Aku Meraup Angin dan Waktu yang Terbuang
Jika hidup hanya sekali, untuk masa awal yang terasa begitu membahagiakan, ingin kuraup angin dan kuhembuskan bersama seluruh harap yang ada di dada. Namun angin hanyalah bingkai ilusi yang bisa dirasa hembusannya namun tak bisa kulihat wujudnya. Begitulah juga kau, di masa yang hilang bersama serpihan luka yang tak lagi terasa, harap yang datangnya selalu samar, mencoba untuk mengatakan akan segala hal yang perlu diucapkan kepada siapa saja yang mau sekejap untuk mendengarkannya.
Namun apa yang diinginkan tampaknya tersamar oleh niat yang tak berwujud yang kutahu ada konspirasi waktu di ujungnya, sehingga apa pun khayal yang kuciptakan tentangmu, hasilnya selalu pias dan pucat. Itulah kau! Suatu derita yang kau berikan tanpa pernah berpikir efek jangka panjang dari suatu kisah yang sangat melankolik. Nafas yang terhembus dari aliran yang kadang ada di ujung musim ini, tak pula memberikan janji pasti yang ditunggu selalu dan selalu. Kisah ironi yang tercipta terus membekas dan memberikan sebuah citra yang menjulang di tubir waktu tanpa terduga, sehingga apa pun yang menjadi kenangan, sulit untuk terhapus meski ribuan masa telah membekap seluruh usia.
Aku berusaha meraup angin, membasuhnya di sekujur tubuh dan meniupnya dengan perlahan dan lembut ke sekujur tubuh. Di sana imaji samar yang terpahat di relung-relung tanpa dasar, memuai lalu kembali membeku membentuk boneka-boneka lilin yang menyerupai wujudmu. Kau tetap tak bergeming. Dan aku memandang semua di kejauhan seakan mimpi yang kucipta terwujud dari seribu angan untuk memilikimu. Ya, dari pendar cahaya kemilau yang terpancar dari tubuh sang kunang-kunang, kisahmu tergerai dalam dan sendu. Tak ada yang bisa memisahkan semua angan yang tercipta dulu dan kini. Tapi asa yang sudah terpupuk sejak kokok ayam, terdengar sayup-sayup, dan kemudian buyar di tengah lamunan emosi sesaat yang pedih dan perih. Semua tentang kau terhapus dalam emosi jiwa yang mengendap kokoh di dasar sanubari. Hampa yang menghampar beku akhirnya terjungkir bersama deru debu yang membekas di tapak-tapak yang luka dan perih.
Aku berusaha meraup angin, menghembuskannya pada bibirmu nan pucat. Dan aku tak kuasa untuk berhenti berkata lirih, “Sayang…kenanglah masa yang telah hilang bersama bayangku yang terpatri jelas di rentang waktu yang kau tak pernah tahu. Rengkuhlah aku bersama kokohnya lenganmu sehingga luka yang masih menganga tertutup rapat dengan urat-urat kasihmu, ya urat-urat kasihmu…”
Begitulah, di tengah muramnya hari, kau dan aku bersama membisu menunggu waktu berakhir, kita akhirnya tak berdaya dan tua, waktu telah begitu banyak terbuang…
Angin hanya memancarkan siluetmu yang tipis merona, aku menatapnya lamat-lamat, berusaha kulumat bayang itu bersama segumpal rindu yang terus merana dan merana. Ah, kenangan tentangmu hanya menjadi sebuah kisah yang selalu kutulis dalam relung ingatan, tak hendak kuhapus meski kesakitan dan rasa perih kerap menyayat hati.
Di bibirmu yang pucat dan kelu, di sana pernah bersemayam sekecup impian yang pernah kita jalani bersama, angin malam yang menerpa tengkuk kita berdua, seolah berkata lirih bahwa cinta yang pernah tercipta tak akan lekang oleh masa. Tapi ah, itu kata sang pendamba kehidupan, dan di sudut hati yang terdalam, sesungguhnya kasih yang tercipta bukanlah hanya sekedar janji yang samar dan pernah ditepati. Di sana di rengkuh bahu nan bidang, tanganku menjulur, kuraup angin dan waktu yang telah terbuang menjadi sebuah kisah panjang yang kuharap melegenda di rentang waktu tanpa batas.
Kau pernah berkata kalau dunia hanya dipenuhi nestapa yang papa. Di sana segala duka menyatu dan bersemayam di tiap raga yang rakus akan kekuasaan. Requiem yang menggema di tiap rongga jiwa, seakan menggiring jasad mereka yang hidup penuh luka dan derita. Kau memelukku dan berkata lirih, “Mari, ikutlah denganku, tinggalkan segala lara dan biarkan sang penghamba dunia menikmatinya hingga perut mereka kenyang lalu terbelah dan darah segar yang penuh dosa muncrat dari dalamnya. Mari kekasih, mari kita merentangkan tangan dan terbang menembus awan gemawan!”
Ah…aku mendesah perlahan. Jika saja ada kekuatan tersamar yang mendekam di seluruh sendi, ingin kulepas jiwa yang ada di raga dan aku membuntutimu hingga membelah mega-mega. Aku tak bisa, karena di sini, di tengah carut-marut nestapa dunia yang tercipta dari angkara, ketamakan dan nafsu kuasa, aku ingin mencipta kata-kata, kalimat dan paragraf demi paragraf hingga segalanya jelas dan bermakna, semoga di dalamnya ada sebait kata puitis yang dapat melemahkan jiwa angkara mereka yang membatu di dada.
Kekasih, aku masih tetap ingin meraup angin, aku masih tetap ingin menghembuskannya di wajah pucatmu agar sedikit merona dadu. Waktu kita yang terbuang akan kubungkus bersama jejak-jejak masa yang telah kucipta. Semoga di kehidupan mendatang kau masih tetap sama, semoga kau menjelma di tiap hati yang mendamba kedamaian…
Fanny Jonathan Poyk