Warga Indonesia yang mendambakan keharmonisan: hidup rukun damai antar sesama anak bangsa, layak menyambut gembira dengan jatuhnya vonis empat tahun penjara bagi Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur,
Kamis (24/6/2021).
Saya pribadi berharap, setelah dia menjalani hukumannya kini, kasus berikutnya dibuka dan disidangkan. Begitu seterusnya. Ada banyak kasus yang menjeratnya kini.
Hanya dengan cara itu, penegakkan hukum yang adil dan beradab serta prosedural, memberikan pelajaran bagi semua pihak bahwa ujaran kebencian, provokasi, yang memecah belah umat beragama dan bangsa layak dihukum berat.
Vonis PN Jaktim, dua hari lalu, menunjukan negara hadir. Hukum ditegakkan. Tegas. Negara sungguh sungguh ingin menciptakan Indonesia yang rukun dan damai.
Mustahil negara bisa maju jika tak ada penegakkan hukum yang tegas – berlaku bagi semua pelaku kejahatan – khususnya yang membahayakan umum dan mengancam persatuan bangsa.
Rizieq merupakan keturunan Arab Yaman yang nampaknya mewakiliki watak nenek moyangnya yang negerinya kini didera konflik dan porak poranda. Keturunan Arab Yaman lain yang bermasalah di sini sedang memimpin ibukota kita, sekarang ini. Beda penampilan dan modus : sok manis dan sok santun, tapi sama sama merusak. Tak becus kerja, cuma menata kata. Hari hari bikin blunder. Destruktif.
Orang orang seperti Riziek Shihab tidak layak hidup di Indonesia, negeri yang dihuni bermacam suku, agama dan keyakinan yang rentan diadu domba. Sebagai separuh asing yang konon keturunan Nabi, dia memborong kebenaran, suka memaksakan kehendak, manipulatif, menjual agama untuk mengumpulkan dan memperalat pendukung demi kepentingannya sendiri.
Sebelum divonis di penghujung Juni 2021 ini, Rizieq Shihab telah enam kali menyandang kasus tersangka, dua di antaranya membuat dia berakhir dipenjara.
Dia jelas seorang residivis.
Pada Agustus 2003 dia ditetapkan sebagai tersangka penghasutan atas peristiwa pengrusakan tempat hiburan di Jakarta dan mendekam dipenjara selama tujuh bulan.
Kemudian pada Oktober 2008, Rizieq menjadi tersangka pengeroyokan dan kerusuhan di Monas dengan vonis 1,5 tahun penjara.
Pada tahun 2017, Rizieq ditetapkan sebagai tersangka di dua kasus yaitu pornografi dan penghinaan Pancasila. Kedua kasus ini dihentikan polisi – namun belakangan dibuka lagi.
Lalu, terakhir dan terbaru, Rizieq menjadi tersangka kerumunan massa yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.
RIZIEQ SHIHAB dan ormasnya bisa merajalela karena aparat negara ragu ragu, gamang atau gentar menindaknya. Bahkan menurut, laporan CIA, konon institusi polisi selama ini ikut memanfatkannya.
Dua Kapolda (Metro Jaya dan Jabar) harus dicopot dan diganti dengan jendral yang bernyali untuk memastikan Rizieq bisa ditangkap, sepulangnya dari Arab dan membuat kerumunan melnggar prokes Covid-19
Sungguh memalukan.
Bukan rahasia lagi, Rizieq dan ormasnya selama ini berjaya karena dimanfaatkan para elite untuk kepentingan politik para politisi.
Lihat saja, setelah ditetapan sebagai tersangka sejumlah reaksi muncul termasuk dari kalangan partai. Politisi Gerindra Habiburokhman dan Fadli Zon, serta politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi, menyatakan siap menjadi penjamin penangguhan penahanan Rizieq.
Rizieq Shihab dan ormas anarkisnyanya adalah metamorfosis dari pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa pada 1998) yang saat itu digerakkan untuk melawan mahasiswa pro reformasi. Kelompok Islam radikal ini sejak awalnya memiliki beking elite sekelas jendral, baik militer maupun kepolisian – berikut pendanaannya. Sejak awal berdiri dia sudah jadi piaraan penguasa pro masa lalu. Rezim Orba.
Beragam aksi intoleran yang dilakukan kelompoknya, selama ini, nyaris tanpa tindakan hukum, seperti pelarangan dan penutupan gereja, intimidasi dan penyerangan pada kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Gafatar, serta melakukan razia. Sebagian besarnya dibiarkan oleh negara.
Nama nama elite yang memelihara dan memanfaatjannya itu pun disebut sebut Riziek dalam pembelaan sebagai “gigitan” pelampiasan, karena tak mau terpuruk sendiri.
Dalam bungkusan agama, Rizieq dan gerombolannya memanipulasi publik sehingga siapa saja yang melawan mereka dianggap sama dengan melawan Islam yang mereka kobarkan.
Celakanya kelompok Islam moderat juga cenderung menutup mata, masa bodoh, bahkan mengambil untung dari situasi ini.
Sampai kemudian, Presiden Joko Widodo menegaskan tidak boleh ada masyarakat yang semena-mena melanggar hukum dan aparat hukum wajib menggunakan kewenangannya secara wajar dan terukur.
“Sudah merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil. Dan ingat, aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya,” kata Jokowi saat menanggapi tewasnya enam anggota FPI dan empat orang warga Sigi, Sulawesi Tengah.
Negara harus bersikap tegas menghadapi orang orang seperti Riziek Shihab dan kelompok garis keras lainnya.
Kasus Pilkada DKI 2017 semoga menjadi pelajaran bahwa eksploitasi sentimen agama dalam politik bisa merusak persatuan bangsa.
Negara tidak perlu ragu mengambil kebijakan karena takut tekanan massa karena kelompok ini karena sebetulnya mereka hajya minoritas fanatik dan tidak signifikan secara politik dan publik mendukung penegakan hukum.
Penegakan hukum itu mendapat legitimasi sangat kuat dari publik.
Aksi-aksi intoleran dari pendukung Riziek akan menurun jika Rizieq dan pimpinan ormas anarkis lainnya ditangkap.
Tanpa dukungan dana dan backing dari elite Riziek seperti wayang tanpa dalang. Masuk kotak.***