaya kadar klorofil. Daun katuk dapat diolah seperti kangkung atau daun bayam. Bahkan di Beijing (saya pernah lihat), pucuk tunas muda pohon katuk dijual di pasar, dimanfaatkan seperti asparagus.
“Sayur daun katuk bagus dikonsumsi para ibu muda untuk memperlancar keluarnya ASI buat Debay,” kata Resti lagi, mengingatkan saya pada Emak dulu saat kasih ‘arahan’ ke Ibu saya. By the way…apa sih ‘debay’ yang disebut-sebut Resti? Ternyata itu istilah anak-muda zaman milenial. ‘Debay’ tak lain adalah kependekan dari ‘dede bayi’ alias ‘adik bayi’ yang baru lahir. Aya-aya wae barudakl teh…! ***
15/09/2021 Pk. 19:49 WIB