Mengupas Tuntas Penghinaan terhadap Pejabat Presiden: Antara Kebebasan Berbicara, Batas Etika, Undang-Undang, dan Dampak Sosial

Seide.id – Ramenya perbincangan Masyarakat terhadap ujaran pernyataan Rocky Gerung di muka umum, terkait ajakan yang juga berisikan ucapan penghinaan terhadap 8, perlu kita semua memahami bagaimana konstitusi mengatur kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum.

Penghinaan terhadap pemimpin negara, terutama Presiden, telah menghasilkan perdebatan yang kompleks dalam ranah sosial dan politik. Kebebasan berbicara yang semakin diperluas oleh teknologi telah membuka pintu bagi ekspresi opini, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab dan batasan dalam menyuarakan kritik. Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang fenomena penghinaan terhadap Presiden, melihat undang-undang yang mengaturnya, serta merenungkan implikasi yang lebih luas bagi masyarakat.

Kebebasan Berbicara dan Batasan Etika

Penting untuk diakui bahwa kebebasan berbicara adalah salah satu dasar demokrasi yang harus dijaga. Namun, hak ini juga memunculkan pertanyaan tentang etika dan batas-batasnya. Bagaimana kita dapat menjalankan kebebasan ini tanpa mengorbankan martabat lembaga-lembaga negara atau menciptakan ketidakstabilan? Undang-undang anti-penghinaan dalam banyak negara, seperti Pasal 207 KUHP di Indonesia, bertujuan untuk melindungi pejabat negara dari penghinaan yang merendahkan, dengan pengecualian untuk kritik yang konstruktif.

Undang-Undang yang Mengatur Penghinaan terhadap Pejabat Negara

Banyak negara memiliki undang-undang yang mengatur penghinaan terhadap pejabat negara, termasuk Presiden. Di Amerika Serikat, misalnya, undang-undang pencemaran nama baik dapat digunakan untuk melindungi pejabat publik dari penghinaan yang tidak berdasar. Di Prancis, Pasal 26 UU 1881 melarang publikasi atau pencetakan yang merendahkan terhadap Presiden. Namun, undang-undang semacam ini juga sering kali memicu pertanyaan tentang sejauh mana pembatasan ini dapat dikendalikan agar tidak mengekang kebebasan berbicara.

Undang-Undang Terkait Penghinaan terhadap Pejabat Negara

Amerika Serikat: Undang-undang pencemaran nama baik memberikan perlindungan terhadap publikasi informasi palsu yang dapat merugikan reputasi seseorang, termasuk pejabat publik seperti Presiden. Namun, undang-undang ini juga harus mempertimbangkan perlindungan terhadap kebebasan berbicara sebagaimana dijamin oleh Konstitusi AS.

Indonesia: Pasal 207 KUHP mengatur tentang penghinaan terhadap pejabat negara. Pasal ini menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghina atau mencemarkan nama baik Presiden atau Wakil Presiden, akan dihukum dengan pidana penjara.

Prancis: Undang-undang Pasal 26 UU 1881 melarang publikasi, pencetakan, atau ekspresi lisan yang merendahkan terhadap Presiden. Namun, undang-undang ini juga telah menghadapi kritik terkait pelanggaran terhadap kebebasan berbicara.

Media Sosial dan Era Digital

Perkembangan media sosial telah mengubah cara penghinaan terhadap Presiden diungkapkan dan menyebar. Konten merendahkan dapat dengan cepat menjadi viral, mencapai jutaan orang dalam hitungan detik. Ini mendorong pertanyaan tentang tanggung jawab platform media sosial dalam memoderasi konten dan mencegah penyebaran fitnah atau penghinaan yang merugikan. Sejauh mana peran platform ini dalam memitigasi dampak negatif penghinaan terhadap pejabat publik?

Dampak Sosial dan Politik

Penghinaan terhadap Presiden dapat memiliki dampak jauh lebih luas daripada yang terlihat pada permukaan. Pada tingkat individu, tindakan ini dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan emosional. Di tingkat sosial, penghinaan yang meluas dapat menciptakan perpecahan dan mempengaruhi iklim politik secara keseluruhan. Ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga diskusi yang bermartabat dan membangun pemahaman bersama dalam merumuskan pandangan kritis.

Menghadapi Tantangan dengan Konstruktif

Bagaimana kita dapat menghadapi tantangan ini secara konstruktif? Pendidikan tentang etika berbicara dan berpendapat dapat dimulai dari usia dini, untuk memastikan generasi mendatang memiliki pemahaman yang baik tentang batasan dan tanggung jawab. Platform media sosial juga dapat berperan dalam mendukung dialog yang sehat dan menghapus konten yang merendahkan. Pemerintah juga dapat berperan dalam memberikan klarifikasi terhadap informasi palsu atau merendahkan, memastikan transparansi dalam kepemimpinan negara.

