Mengerikan! Cara Mereka Mendidik Anak Anak Kita

Santri Anti Musik

Dalam lingkungan keluarga normal selama ini, anak anak justru ditanamkan cinta seni sejak kecil. Selain di sekolahkan juga dikursuskan untuk memperoleh pelajaran ekstrakulikuler.  Kini muncul puritanisme baru yang mengerikan.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SIANG kemarin saya menyaksikan video mengerikan di media sosial dan postingan di WA grup. Sejumlah anak remaja, laki laki, dari sekolah Islam serentak menutup telinga karena di satu acara diperdengarkan musik. Mereka adalah santri santri yang dididik anti musik.

Di Twitter ada yang membela mereka. Seharusnya anak anak itu “diberi hak”  untuk tidak mendengar suara yang tidak mereka kehendaki. Yaitu musik yang bagi mereka haram.

Ini lompatan mengerikan. Mereka anak anak kita, anak anak Indonesia lahir dan hidup di Nusantara. Dari generasi tahun 2.000,  di era milenium,  tapi mereka dibawa ke masa lalu, ke jazirah Gurun Pasir di abad enam, atau dalam kehidupan daerah terasing, daerah terjauh, dan jauh dari pusat negeri seperti di pedalaman nun jauh di sana. 

Padahal mereka dari sekolah Islam di tengah kota, dari klas menengah dan anti terhadap peradaban modern.  Peradaban klasik juga. Sebab musik juga banyak yang beraliran klasik.

TERINGAT saya pada pengalaman semobil dengan teman sekantor dalam perjalanan pulang di tengah malam. Dia curhat menyekolahkan anak anaknya di sekolah Islam klas menengah, di kawasan Cimanggis, Bogor, beberapa tahun lalu.

Di hari Minggu mereka berkumpul sekeluarga, dan sedang menonton teve bersama dan mendadak anaknya menutup kuping. Pasalnya di teve diperdengarkan lagu lagu pujian rohani dari mimbar agama kristen. “Haram, Yah . Haram, Yah, kata Pak Guru, “ demikian pengakuan sahabat saya itu sembari menutup telinganya erat erat.  Sahabat saya sangat shock. Dia sekolahkan anaknya di sekolah Islam agar santun dan berakhlak, pandai mengaji, bukan menjadi fanatik buta. Anti peradaban modern.

Saya pun terkejut. Pendidikan agama yang anti peradaban global sudah naik ke klas menengah kota. Bukan lagi di pesantren pedalaman.  Dan lebih mengerikan, kini mereka bukan hanya anti lagu lagu gereja lagu lagu rohani – melainkan semua jenis lagu dan musik. Semua haram.

Persoalannya adalah mereka anak anak kita. Anak anak Indonesia, anak anak Nusantara, yang akan bersaing dengan anak tetangga di Asia Tenggara, dengan anak China, Jepang, Korea, di masa depan. Tapi mereka dididik dan dilatih anti modernitas, dikirim ke masa lalu ke zaman nabi di gurun pasir sana. Jadi mesin agama.

DALAM lingkungan keluarga normal selama ini, anak anak justru ditanamkan cinta seni sejak kecil. Selain di sekolahkan juga dikursuskan untuk memperoleh pelajaran ekstrakulikuler. 

Menjadi gengsi sendiri bila ada orangtuanya yang mengirim anaknya les piano, gitar, drum, vokal, tari ballet,   atau apa saja sesuai minatnya. Bagi pewaris seni tradisi, juga belajar menari atau gamelan atau senitari tradisional, seni ukir,  lukis serta seni yang lain, sesuai yang hidup dan berkembang di Bumi Nusantara.

Seni melatih rasa, mengasah kepekaan, menyalurkan keindahan, membangun otak kanan, dan seterusnya. Anda tahu semua. Menjadi kebanggaan bagi orangtua bila anaknya jago seni.

Pada kenyataannya kini datang gelombang baru, ajaran Islam intoleran radikal  – Salafi,  Wahabi, HTI, kebangkitan DI/ TII, Ikhwanul Muslimin, Taliban dan munculnya sekolah sekolah yang anti seni. Khususnya seni musik dan seni suara. Mereka diajari naik kuda dan memanah ala zaman Nabi yang tak ada relevansinya dalam kehidupan di hari ini.

Kelompok Taliban memang masih ada di Afganistan. Tapi Talibanisme –  cara cara hidup Talibanistik –  sudah merasuk ke Bumi Nusantara. Ada di tengah kita. Kampung yang warganya seluruhnya ber-burqa – menutup seluruh tubuhnya – hanya menyisakan dua bola matanya, sudah ada di negeri kita.

Ajaran ajaran ala Taliban yang anti musik, mendzalimi perempuan, menempatkan mereka sebagai warga klas dua, sebagai obyek seks semata, untuk dipoligami dan beranak pinak, sudah merasuk ke pelosok negeri.

Persoalannya, anak anak yang dirusak itu adalah anak anak kita, Saudara. Mereka penerus kita di masa depan.  Mereka sedang dalam proses perusakan. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.