Mengajak Anak Muda Agar Mau Membangun dari Pinggiran

Tri Mumpuni tidak berhenti dalam gelisah dan mengurut dada. Sejak tahun 1997 dia sudah mengerjakan pembangunan listrik mikrohydro di pedesaan.  Dia turun tangan untuk meminimalisir ancaman mengerikan yang bakal dihadapi bangsa ini ke depan. Salah satunya adalah dengan mendidik anak-anak muda untuk mandiri, memiliki kepedulian terhadap bangsa, negara dan masyarakat serta mau membangun bersama-sama masyarakat.

“Saat ini saya lagi sibuk ngurusin anak-anak muda agar mau kembali ke desa membangun dari pinggiran dan melakukan revolusi mental yang sebenarnya, dengan melakukan perbuatan kongkrit di lapangan,” ungkap perempuan kelahiran Semarang 6 Agustus 1964 ini ketika ditemui di sebuah Hotel di Jakarta Barat, tempatnya bekerja bersama tim, awal Agustus 2019.

Tri Mumpuni (Foto: Herman Wijaya)

Ada dua hal yang dilakukan dalam progam yang disponsori oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) ini: pertama menjalankan program  Wira Bangsa, yaitu mendidik pemuda/ pemudi untuk melakukan sosial bisnis, pemberdayaan sosial,  agar mampu memberdayakan masyarakat secara kongkrit, sekaligus menghasilkan keuntungan dan manfaat yang bersamaan.

Penerima Ashden Award 2012 ini yakin jika Indonesia mampu menciptakan sistem ekonomi regenerative dan distributive, yang lebih baik dari sistem ekonomi yang sekarang: sistem ekonomi yang ekstraktif, yang merusak dan akumulatif, karena semuanya berasal dari alam.

“Perekonomian sekarang itu keuntungannya hanya dinikmati oleh segelintir orang dalam bentuk pengumpulan capital (capital accumulation) yang jomplang luar biasa. Makanya kita didik anak-anak ini untuk bisa mengerti bahwa hidup itu harus bermakna. Seperti apa? Kita lihat bahwa alam punya daya dukung jadi tidak bisa dieksploitasi. Dan harus melihat orang-orang disekitar, minimal mendapatkan kemakmuran atau terlibat. Ini yang disebut atau inklusif ekonomi,” kata wanita yang kerap dipanggil dengan nama kecilnya, Puni.

Sejak tahun 90-an ia mengurusi pembangunan ekonomi pedesaan melalui pembangunan pembangkit listrik dan infrastrukturnya. Masyarakat diajak membangun jalan, membuat fasilitas air bersih. Listrik itu adalah salah satu tulang punggung pembangunan ekonomi.

Saat itu di kampung-kampung fasilitas yang dibangun oleh pemerintah itu rusak. Ketika petugas atau orang-orang desa ditanya mengapa tidak dirawat, jawabannya sederhana: Itu pemerintah kok  yang buat nanti juga pemerintah datang untuk memperbaiki.

“Terus terang saya agak shock. Ini secara mental agregat merugikan semua. Pemerintah kan uangnya terbatas, tidak bisa membantu terus-menerus. Jadi tidak boleh membuat rakyat tergantung terus menerus kepada pemerintah. Fungsi kita adalah to help them to make us out of the work, membantu mereka sehingga kita tidak punya pekerjaan lagi. Artinya kita mampu memandirikan masyarakat. Yang terjadi sekarang ini adalah, pembangunan yang diciptakan itu bukan dianggap sebagai sebuah cara pemerintah memakmurkan rakyatnya, memerdekakan rakyatnya dari ketergantungan ekonomi, sehingga membuat mereka tergantung. Ini yang harusnya kita rubah!” papar ibu dua anak — Ayu Larasti dan Asri Saraswati.

Intensifikasi proyek dari pusat menurutnya seringkali salah tempat, karena bisa dipakai untuk permainan politik. Jika bupati tidak suka dengan desa tertentu, maka desa itu tidak dikasih (proyek) dulu.