Melangkah Menuju Masyarakat yang Bermartabat

Penghinaan terhadap Presiden menguji ketahanan demokrasi dan etika berbicara. Melalui dialog yang bermartabat, pemahaman yang lebih baik tentang batas-batas etika, serta tindakan kolektif untuk menjaga integritas lembaga-lembaga negara, kita dapat memastikan bahwa masyarakat dapat terus maju dalam semangat harmoni dan kesatuan.

Penghinaan terhadap Presiden atau pejabat publik memiliki beberapa perbedaan dalam konteks hukum, terutama terkait dengan delik biasa dan delik aduan. Berikut Adalah penjelasan mengenai perbedaan tersebut:

Delik Biasa:
Delik biasa merujuk pada tindakan kriminal yang dapat dikejar atau dituntut oleh pihak berwenang tanpa memerlukan pengaduan dari pihak yang menjadi korban. Ini berarti bahwa pihak yang berwenang, seperti kepolisian atau jaksa, memiliki otoritas untuk menyelidiki dan mengambil Tindakan hukum terhadap pelaku tanpa harus menunggu aduan dari pihak yang dirugikan.

Dalam konteks penghinaan terhadap Presiden, jika negara memiliki undang-undang yang mengatur penghinaan terhadap pejabat publik sebagai delik biasa, maka pihak berwenang dapat langsung bertindak untuk menyelidiki dan menuntut pelaku tanpa harus bergantung pada aduan langsung dari Presiden atau pihak lain yang merasa dirugikan. Negara memiliki wewenang untuk melindungi institusi negara dan memelihara ketertiban public.

Pada dasarnya, penghinaan terhadap Presiden di Indonesia diatur sebagai delik biasa dalam Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyatakan:

Pasal 207 KUHP:
(1) Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, pengecutan, atau penghinaan terhadap Raja atau Presiden yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Delik Aduan:
Delik aduan, di sisi lain, mengharuskan adanya aduan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan atau pihak yang memiliki kaitan langsung dengan Tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran hukum. Dalam hal ini, pihak yang merasa menjadi korban atau dirugikan harus secara aktif mengajukan aduan kepada pihak berwenang agar Tindakan hukum dapat diambil.

Jika penghinaan terhadap Presiden diatur sebagai delik aduan, maka Presiden atau pihak lain yang merasa dirugikan harus mengajukan pengaduan kepada pihak berwenang agar penyelidikan dan tindakan hukum dapat dilakukan terhadap pelaku. Dalam beberapa kasus, pengaturan delik aduan mungkin mencerminkan prinsip kebebasan berbicara yang lebih luas, dengan persyaratan bahwa tindakan hukum hanya diambil jika pihak yang dirugikan secara eksplisit meminta penanganan hukum.

Delik Penghinaan terhadap Presiden juga dapat diatur sebagai delik aduan, tergantung pada interpretasi dan penafsiran hukum yang berlaku. Namun, berdasarkan pasal yang ada, penghinaan terhadap Presiden lebih cenderung diatur sebagai delik biasa yang dapat dikejar oleh pihak berwenang tanpa memerlukan aduan dari Presiden atau pihak lain.

Dalam praktiknya, pihak berwenang memiliki wewenang untuk menyelidiki dan menuntut pelaku penghinaan terhadap Presiden tanpa harus menunggu aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini juga mencerminkan upaya untuk melindungi institusi negara dan menjaga ketertiban publik.

Di Indonesia, penghinaan terhadap Presiden dapat diatur sebagai delik biasa atau delik aduan tergantung pada ketentuan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, undang-undang yang relevan Adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur berbagai tindak pidana, termasuk penghinaan terhadap pejabat negara.

Maka menjadi penting adalah bagaimana masyarakat dapat menjadi lebih cerdas dalam melakukan kritikan atau pendapat dimuka umum maupun melalui media sosial internet dengan batasan etika tanpa mengurangi makna dalam berdemokrasi, juga tetap memperhatikan pada stabilitas sosial politik nasional.

Dalam hal ini Partai Perindo selaku partai politik tentu saja ikut berperan aktif dalam upaya pendidikan politik guna meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berpolitik dan kebebasan mengemukakan pendapat tetap dalam koridor etika dan hukum yang berlaku.

Penulis : Jeannie Latumahina
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak ( RPA ) Partai Perindo

Ganjar Pranowo Pemimpin Yang Berintegritas dan Inovatif untuk Indonesia

Avatar photo

About jeannie latumahina

Ketua Relawan Perempuan dan Anak Perindo