Laut Bercerita — Pilu Namun Sarat Akan Harapan

Setiap karakter berjuang dengan caranya masing-masing, namun disatukan oleh semangat mereka membawa perubahan.

Oleh Alyssa Chiara

“Gelap adalah bagian dari alam. Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi” — Pesan dari Gala/Sang Penyair kepada Laut (hal. 2)

Laut Bercerita adalah novel karya Leila S. Chudori, yang sebelumnya dikenal sebagai pengarang dari novel “Pulang” yang sama-sama berlatar belakang kejadian bersejarah Indonesia pada abad ke-20. Laut Bercerita mengangkat aktivisme mahasiswa bernama Biru Laut, bersama kawan-kawannya dalam memperjuangkan demokrasi pada masa orde baru. Kisah perjuangan Laut dibagi menjadi dua bagian; dengan bagian pertama menggunakan sudut pandang Laut, dan bagian kedua mengangkat sudut pandang Asmara, adik Laut yang super cerdas dan tidak kenal menyerah.

Pertemuan Laut dengan Kinan di sebuah kios fotokopi mengawali petualangan Laut sebagai aktivis di organisasi mahasiswa ‘Wirasena’. Ia ‘tertangkap basah’ oleh Kinan saat sedang menggandakan buku ‘Anak Semua Bangsa’ karya Pramoedya Ananta Toer yang pada masa itu dianggap terlarang. Anggota Wirasena berasal dari berbagai latar belakang, seperti Kinan yang termotivasi untuk memperbaiki masalah-masalah sosial ekonomi di negara berkembang seperti angka kematian anak-anak yang tinggi karena adik bungsunya meninggal akibat demam berdarah; Bram yang merasakan kesedihan mendalam akibat ditinggal bunuh diri oleh penjaga masa kecilnya Mbah Mien yang tidak mampu melunasi utangnya; Daniel yang terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya karena orang tuanya berpisah dan memiliki adik penyandang disabilitas; Alex pemuda asal Desa Pamakayo, Flores Timur yang punya bakat fotografi; serta teman-teman Laut yang lain seperti Gala yang dijuluki ‘Sang Penyair’, Naratama, Julius, Sunu, dan Gusti.


Selain terlibat dalam pergerakan mahasiswa, Laut memiliki hubungan yang sangat harmonis dengan kedua orang tuanya dan adiknya. Meski mereka selalu dihantui rasa was was dan enggan terlibat langsung dengan aksi Laut, mereka selalu mendukung Laut dari kejauhan.


Setiap karakter berjuang dengan caranya masing-masing, namun disatukan oleh semangat mereka membawa perubahan.
Satu hal yang membuat saya dapat bertahan untuk menghabiskan novel yang topiknya cukup berat ini adalah bagaimana pengarang menggambarkan karakter-karakter yang tidak patah arang berjuang untuk mendatangkan perubahan dengan cara mereka sendiri (kecuali satu antagonis karena ia berkhianat). Tentu perbedaan yang paling mencolok terlihat dari Laut dan Asmara, yang masing-masing diberi kesempatan untuk bercerita dari sudut pandang mereka. Laut adalah stereotip mahasiswa idealis yang definsi perjuangannya adalah melakukan aktivitas-aktivitas yang dilarang aparat dan rela menanggung risiko ditangkap dan disiksa bahkan sebelum tahun 1998, dan Asmara yang pragmatis — Ia memilih untuk mengabdi sebagai dokter di daerah tertinggal dan menjadi support system Laut di balik layar dengan membantu mengingatkan Laut akan kewajiban akademiknya dan membantu mengirimkan skripsi Laut saat ia sedang buron dan harus berpindah-pindah terus.

