Refleksi oleh Belinda Gunawan
Dalam waktu satu tahun ini saya menghasilkan enam buku, 2 hasil karya sendiri, 4 berupa antologi di mana saya menjadi penulis “utama”. Hmmm, produktif juga mengingat saya biasanya lelet. Rasanya bolehlah berbangga.
Namun jauh di dalam hati, saya masih merindukan masa sebelum pandemi, ketika beberapa buku saya diterbitkan oleh penerbit besar yang terkenal di seantero Indonesia. Melihat karya sendiri dipajang di rak toko buku bergengsi, rasanya… gimana gitu.
Ketika itu buku saya diterbitkan dengan proses yang biasa dan “normal”: saya punya naskah, saya tawarkan pada penerbit, dan bila disetujui jadilah buku. Saya mendapat DP dan kelak, royalti.
Pada tahun 2019, berdua rekan saya menyusun buku berisi puluhan kisah nyata dan oleh penerbit digolongkan sebagai buku “Inspirational”. Buku ini cukup lama dipajang di rak best seller beberapa cabang toko buku Gramedia. Bayangkan….
Dari situ kami mendapat pesanan untuk menulis buku serupa dengan kisah-kisah yang lebih pendek, semacam “Chicken Soup for the Soul”. Tentu kami pun tertantang dan mulai bekerja keras: mencari responden, mewawancarai atau menyemangati mereka menulis, mengedit, menulis pengalaman sendiri, dan sebagainya. Malang, datanglah musibah pandemi. Terjadi perubahan dahsyat di semua roda kehidupan, termasuk bisnis penerbitan. Naskah yang kami susun lebih dari satu tahun terkatung-katung.
Setelah sekian lama tidak ada berita, baik berita baik maupun buruk, sepi bagai di-ghosting, saya tawarkan naskah tersebut kepada penerbit lain yang satu perusahaan dengan penerbit semula. Mereka setuju menerbitkannya… dengan syarat dan ketentuan. Mereka bersedia mencetak 2000 eksemplar, tapi penulis diharuskan membeli 1000 di antaranya. Saya dan rekan mundur karena tidak sanggup membayangkan besarnya dana yang harus keluar dan tumpukan buku yang memenuhi rumah kami.
Lalu mengapa saya kemudian bisa menghasilkan 6 buku dalam waktu 1 tahun? Karena saya menerbitkannya secara independen (indie) pada penerbit kecil. Di sini berlaku sistem POD (print on demand) dan penjualan PO (pre order). Bila penulis siap membeli 50 eksemplar, maka tak perlu ada biaya. Bagi saya ini sama saja dengan gratis, bahkan mendapat royalti. Kenapa? Sebab saya bisa memasarkannya di medsos dan selalu ada lebih dari cukup pembeli.
Menerbitkan buku antologi lebih ringan lagi, sebab buku ini menghimpun banyak penulis, yang dengan suka hati mau membeli setidaknya satu buku. Sukur-sukur lebih, untuk dijadikan hadiah atau dijual lagi kepada kepada teman-teman.
Tidak sukar mencari kontributor untuk buku antologi, sebab di masa pandemi ini hobi dan ketrampilan menulis tumbuh subur di dunia medsos. Di Facebook saja ada sekian banyak grup-grup penulisan, dari situ muncul benih-benih penulis dan juga penulis yang sudah “jadi”. Merekalah yang memenuhi ajakan untuk bergabung dalam buku antologi indie seperti ini. Memang buku-buku yang dihasilkan tidak berkesempatan mejeng di toko-toko buku, tapi so what? Yang penting penulis sudah menghasilkan buku sendiri, yang bisa dipegang sosoknya, bisa pula laku dijual.
Salah satu buku antologi yang saya prakarsai melibatkan lebih dari 20 penulis mantan grup femina, dan ini sesuatu banget buat saya. Menurut ukuran buku self published, buku ini laku keras. “Perempuan Meniti Jalan” menghasilkan keuntungan bersih lebih dari 12 juta rupiah yang — sesuai janji semula — kami donasikan pada yayasan perempuan, yaitu Yayasan Kanker Payudara Indonesia.
Buku solo terbaru saya adalah buku anak dwibahasa yang saya lengkapi dengan lembar mewarnai. Buku ini memberi kepuasan plus-plus kepada saya, sebab konsep dwibahasa — ketika banyak anak bersekolah di sekolah internasional sehingga kagok berbahasa Indonesia – sudah lama matang di kepala. Buku ini saya niatkan untuk memudahkan anak yang lebih fasih berbahasa Inggris untuk membaca pula versi bahasa Indonesianya, dan sebaliknya.
Konsep ini belasan tahun lalu sudah saya tawarkan kepada salah satu dari kedua penerbit besar di atas, namun tidak mendapat tanggapan. Antusiasme saya layu dan baru bertunas kembali setelah mengenal cara baru menerbitkan buku.
Singkatnya boleh dikatakan, dengan adanya penerbit-penerbit kecil ini saya tidak usah “menunggu Godot”. Saya menulis, saya yakin naskah saya layak terbit, dan voila… terbitlah dia.
POD? PO? Gengsi penulis? Saya tidak pikirkan itu. Apalagi di masa ini, ketika tuntutan penerbit besar terlalu besar bagi saya. (BG)