Membaca Budi Darma

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

BUDI DARMA bukanlah sastrawan penghibur dan tulisannya menyenangkan untuk dibaca. Membaca karya karyanya membuat kening kita berkerut dan dada berdebar. Tapi  menjadi wajib bagi para penulis dan pecinta sastra mencermati karya karyanya, karena dia mengajak pembaca mengembara ke alam lain. Karya sastra yang sesungguhnya.

Selain dikenal sebagai penulis novel, cerpen dan esei, Budi Darma adakah kritikus sastra yang tajam.  Guru Besar Univ. Negeri Surabaya yang pernah jadi Rektor IKIP, yang mengenyam pendidikan Ilmu Budaya Dasar (basic humanities)  di Universitas Hawaii (AS)  ini menulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Dia sedikit dari sastrawan kita yang karyanya tampil di media Amerika Serikat.

“Saya menjadi pengarang karena takdir,” tulis Budi Darma dalam esai sastranya,  Solilokui (1984). Bakat, kemauan, kesempatan menulis, semuanya adalah rangkaian takdir, dan ia menundukkan kepala kepadanya. “Bahkan hambatan untuk menulis pun, “ terangnya.

Ia merasa tak bermanfaat dan berdosa jika tidak menulis. Dalam dirinya ada paksaan untuk menulis dan ia tak dapat mengelak dari paksaan itu. Apabila tak menulis, ia merasa telah mengkhianati takdir.  Namun, di sisi lain, ketika ia mempertanyakan takdir, ia tersadar bahwa dirinya hanyalah manusia terkutuk.  “Kepengarangan bukanlah kebahagiaan bagi saya, tapi justru kesengsaraan,” ungkapnya.

Kesengsaraan ini timbul karena ia merasa bahwa apa yang pernah ia tulis tidak mempunyai arti apa-apa lagi. Meski sejumlah tulisannya banyak dikutip, menghiasi pelbagai media, dan terdapat dalam pita-pita kaset, tapi justru saat itulah ia merasa gagal.

“Setiap kali ada sesuatu yang memancing untuk menulis, maka menulislah saya. Jangan heran, manakala saya merasa malu menengok kembali cerpen-cerpen lama saya,” terangnya.

Penolakan pada membaca ulang karyanya tercermin ketika diminta menyusun ulang tulisan tulisannya untuk jadikan buku.

“Saya tidak mempunyai minat untuk membaca esai-esai [lama] tersebut. Setelah saya terpaksa membacanya kembali, saya merasa tidak bahagia,” tulis Budi Darma.

Adalah Sastrawan dan kritikus sastra Pamusuk Eneste yang memintanya untuk mengumpulkan esai-esai itu. Dia juga yang mendorong Budi Darma untuk menerbitkan kumpulan cerpen lamanya yang belum dipublikasikan dalam bentuk buku.

Dalam pengantar pada kumpulan cerpen Fofo dan Senggring (2005), Budi Darma lagi-lagi mengutarakan ketidakbahagiannya.  “Sesuai dengan dugaan saya semula, saya merasa malu menengok cerpen-cerpen lama saya sendiri,” tulisnya.

Sikap Budi Darma,  yang tak begitu senang membaca ulang karyanya sama seperti yang dimiliki oleh sastrawan Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer.  Keduanya menulis dan melepaskan begitu saja “anak-anak rohaninya”  ke jalanan, hidup bebas bersama para pembaca dan menemui takdirnya masing-masing: ada yang berumur panjang, ada pula yang mati muda.

Keduanya juga, atau mungkin kebanyakan pengarang, tetap menulis melahirkan karya-karya baru meski misalnya karyanya tak dibaca orang – sebagai obsesi khas para pengarang.

Ketidakbahagiaan Budi Darma terhadap karya-karya lamanya tak bisa dilepaskan dari obsesinya di pengujung 1960 dan awal 1970, yakni mesin tulis (mesin ketik). Masa itu telah mesin tulis bukan barang yang mudah ia dapatkan. Kesulitan ini membuatnya terobsesi. Dan saat akhirnya mendapatkan mesin tulis, ia pun menulis dan menulis.

Saat itu dirinya tidak sadar apalagi memperhitungkan bahwa menulis adalah untuk masa depan. Dan saat tersadar, ia yakin bahwa jika saatnya telah tiba, tulisan-tulisannya akan menjadi bukan apa-apa.

Budi Darma menulis atas dasar pertanyaan-pertanyaan di masa kecil.

Salahsatu Maestro Sastra Indonesia. Budi Darma menulis novel, cerpen, esei dan kritik sastra.

