Anak anak kita, para siswa yang tidak sarapan akan sulit menyerap pelajaran dan bimbingan para guru. Malas bermain jika perut kosong dan haus. Karena itu, program makan siang gratis yang diusung oleh Presiden Prabowo dalam kampanye dan kini menjadi program andalan merupakan sebuah langkah penting dan mulia yang tentunya harus diwujudkan.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
PAKET makan siang Rp.10 ribu pun tak apa, yang penting segera terwujud dan merata. Memastikan bahwa semua yang berhak mendapatkan, yakni anak anak sekolah yang sangat membutuhkannya – di seluruh pelosok Nusantara. Untuk selanjutnya programnya terus diperbaiki, ditingkatkan, disempurnakan, diawasi dan masyarakat mendapatkan apa yang dijanjikan.
Bersamaan dengan itu, ada penegakkan hukum untuk mereka yang tega menyunatnya, mengurangi harga paketnya dan menggelapkannya. Mengambil hak orang orang yang lapar, yang membutuhkan ganjalan perut dan lebih memilih memasukannya untuk kantong pribadi. Memperkaya diri, mensejahterakan keluarganya dan teman temannya.
Mereka yang skeptis dan sinis pada program mulia ini adalah orang orang yang sudah terpenuhi gizinya, terganjal perutnya, sehingga otaknya cerdas dan kritis. Sudah mengecap pendidikan tinggi. Tinggal di Jakarta dan cara pandangnya kota sentris. Tapi kehilangan empati dengan saudara sebangsa yang kekurangan dan kelaparan. Hanya menonton dan angkat dagu.
Orang orang seperti itu tidak pernah berangkat ke sekolah dengan perut kosong, tak merasakan malas bermain dengan teman, karena lemas. Belum merasakan tak ada makanan saat bangun tidur. Tidak pegang uang jajan dan perut perih karena membutuhkan pengganjal dan itu kejadian dari hari ke hari.
SEPULUH ribu dapat apa? Setidaknya ada nasi dan sayur dan lauk yang mengenyangkan. Para ahli gizi boleh memperdebatkan kebutuhan bagi pertumbuhan anak, tapi bagi mereka yang lapar sekadar mengenyangkan pun sudah cukup. Yang penting jangan disalahgunakan, bahwa negara memberikan “makanan bergizi”, sedangkan pelaksana di lapangan memberikan yang “asal kenyang”. Kita tahu ada selisih di sana, yang bisa masuk kantong untuk keuntungan pribadi.
Sejak kecil saya dekat dengan kemiskinan. Merasai kemiskinan dan dikelilingi keluarga miskin. Berangkat sekolah tanpa sarapan sudah biasa. Tapi keadaan saya jauh lebih baik dibanding teman teman di desa, yang lebih parah, karena di siang hari saya masih bisa makan, sedangkan kawan kawan saya harus mencari singkong atau jagung di kebon dan memasak sendiri. Atau dapat jatah makan sedikit saja, dengan lauk ala kadarnya, makan nasi dengan ampas kepala.
Saya melewati masa sekolah di lain kota dengan pilihan jika jajan maka pulang jalan kaki 5 km. Atau sering harus jalan kaki – di tengah hari yang panas – karena ongkos hanya untuk berangkat saja. Di pedesaan dan pegunungan keadaan lebih menyedihkan. Di luar Jawa lebih parah lagi.
Keadaan itu bukan hanya terjadi di pedesaan Jawa era 1970an, dimana saya tumbuh besar. Namun juga berulang di era 1980-an, 1990an dan bahkan hingga kini. Lihat saja anak anak Papua yang makan siang dengan hanya buah buahan dan sayur saja, sebagaimana tampil di media sosial baru baru ini.
Saudaraku semua, anak anak kita, para siswa yang tidak sarapan akan sulit menyerap pelajaran dan bimbingan para guru. Malas bermain jika perut kosong dan haus.
Karena itu, program makan siang gratis yang diusung oleh Presiden Prabowo dalam kampanye dan kini menjadi program andalan merupakan sebuah langkah penting dan mulia yang tentunya harus diwujudkan.
BANYAK pihak yang menanggapi dengan skeptis. Tertama sumber anggarannya. Juga kebelum jelasan implementasi di lapangan, karena paket Rp 15 ribu pada awalnya, belakangan turun lagi menjadi Rp10 ribu. Belum lagi kesenjangan antara nilai paket dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Pengamat juga skeptis karena isu pengalihan sebagian dana pendidikan yang mengakibatkan menurunnya anggaran untuk pendidikan. Ada juga yang gagah menyebut bahwa makan siang di sekolah tidak penting, karena yang mendesak pemenuhan fasilitas sekolah, perbaikan gedung yang rusak. Bukan makan siang.
Indonesia adalah negeri berlimpah kekayaan yang – bukan rahasia lagi – mengalami salah kelola; ‘mis-management’. Menteri Kelautan Susi Pujiastuti menyebut, Indonesia bisa membangun tanpa utang, jika berani memotong birokrasi yang tidak produktif dan korup, memotong sebagian anggaran perjalanan dinas, FGD, acara sosialisasi dan rapat rapat yang menyamarkan aksi penjarahan duit negara oleh para birokrat, ASN/PNS.
Presiden Jokowi pernah dibuat geram, bagaimana anggaran untuk mengatasi ‘stunting’, dari Rp.10 miliar sampai ke sasaran hanya Rp2 miliar. Dibayangkan Rp 8 miliar untuk kebutuhan anak anak stunting, dan Rp. 2 miliar untuk kemasan dan ongkos distribusinya, namun yang terjadi justru sebaliknya. “Ternyata ada perjalanan dinas Rp3 miliar, rapat-rapat Rp3 miliar, penguatan pengembangan, bla bla bla Rp2 miliar. Yang benar-benar untuk beli telur itu enggak ada Rp2 miliar,” ujarnya, kesal.
Dari sana, Presiden Prabowo menunjukkan komitmen tegas. Di antaranya, kepada Menteri Keuangan untuk memotong 50% anggaran perjalanan dinas. “Saya mengajak seluruh unsur untuk kurangi pengeluaran-pengeluaran yang bersifat seremoni, kurangi yang bersifat terlalu banyak kajian, seminar, dan sebagainya,” kata Prabowo.
Anak Papua memamerkan menu makan siangnya
Dari situs Media Center TKN, program makan siang gratis Prabowo ditujukan bagi siswa sekolah, santri di pesantren, ibu hamil, dan anak balita. Mereka terdiri dari anak usia dini: 30 juta anak. SD: 24 juta murid. SMP: 9,8 juta murid. SMA dan SMK: 10,2 juta murid. Santri di pesantren: 4,3 juta santri. Ibu hamil: 4,4 juta orang.
Penting bagi aparat negara yang ditugasi dan vendor yang dipercaya melaksanakannya di lapangan, untuk memandang program ini tak semata anggaran yang mengucur, sebagai usaha, sebagai entitas bisnis – melainkan juga upaya untuk bersama sama melahirkan generasi yang lebih baik di masa depan.
Betapa pentingnya etika dan moral dalam penggunaan anggaran di antara mereka yang mendapat amanah melaksanakannya. ***