Oleh Noorca Narendra Massardi
Jurnalis senior, penyair, novelis, cerpenis, penulis naskah drama.
Akhir 1975, pengarang/pewarta terkenal Teguh Esha, yang karyanya Ali Topan Anak Jalanan tengah fenomenal, datang ke Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (GRJS) Bulungan. Mas Teguh Esha khusus datang untuk menemui kami berdua: Noorca Massardi & Yudhistira Massardi, si kembar berusia 21 tahun.
Setelah berbasabasi dan memujimuji karya dan kinerja kami di bidang sastra dan teater, Teguh bilang mau bikin majalah khusus untuk pria. Waktu itu baru saja terbit majalah pria Maskulin yang juga fenomenal pada saat itu.
Kami terus terang mengakui bahwa kami belum pernah punya pengalaman kerja di bidang jurnalistik. Tapi dengan gaya dan semangatnya yang khas Teguh berhasil meyakinkan kami tepatnya mengompori kami untuk menerima tugas/jabatan sebagai redaktur.
Dengan rencana terbit bulanan mulai awal 1976 kami pun harus menyiapkan segala sesuatu. Akhirnya diputuskan kantor redaksi akan berada di jalan Indramayu 19 menteng jakarta pusat. Ternyata itu rumah keluarga besar Mas Haryono HRU yang menjabat pemimpin umum Le Laki, sekaligus produser film Ali Topan.
Dari status “seniman gelandangan berambut panjang” saya dan Yudhis pun harus mengubah gaya hidup bohemian menjadi pekerja yang siap berkantor. Lebih lagi lokasinya di kawasan elite Menteng dan gedungnya di rumah bertingkat milik keluarga besar bapak Brigjen Harsono, mantan Dirjen Penerbitan Pers & Grafika (PPG) yang amat berkuasa menentukan hidup matinya perusahaan pers pada zaman Orde Baru.
Awalnya tentu ada rasa “gentar” bagi kami untuk beredar di kawasan elite itu. Tapi karena keluarga besar pak Harsono sangat ramah tamah gaya Solo, kami pun yang sempat tinggal dan sekolah di Jogja, mulai kerasan dan menyesuaikan diri.
Oh ya, kendati zaman itu Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC) sulit didapat, namun berkat lobby dan kiat mas Teguh Esha, ternyata urusan SIT/SIC (kemudian jadi SIUPP) tidak ada masalah.
Dalam rapat redaksi pertama diputuskan, untuk tiga edisi awal, cover majalah Le Laki akan menampilkan trio Koes Plus satu per satu. Usulan itu datang dari Pemred Teguh Esha, yang tentu tak boleh dibantah karena dia punya pertimbangan dan komitmen tertentu. Editorialnya tidak akan sevulgar Maskulin yang menekankan kepada dayatarik seksual untuk kaum pria. Melainkan yang lebih literer dan berbudaya (itu sebabnya Teguh ngotot mengajak kami berdua).
Seingat saya, tugas pertama saya adalah mewawancarai beberapa artis perempuan terkenal saat itu. Antara lain primadonna Sri Mulat Sumiati yang kalau tak salah menjadi cover edisi 4.
Akhirnya edisi pertama Le Laki beredar pada Maret 1976 dengan harga Rp 350 (kurs US$ saat itu Rp 415).
Saya tentu saja bangga bisa ikut serta dalam tim majalah Le Laki. Walau saya belum terlibat sampai tahap layout/desain/proses cetak saat itu. Gaji pun terbayar lancar sehingga kami bisa leluasa mentraktir temans dan membeli busana serta asesoris yang layak untuk bertemu narasumber.
Awal 1976 mungkin jadi tahun perubahan yang baik bagi saya. Tahun itu “Tinton,” memenangi Lomba Penulisan Lakon Cerita Anak Dirkes Depdikbud. Lalu Terbit Bulan Tenggelam Bulan, memenangi peringkat kedua Lomba Penulisan Lakon DKJ (Pemenang pertama dan ketiga Putu Wijaya).
Sebelumnya, pada 1975 saya memeroleh General Award in the Arts, dari The Society for American – Indonesian Friendship, Inc. dan Kuda-Kuda menjadi Pemenang Pertama Lomba Penulisan Lakon Pemerintah Daerah Jawa Barat. Sementara pada 1974 “Perjalanan Kehilangan,” menjadi pemenang ketiga Lomba Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pemenang pertama dan keduanya adalah Putu Wijaya.
Namun kebanggaan saya ikut meluncurkan majalah Le Laki, lembaga pertama yang mempekerjakan saya secara resmi, agak sedikit berkurang. Sebab, kekasih saya Rayni tidak bisa hadir. Sepekan sebelumnya, Rayni sudah berangkat ke Paris untuk melanjutkan studinya atas biaya sendiri agar orangtuanya bisa “memiisahkan” Rayni dengan saya.
Ketika edisi keempat Le Laki baru saja terbit awal Juni, dengan pelbagai pertimbangan, saya akhirnya memutuskan untuk menyusul kekasih ke Paris, Perancis. Walau bahasa Inggris saya masih a la Tarzan dan bahasa Perancis saya 0 besar saya tetap nekad.
Ketika berpamitan dengan Mas Teguh Esha dan tim redaksi, tanpa pernah saya minta sebelumnya, Mas Teguh ternyata membekali saya gaji 3 (tiga) bulan di muka secara tunai. Artinya, seumur hidup baru kali itulah saya memegang uang senilai 3 X rp 175.000 = rp 525.000 = sekitar US$ 1.200. Alhamdulillah.
Beberapa hari kemudian, pada 23 Juni 1976, saudara kerabat dan teman saya dari teater Lisendra, Teater Bulungan, Garajas dan Le Laki mengantarkan keberangkatan saya ke Paris dari Landasan Udara Halim Perdana Kusuma.
Malam sebelumnya, kami sempat syukuran dan mendoa di rumah kontrakan saya dan temans di Jl. Damai – Cipete, Blok A – Kebayoran Baru. Itulah untuk pertama kalinya saya naik pesawat terbang – ke luar negeri pula – dengan perusahaan Penerbangan Perancis UTA. “Saya akan pulang ke Indonesia kalau saya sudah terkenal di Paris,” kata saya kepada beberapa temans dengan jumawa, seperti biasa hehehe….
Untuk pengurusan tiket, paspor dan visa, saya ditolong sukarela oleh mbak Amna Sardono, yang bersedia mengantarkan saya ke mana-mana baik naik becak atau bemo. Untuk urusan transfer/tukar uang ke Citibank jalan Thamrin, saya ditolong sukarela oleh alm Bang Hamsad Rangkuti.
Alhamdulillah. Trims Mas Teguh, Mbak Amna, Bang Hamsad (alm), jasa dan perhatian Anda semua tak akan pernah terlupakan…! ***
(trims kiriman cover Le Laki nya Sossi Sagaya)