“Ini yang memberatkan! Saya sangat berharap di periode kedua Pak Jokowi, itu tidak terjadi lagi. Tapi itu kembali kepada sistem birokrasi kita yang tidak mau capek-capek. Seharusnya kalau sudah commited mau bekerja untuk negara, itu sudah jadi pelayan rakyat. Bekerja untuk rakyat artinya bekerja dalam sunyi menimbulkan impact bagi rakyat yang diukur dalam berapa banyak rakyat yang bisa menikmati kemakmuran, menikmati listrik. Baru itu yang disebut berhasil! Bukan pencitraan karena menjadi media darling!” kata penerima penghargaan Climate Hero 2005 dari WWF for Nature ini.

Dalam memimpin pemerintahan, Presiden Jokowi menurutnya sudah baik.  Tetapi seringkali dilihat ia tidak mampu memecat menterinya yang salah. “Saya tidak tahu pertimbangan politiknya di mana. Beliau itu kan orang Solo dengan kultur Solonya yang halus, tidak mau konflik, jadi seringkali beliau itu memperbaikinya pelan-pelan. Padahal waktunya terbatas. Jadi it’s now or never! Jadi kalau dia mencari orang-orang yang membatu dia all out, berani mati demi rakyat, saya pikir Indonesia akan luar biasa.”

Puni berhadap Presiden Jokowi tidak lagi takut dan dibebani urusan-urusan partai. Masyarakat memilih Jokowi, menurutnya, supaya Indonesia berubah. Puni berharap Jokowi mau mengajak semua orang, untuk sekali ini saja, berfikir ikhlas untuk masa depan Indonseia yang lebih baik.

Berbicara soal pemenuhan kebutuhan energy, Puni kembali menekankan

agar tidak dilakukan dengan project basic. Presiden-presiden sebelum Jokowi menuruthnya hanya cari gampang, menyerahkan ke Menteri semua urusan dengan konsep bussines as usual, proyek-proyek bisnis. Terbukti kemudian, itu tidak menyelesaikan persoalan.              

Puni juga menyoroti Perusahaan Listrik Negara (PLN) selalu direcoki dengan intervensi politik. Secara politik orang itu berusaha untuk mendapatkan daging. PLN dianggap daging yang gemuk untuk mengisi proyek-proyek tertentu.

Semua di PLN melibatkan duit yang besar. Mulai dari transmisi, distribusi/ penyediaan pembangkit, penyedian trafo dan segala macam.

Untuk mengatasi semua itu menurutnya tangan presiden diperlukan. Pertama dengan memilih Menteri yang benar dulu, lalu merubah tatanan yang tidak benar, dan PLN itu harus betul-betul direstorasi karena PLN melakukan monopoli.  Itu, menurutnya, berbahaya karena semua uang terkumpul di situ sehingga siapa pun akan merusaha merapat.

Dengan kesempatan memimpin Indonesia untuk keduakali, ia yakin Jokowi akan membawa Indonesia lebih baik lagi, memperhatikan daya dukung dan keseimbangan alam, selain semangatnya untuk membangun Indonesia.

“Banyak yang sudah dilakukan Pak Jokowi dan saya merasa sekarnag baru benar-benar punya presiden mikirin rakyat. Tapi itu tadi harus segera dibarengi dengan pembangunan manusia.  Jangan bilang membangun sumberdaya manusia! Karena kalau membangun SDM hanya jadi alat ekonomi saja. Membangun manusia adalah membangun jiwa raganya, tidak hanya membangun ekonomi saja, tetapi harus membangun kebudayaan. Budaya adiluhung yang mampu menyelamatkan negeri ini,” tambah isteri dari Iskandar Budisaroso Kuntoadji ini.

Avatar photo

About Herman Wijaya

Wartawan, Penulis, Fotografer, Videografer