Oleh HENRI NURCAHYO
Masyarakat Lamongan percaya, bahwa Gadjah Mada lahir dari seorang ibu yang bernama Dewi Andong Sari. Nah di puncak bukit yang disebut Gunung Ratu di wilayah Ngimbang Lamongan ada sebuah tempat yang juga dipercaya sebagai “makam” Dewi Andong Sari.
Menurut juru kunci makam, Jumain (63 tahun), Gadjah Mada dilahirkan di tempat itu karena ibunya diusir dari Majapahit dalam keadaan mengandung. Bahkan, seharusnya ibunya dibunuh oleh dua pengawal suruhan kerajaan yang kemudian tidak tega menjalankan tugasnya karena tahu bahwa Dewi Andong Sari tidak bersalah. Justru kedua pengawal itulah yang malah akhirnya dibunuh oleh Andong Sari karena dikira mereka membunuh Gadjah Mada kecil. Andong Sari sangat menyesal dugaannya keliru dan dia malah tanpa sengaja tewas oleh senjatanya sendiri.
Gadjah Mada kecil menangis terus menerus hingga ditemukan oleh Ki Gede Sidowayah, kemudian dititipkan ke saudaranya, yaitu Randa Wara-wari di sebuah daerah yang sekarang disebut Mada. Karena tidak diketahui nama asli yang diberikan ibunya maka Gadjah Mada kecil itu dipanggil Jaka Mada.
Waktu terus berjalan hingga Jaka Mada remaja bertanya siapa orangtuanya sesungguhnya. Ketika kemudian dia diberi tahu bahwa dia anak Raden Wijaya maka Jaka Mada merantau ke pusat kerajaan Majapahit dan melamar menjadi prajurit. Cerita berikutnya sebagaimana banyak ditulis dalam buku-buku sejarah.
Apakah memang benar riwayat Gadjah Mada seperti itu? Entahlah, sebab ada versi lain bahwa Gadjah Mada lahir dari seorang prajurit Raden Wijaya bernama Gadjah Pagon yang menikah dengan perempuan di daerah Gempol Pasuruan ketika Pagon ditinggalkan di situ akibat luka-luka pada saat pertempuran menyertai Raden Wijaya.
Jumain mengaku menjadi keturunan ketujuh sebagai juru kunci makam Dewi Andong Sari yang berada di dusun Cancing, desa Sendang Rejo itu.
Begitulah, yang namanya legenda tidak usah diusut kebenarannya. Ia tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat selama turun temurun. Bahkan yang disebut sejarah itu sendiri sesungguhnya bukan rekonstruksi realita melainkan berupa penafsiran yang bisa berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Yang jelas, di makam Dewi Andong Sari itu nyaris tidak pernah sepi dari para peziarah, termasuk orang-orang dari luar kota yang bermaksud nyepi.
Posisi makam itu sendiri memang berada di puncak bukit yang harus ditempuh dengan menaiki ratusan anak tangga. Saya sempat tanya ke Pak Jumain;
“Njenengan pernah menghitung Pak?”
“Mboten,” jawabnya.
Sebetulnya ketika naik saya sudah menghitungnya, jumlahnya ada 160 anak tangga.
“Tepatnya 161,” kata Pak Jumain.
Lho, katanya tidak pernah menghitung?
Pak Jumain hanya tersenyum. Ya sudah.