Sekali waktu saat tinggal di Kudus, ia diajak ayahnya berjalan-jalan ke daerah tepi sungai. Ayahnya berkata bahwa air sungai itu mengalir ke sungai yang lebih besar dan selanjutnya akan mengalir ke laut.  “Kalau setiap hari laut diberi pasokan air dari sekian banyak sungai, mengapa laut tidak pernah banjir?” tanyanya dalam hati.

“Setelah saya berkenalan dengan sastra asing, tahulah saya, bahwa salah satu epigram novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises, diambil dari salah satu kitab suci, juga mempertanyakan mengapa laut tidak pernah penuh. Itulah obsesi pengarang, yaitu serangkaian pertanyaan yang terus-menerus mendorong pengarang untuk menulis,” tulisnya dalam epilog Laki-laki Lain dalam Secarik Surat (2008).

Maka pertemuannya dengan The Sun Also Rises karya Hemingway semacam bertemu dengan orang yang mempunyai pertanyaan sama dengan masa kecilnya.

Dari pertanyaan masa lalu yang ia tuangkan ke dalam karyanya adalah saat ia berada di Rembang. Kota di pesisir utara Jawa Tengah itu memberinya kesempatan untuk sering melihat laut. Garis laut yang berbatasan dengan kaki langit membuatnya bertanya, “Jika ia berlayar, apakah ujung langit itu akan mampu ia capai?”

“Hal ini dituangkan Budi Darma dalam cerpennya ‘Laki-laki Setengah Umur’, yaitu tentang laki-laki yang mengejar matahari,” imbuh Wahyudi Siswanto.

Budi Darma bercerita, saat kecil dirinya adalah jenis bocah yang gemar mempertanyakan banyak hal. “Pertanyaan-pertanyaan Budi Darma ini selain menjadi obsesi yang memicu lahirnya karya-karya sastranya, juga muncul dalam novelnya: Olenka,” tulis Wahyudi Siswanto, yang berhasil menulis Budi Darma: Karya dan Dunianya (2005).

Masih kanak kanak, saat berjalan-jalan, di Kudus, Budi Darma melihat tupai yang berada dalam sangkar kawat yang bisa berputar. Tupai naik dan turun dalam perputaran itu. lalu ia bertanya, “Apakah manusia juga seperti tupai yang berada di dalam sangkar kawat berputar itu?”

Pertanyaan tentang tupai ini kemudian masuk ke dalam novelnya yang lain, yakni Rafilus.

“Tapi, benarkah hidup saya bermanfaat setelah saya menjadi pengarang? […] bagi saya segala sesuatu akan berubah menjadi klise. Penderitaan, kebahagiaan, kasih sayang, kebencian, keputusasaan, dan lain-lain yang sering digarap oleh para pengarang sepanjang zaman, tidak lagi mempunyai teka-teki,” tulisnya.

Namun, menulis yang membawa kesengsaraan itu di sisi lain juga membuatnya bahagia. Baginya, jalan kepengarangan telah membuatnya berterus terang terhadap banyak hal, meski kadang hanya dalam angan-angan.

Menurutnya, dengan insting dan persepsinya sebagai pengarang, ia dapat menembus segala sesuatu yang tak mungkin dapat ia jangkau seandainya ia bukan pengarang.

Di kemudiannya, Budi Darma juga tetap merasa bahwa masa lalu ada manfaatnya. Ini setidaknya hadir dalam Olenka (1983) dan Rafilus (1988).

SEBAGAI seorang kritikus sastra,  Budi Darma menyatakn sastra Indonesia terlampau banyak diwarnai riwayat hidup pengarang.  “Keadaan sekitar, kesulitan-kesulitan sosial, perjuangan pengarang, keinginan dan cita-cita pengarang terlalu nampak dalam sastra Indoneesia […] Yang ditulis oleh kebanyakan pengarang Indonesia adalah barang mentah mengenai dirinya sendiri,” tulisnya, bertajuk  Sebuah Surat untuk Harry Aveling (1984).

Kesengitan Budi Darma dalam berterusterang terhadap penulis tidak hanya ditujukan kepada pengarang prosa, tapi juga kepada penulis esai dan puisi.

Kepada penulis esai pun sama. Menurutnya, penulis esai tidak perlu khawatir, sebab yang penting bagi esais atau kritikus hanyalah kelihatan pandai. Dengan mengutip dari sana sini, atau entah dari mana, seorang esais sudah dapat dipandang pandai meski mengabaikan konteks dalam kutipannya.

“Saudara tidak perlu merasa menipu karena memang saudara menipu […] Saudara tidak perlu merasa mengecoh karena memang saudara mengecoh […] Saudara tidak perlu merasa pandir, karena saudara kelihatan pandai,” ungkapnya. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.