Perempuan dan Anak-Anaknya (4)

Oleh: Gerson Poyk

Sehabis makan siang di penginapannya, A membaringkan badannya. Ia segera nyenyak. Di sore hari, ia berjalan-jalan kaki keliling kota sambil mengingat-ingat kembali sahabat-sahabat lama. Ia mengira-ngira siapa-siapa di antara sahabatnya itu yang mau menampung anak-anak Hadijah.

Ia tiba di kompleks kota yang dahulunya banyak didiami orang-orang PKI. Ia berjalan tenang. Sebentar-sebentar matanya memagut rumah-rumah yang terletak di kiri dan kanan jalanan. Di beberapa pertigaan atau perempatan, terpajang papan-papan yang bertuliskan: “Kompleks ini telah bersih dari Gestapu!”

Di samping itu, di seluruh kota keadaanya seperti menghadapi pemilihan umum. Malah lebih lagi. Di setiap rumah terdapat tanda-tanda gambar partai masing-masing. Ada rumah yang bertanda gambar NU, ada rumah yang bertanda gambar Parkindo, Partai Katolik, PNI, dan lain-lain.

Tulisan-tulisan dan tanda gambar itu menimbulkan tanda tanya pula baginya. Tapi ia tidak menanyakan pada orang yang berpapasan dengannya. Ia berjalan terus. Beberapa rumah nampak kosong. Beberapa rumah sudah hancur. Rumah-rumah itu adalah milik orang-orang PKI.

Sementara berjalan, tiba-tiba ia ditegur orang dalam halaman sebuah rumah. “Bung, kapan datang? Apa pindah ke sini lagi?” Tanya orang itu.

A menoleh ke arah suara itu. O, teman lama, seorang guru sejarah di SMA. Teman baik. Guru itu mengetahui bahwa A adalah musuh nomor satu orang komunis. Tanpa menjawab pertanyaan temannya, ia terus masuk. Nyonya rumah segera dipanggil suaminya untuk menemui A. Mereka saling berjabat tangan.

Percakapan mereka mula-mula berkisar pada persoalan keluarga masing-masing Nyonya rumah bertanya: “Apa sudah memperoleh pengganti yang meninggal itu?”

“Belum,” jawab A. “Tetapi kedatangan saya ke sini sangat menguntungkan. Saya memungut anak seorang teman kerja istri saya. Mereka teman baik waktu sama-sama bekerja di sini, di kantor gubernur.”

“Siapa?” Tanya nyonya rumah.

“Hadijah.”

Mendengar nama itu, kedua suami-istri terkejut. Mereka kenal betul kisah kematian anak A. Sekarang A memelihara anak musuhnya. Mereka juga ingat bahwa Hadijah adalah bekas tunangan A yang minggat, lalu kawin dengan K. Terlalu.

“Tapi”, guru sejarah itu mulai cerita. “Akibat perbuatan K bukan main hebatnya. Bukan saja terhadap istri dan anak-anaknya sendiri, tetapi juga terhadap orang-orang kecil di kampung-kampung yang hanya terdaftar sebagai komunis statistik. Begitu radio menyiarkan bahwa PKI memakai cara biadab Lubang Buaya, massa di daerah ini bangkit, lalu mencari orang-orang PKI seperti mencari tikus saja. O, apalagi tersingkap kabar bahwa di kota yang kecil ini pun ada Lubang Buaya, yang kecil maupun besar, yang digali oleh mereka secara rahasia. Massa mengisi lubang-lubang itu dengan orang-orang yang membuat lubang itu. Betul-betul pancaroba. Kematian seperti disebabkan oleh saban saja. Kami di sini ketakutan hingga rumah-rumah kami mesti diberi tanda gambar partai. Kalau saudara berdiri di depan pintu dan berkata saya manusia, maka massa akan bertanya ‘partai apa!’ Tuan rumah berhenti sebentar.

“Dan mereka semua sudah tergulung. Tetapi marilah kita mengurus anak-anak mereka yang mereka tinggalkan. Saya akan menampung seorang. Saya dan istri akan memberinya makan sampai besar. Ia menjadi anak kami,” kata A.

Guru sejarah SMA itu memperhatikan A dalam-dalam. “Ya, kemudian mendidik mereka supaya menjadi orang. Bukan menjadi partai. Sebab, sepanjang hidupnya ada sebuah penyakit yang selalu mengintainya. Penyakit dendam. Andaikan ia tidak dididik mengenal Tuhan, agama dan moral, maka sejarah kita pasti akan mengalami proses dialektik yang tragis,” guru sejarah itu berbicara sungguh-sungguh kepada temannya.

“Benar sekali. Dan barangkali saudara suami-istri akan memelihara seorang anak Hadijah?” Tanya A dengan penuh harapan.

Kedua suami-istri itu saling memandang. Kemudian keduanya tersenyum sipu sedih. “Maaf, Bung,” sang suami menjawab. “Maaf, duit saya, hasil selama menjadi guru, sudah lama dipinjam oleh menteri-menteri Gestapu untuk mengongkosi perempuan PKI yang sedang hamil tua dan juga untuk perempuan-perempuan muda yang suka foya-foya!” guru itu ketawa geli. “Bagaimana bisa pelihara orang lain, sedangkan anak sendiri pun sudah ada yang mati penyakitan!”

“Ssst,” tegur pihak istri. “Ngomong yang benar. Jangan main-main.”

“Aku melihat kekonyolan dari segi lucu. Kalau tidak demikian, kita sudah lama tinggal tulang,” jawab suaminya.

A mendengarkan saja kelakar itu. Pikirannya kemudian berjalan. Ia mengingat-ingat lagi teman-temannya yang dahulu. Lama-lama duduk, ia minta diri pada temannya suami-istri itu. Sambil berjalan, ia ingat pada temannya seorang pemilik pabrik penggilingan padi. Ia menuju pabrik itu. Sesampai di gerbang masuk, portir mengatakan bahwa pabrik tersebut dalam pengawasan pemerintah berhubung pemiliknya terlibat Gestapu. Portir mengatakan bahwa pabrik tersebut bertindak sebagai finansir Gestapu dan juga sebagai penyedot hasil pangan rakyat. Ia segera sadar bahwa pemilik pabrik itulah yang melaporkan kepada konconya tentang apa yang pernah diomongkannya mengenai angka-angka statistik sulapan itu. Sungguh-sungguh musuh dalam selimut.

Hari sudah menjadi malam tetapi pikirannya terus berjalan. Berjalan malam hari tidak melelahkan, karena malam memberi kesejukan. Karnanya ia bertekad berjalan terus mancari sahabat-sahabatnya. Hanya saja bayangan mayat itu timbul lagi. Tetapi kali ini takutnya hilang. Ia sibuk memikirkan manusia, bukan mayat. Sebentar-sebentar ia agak kaget sebab ada orang dari belakangnya yang berjalan lebih cepat darinya melewati dia, lalu hilang menjauh. Kadang-kadang ia berpapasan dengan orang yang tidak menghiraukannya. Sebentar-sebentar ia agak lega sebab berjalan di bawah lampu. Sebentar-sebentar ia curiga pada orang yang menoleh padanya, kalau-kalau Gestapu yang belum ketangkap. Namun di atas segala-galanya, ia tetap yakin Tuhan melindunginya. Bukankah ia sedang berusaha menanggulangi anak-anak yang belum mengerti dunia? Malam itu bagaimana pun, ia berjalan dengan lebih banyak keberanian daripada ketakutan.

Bersambung

(Ditulis September 1966)

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis