Lembaga Inspektorat Jendral Cuma Pajangan ?

Inspektorat Jendral-ilust

Berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Koprupsi) di tahun 2004, antara lain karena mandulnya pejabat dan pegawai di lingkungan Irjen, selain merosotnya moral aparat kejaksaan dan kepolisian juga –  pada masa itu – yang menjadikan para pejabat yang terendus korupsi sebagai “ATM berjalan”.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SETIAP kementrian / lembaga dan pemerintah daerah memiliki perangkat pengawas bernama Inspektorat Jendral dan Inspektorat Daerah.  Dalam struktur kepejabatan dan kelembagaan, posisinya elite.  Ada wibawa – seharusnya.  Namun, rekam jejak selama ini,  menunjukan, pejabat Irjen tak pernah memperlihatkan tajinya. 

Inspektorat Jenderal (Itjen) adalah unsur pengawas pada Kementerian yang bertugas menyelenggarakan pengawasan internal di lingkungan Kementerian,  di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Inspektorat Jenderal dipimpin oleh seorang Inspektur Jenderal, yang secara  struktural eselon I. A atau Jabatan Pimpinan Tinggi Madya.

Banyaknya pejabat yang tertangkap tangan KPK, dijemput polisi dan diproses kejaksaan, menunjukkan posisi Inspektorat Jendral mandul.

Berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Koprupsi) di tahun 2004, antara lain karena mandulnya pejabat dan pegawai di lingkungan Irjen, selain merosotnya moral aparat kejaksaan dan kepolisian juga –  pada masa itu – yang menjadikan para pejabat yang terendus korupsi sebagai “ATM berjalan”.

Padahal,  Inspektorat Jendral (Itjen) di Kementrian / Lembaga dan Inspektorat Daerah  merupakan pengawas internal yang paling dekat dengan sumber masalah, sumber anggaran dan sumber kekuasaan. Seharusnya pihak pertama mengendus penyimpangan di birokrasi, yang bisa meminimalisir atau memitigasi terjadinya penyimpangan yang ada di daerah.  Nyatanya tidak.

Kasus terbaru adalah hebohnya jumlah harta kekayaan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo. Gara gara anak bujangnya, Dandy Satriyo berulah, menganiaya brutal pada remaja lain,  kekayaannya tak wajar, terungkap. RAT memiliki harta kekayaan hingga Rp.56,1 miliar,  melebihnya profilnya sebagai pejabat Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan 1. Nyaris menyamai harta kekayaan Menteri Keuangan, Dr. Sri Mulyani – yang pernah menjabat sebagai Ketua Bappenas,  Menkeu di era SBY dan Jokowi – selain Managing Director World Bank.

Hal yang menarik adalah  Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sudah sejak lama melaporkan kecurigaan pada Rafael Alun Trisambodo, terkait harta dan kekayaannya yang fantastis.  

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana  mengatakan, hasil analisis tersebut sudah disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu dan sudah dikirim jauh sebelum Mario Dandy Satriyo, anak Rafael terlibat kasus penganiayaan. 

“Kami sudah sampaikan hasil analisis kepada KPK tahun 2012 yang lalu. Bila PPATK menyampaikan hasil analisis-nya kepada penegak hukum, tentu sudah ada indikasi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan,” ujar  Natsir Kongah,  selaku Ketua Kelompok Humas PPATK .

Sedangkan dari KPK,  Deputi Bidang Pencegahan Pahala Nainggolan, mengungkapkan bahwa harta Rafael AT yang mencapai sekitar Rp56 miliar tidak sesuai dengan profil kekayaannya. Dia  menegaskan tidak ada larangan bagi pejabat untuk mempunyai aset atau harta kekayaan dalam jumlah besar, asalkan profilnya sesuai.

Inspektorat Jendral di kementrian Pendidikan dan Kebudayaanist

PADA 2014 lalu,  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Reformasi Birokrasi (RB) Azwar Abubakar sudah mengakui bahwa lemahnya pengawasan internal menjadi sebab banyak pejabat tersangkut kasus hukum seperti korupsi.

Inspektorat Jenderal, kata dia, seharusnya bersikap kritis jika ada dugaan penyimpangan anggaran.  “Pelaksana tugas Inspektorat Jenderal daya tawarnya rendah. Pengawasan kita ini jeruk makan jeruk,” kata Azwar di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis (12/6/2014) lalu.

Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 Tentang Sitem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menempatkan BPKP sebagai  Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) pada setiap level.  APIP  bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden, sedangkan Inspektorat Jenderal/Inspektorat bertanggung jawab langsung kepada pimpinan Kementerian/ Lembaga.

Di daerah, pemda sebagai wakil dari Pemerintah Pusat memiliki APIP yaitu Inspektorat Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Diakuinya,  Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)  secara struktural memang belum independen, karena berada di bawah bupati, walikota, gubernur, hingga menteri.

APIP seharusnya cukup efektif menjalankan peran pengawasan, mengingat mereka sudah didukung dengan piranti struktur organisasi yang baku. Kenyataannya, pengawasan internal tidak optimal, yang terbukti  dengan masih terdapat banyak kasus korupsi dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di beberapa kepala daerah di Indonesia.

Makin maraknya pejabat menyalahgunakan jabatannya merupakan bukti nyata lemahnya integritas individu, integritas institusi dan integritas hubungan antar institusi. Berbagai sistem dan regulasi yang sifatnya pencegahan telah banyak disusun, namun hasilnya masih jauh dari harapan.

Wujud lemahnya posisi inspektur jenderal, kata Azwar Abubakar,  terlihat dari rentannya mereka dimutasi saat bersikap kritis atas pemanfaatan uang negara oleh pemimpin organisasi. Apalagi fungsi APIP juga tidak bisa menggelar audit secara mandiri kecuali bila diminta.

Pada kesempatan sama, M. Chatib Basri,  Menteri Keuangan (Mei 2013 – Oktober 2014), mengatakan berdasarkan penelitian Badan Pemeriksa Kebijakan Pembangunan (BPKP) tahun 2013, APIP yang sudah memiliki infrastruktur memadai untuk menjalankan fungsi konsultatif dan analisis kebijakan masih 5,47 persen. Adapun 93,9 persennya terlalu lemah dan kurang kompeten.

Maka jangan heran,  jika keberadaan Inspektorat Jendral dan Isnpektorat Daerah, dengan pajabat dan pegawai di dalamnya bak pajangan belaka.  Sama seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang konon cuma keliling keliling,  ngumpulin amplop dari instansi instansi pemerintahan yang seharusnya diawasi, untuk kemudian memberikan status wajar tanpa pengecualian (WTP) – namun tak lama kemudian petingginya kena OTT KPK.  ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.