Foto : Michal Jarmoluk/Pixabay
Melupakan pengalaman pahit itu hukumnya wajib agar hati ini tidak terbebani dan sakit. Tapi menolak ingat pengalaman manis itu suloyo, karena hati ini jadi nelangsa.
Hal itu yang sedang terjadi pada saya. Bagaimana mungkin saya bisa melupakan Doi yang permata jiwa itu?
Saya jadi jengkel sejengkelnya dengan diri sendiri, karena tidak mampu melupakan Doi.
Padahal jujur saja, ketika dihina, diremehkan, dan dikhianati teman, saya mampu memberi maaf, ampun, dan mendoakan mereka. Dengan mengasihi mereka, saya percaya dan ainul yakin, hati saya tidak terluka dan tersiksa, bahkan saya mampu melupakan perlakuan yang tidak menyenangkan itu.
Persoalan saya dengan Doi itu beda. Tanpa ba-bi-bu, angin, dan tanpa hujan, tiba-tiba Doi minta putus hubungan.
“Alasan Doi?”
“Pokoknya putus! Tidak ada alasan!” kata Doi tak acuh, lalu melengos.
“Apa salah Mas?”
“Tak ada!”
“Lho, ini kan aneh. Tak ada sebab dan tak ada alasan, lalu dari mana datangnya api?” pancing saya mencoba mencairkan suasana.
Doi diam.
Saya makin penasaran. Doi sulit dikorek sebab ngotot mengajak bubaran. Bahkan Doi mencoba menghindari dan menjauhi saya. Bisa jadi Doi mempunyai calon pengganti?
Ketimbang direjam rasa penasaran dan ketidak-pastian, malam itu saya mengeluarkan uneg-uneg ke Doi.
“Doi tahu, sekarang hari apa?”
“Kamis. Emang kenapa?”
“Tepatnya…?”
“Maksud, Mas?” Doi menatapku kurang mengerti.
“Sekarang malam Jumat Kliwon. Mas mau membuat sejarah, jika Doi ngotot minta bubaran,” kata saya menjaga wibawa.
“Mas mau…?”
“Doi nggak usah mikir!” tukas saya agak ketus. Doi terperangah. Saya lalu sujud di depannya. “Doi serius ingin bubaran dengan Mas? Ada calon penggantinya? Tolong jawab dengan tegas!”
“Ya! Tapi calon pengganti tidak kepikir.”
“Baik. Sekiranya Doi ngotot menolak ingat hubungan manis selama ini dengan Mas,” suara saya bergetar. Ketidakacuhan Doi, membuat hati ini jadi nelangsa. Saya menghela nafas panjang. “Jika Doi ngotot ingin bubaran dan menolak ingat Mas, itu tidak masalah. Mas harus berjiwa besar untuk menerima kenyataan pahit itu. Malam ini Mas melamar Doi,” saya mengeluarkan box yang berisi cincin, dan menatap lembut Doi.
Doi terbelakak. Tubuhnya bergetar.
“Doi, terimalah ini dan lupakan…,” Doi menyentuh bibirku lembut dengan telunjuknya agar saya diam.
“Mas, serius?”
“Jadi selama ini Doi meragukan kesungguhan hati Mas…”
Doi tersenyum.
Ah, ternyata Doi minta kepastianku. Siapa bilang hati wanita sulit dimengerti?
Ternyata malam Jumat itu sungguh keramat!