Meskipun novel ini sarat akan duka dan dipuji sebagai testimoni ampuh mengenai kekejaman pihak yang lebih berkuasa (ngomong gini gak akan didatangin tukang bakso kan ya?!), tapi menurut saya novel ini juga dipenuhi oleh harapan, kekompakan, dan rasa saling dukung yang kuat. Hampir setiap karakter berjuang melawan kegelapan yang mereka alami, baik karena perjuangan mereka tidak kunjung berhasil maupun duka karena ditinggal orang yang mereka paling cintai. Tapi tidak ada dari mereka yang akhirnya jatuh ke dalam kekelaman seperti yang dideskripsikan oleh karakter Gala si Penyair. Mereka tetap berjuang, bahkan ketika orang-orang tidak mengerti apa yang mereka perjuangkan. Laut tidak pernah mengindahkan kekhawatiran Asmara, tapi setelah ia dan kawan-kawannya dikabarkan menghilang, Asmara mencurahkan segala tenaganya dalam Komisi Orang Hilang sekaligus menjadi penopang bagi kedua orang tua Laut yang masih sulit menerima kehilangan Laut. Naratama dicurigai sebagai pengkhianat dan diasingkan oleh teman-teman organisasinya sendiri karena tukang kritik dan suka berdebat. Kinan hadir sebagai sosok pemimpin perempuan yang tegas namun dapat menenangkan suasana dan memantik api semangat dengan tutur katanya yang sederhana, “Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tabun lagi, tapi apa pun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah” (hal. 183). Ibu dan Ayah Laut yang senantiasa menunggu kepulangan putra tercinta mereka dengan segentong gulai tengklek yang mengepul, lagu-lagu The Beatles, dan koleksi buku di kamar Laut yang senantiasa dibersihkan dan tersusun rapi. Hingga sekarang memang tidak semua harapan mereka akhirnya terwujud, tapi toh setidaknya masing-masing karakter berusaha menerima sambil terpacu untuk tetap memperjuangkan apa yang mereka percayai.


Namun tentu saja kisah Laut dan kawan-kawannya hanyalah sepotong puzzle dari situasi nyata yang kita alami. Hal-hal yang diperjuangkan Laut dan orang-orang di sekitarnya juga masih menjadi agenda berbenah negeri ini. Novel ini berakhir dengan meninggalkan alur yang terbuka, seolah menjadi tanda bagi pembaca untuk menyadari bahwa membawa perubahan sosial di Indonesia adalah misi yang belum dan tidak akan pernah berakhir.


Secara keseluruhan, saya memberi “Laut Bercerita” nilai 5/5. Leila S. Chudori dapat menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah topik sejarah yang kelam menjadi karya fiksi yang mudah dicerna oleh orang awam dengan mengangkat sisi humanis dari perjuangan karakter-karakter fiktif di dalamnya.


Kelebihan:
• Sukses mengundang empati pembaca karena diangkat dari peristiwa sejarah yang belum lama terjadi.
• Masih terdapat humor yang menggambarkan kehangatan persahabatan Laut dan kawan-kawannya meskipun mereka semua sedang serius berjuang.
• Pemilihan diksi yang mudah dimengerti
• Laut benar-benar karakter mahasiswa yang relatable, sibuk berorganisasi lalu lupa kuliah, punya idealisme tinggi, dan hampir menyerah gara-gara skripsi 😂


Kekurangan:
• Peristiwa yang diangkat bukan peristiwa yang jarang dibahas banyak orang, tapi untung saja pengarangnya cerdas dalam memberi sentuhan baru yang lebih personal terhadap salah satu tragedi dalam sejarah Indonesia.


Direkomendasikan untuk:
Siapa pun, terutama yang menyukai fiksi sejarah.


Kutipan Favorit:
“Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali…” (hal. 1)
“Tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi” (hal. 2)
“Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, tapi apa pun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dalam puisimu. Sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu…” (hal. 183)
“Di dalam cerita ini, tokoh ibu tak kunjung mengatakan Rizki tidak kembali. Kamu tahu kenapa?” (hal. 362)
“Kami percaya pada kedalaman dan kesunyian laut, dan kami percaya pada terangnya matahari” (hal.373)

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.