Seorang pembaca saya pernah bertanya melalui faebook. Apakah anda masih menulis untuk uang ? Ini pertanyaan sensitif. Tapi ada benarnya. Jika dulu saya menulis untuk uang, untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga, apakah sekarang masih menulis untuk hal yang sama ?
Bekerja sebagai jurnalistik, kami dituntut tidak hanya mencari informasi untuk diolah jadi berita, melainkan juga harus memiliki kemampuan untuk menulis. Untuk itulah para jurnalis yang dulu bekerja di sebuah perusahaan media, memperoleh gaji, honor atau pendapatan rutin setiap bulan. Besrnya, tergantung dari media di mana mereka bekerja.
Rp 15K Per Tulisan
Tetapi, masa itu sudah lewatl Media cetak telah menjadi sejarah, meski masih ada stu dua yang masih terbit. Itupun bukan untuk pembaca. melainkan untuk bukti iklan dan rekanan.
Sekarang era media digital. Apakah anda masih menulis untuk uang ? Bekerja di perusahaan media online imbalannya tak sebesar dulu. Kalaupun toh ada, hanya beberapa media saja yang mampu memberikan imbalan layak kepada awak media atau jurnalis.
Kebanyakan, imbalan menulis berdasar tulisan. Satu tulisan, sekarang hanya dinilai sekitar Rp 15,000 hingga Rp 100,000. Di media online tertentu, Sukmajaya atau Mas Sukma menyebut ada penulis lulusan sarjana masih mau menulis demi uang rp 15,000 per tulisan. Media tertentu dengan memesan tulisan tematik ( pesanan media), memeproleh imbalan Rp 500,000 hingga Rp 1,000l000 jika penulis memiliki nama terkenal. Tapi ini jarang.
Ribuan Tulisan Per Hari
Media lebih suka memakai penulis anonim alias aplikasi sprinter, dimana satu tulisan bisa menjadi 50 hingga 500 tulisan yang isinya sama, hanya beda susunannya. Seorang pemilik media lama, pasti malu memiliki media berisi ribuan tulisan per hari dengan isi sama, hanya beda susunan, meski dibaca oleh google.
Ya, google tampaknya menjadi tumpuan para media untuk memperoleh penghasilan. Media dengan pembaca di atas 1,000,000 barfu dihitung monetesasi sekitar Rp 30-Rp 49,-. Media perlu pembaca setidaknya 1 juta hingga 100 juta, baru bisa hidup.
Belakangan, google memebri syarat lebih ketat. Beberapa media menyebut, mereka tak bisa hidup mengandalkan googgle adsense. Secara menyeluruh, google hanya membayar 30% hingga 40% dari seluruh kebutuhan operasional sebuah media. Lainnya, harus mencari sendiri dari iklan secara konvensional: mendatangi produsen atau agency periklanan untuk menjual halaman atau isit ulisan mereka.
Agar Tidak Pikun
Tanpa bertanya apakah anda masih menulis untuk uang, Belinda Gunawan dan Ramadhan Syukur memiliki jasaban nyaris sama. Belinda menulis karena memang itulah dunianya selain agar ia tidak pikun. Pernyataan Ramadhan Syukur nyaris sama. Agar tidak tertimpa penyakir pelupa serta menegaktifkan motorik otaknya.
Itu sebabnya keduanya rajin menulis di medsos, khususnya Facaebook hanya untuk kesenangan. Ya untuk kesenangan di hari tua.
Penulis sekarang tidak bisa hidup dari hasil menulis di media, kecuali menulis untuk sebuah buku: cerpen, puisi, buku motivasi, biografi, mauoun buku fiksi mauoun non fiksi. Dari sini mereka memperoleh uang cukup, meski dengan susah payak, bahkan banyak yang melakukan cetak mandiri: menulis sendiri, cari percetakan sendiri, membeaya sendiri dan menjual sendiri.
Rendahnya Literasi
Di Indonesia sulit memperoleh penghasilan besar atau menggantungkan hidunya dengan membuat buku. UNESCO mencatat Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya, minat baca sangat rendah dengan persentase 0,001 persen atau dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca. Mungkin sekarang sudah naik jomor 62 dari 70 negara. Tapi, berapapun jika masih dibawah 50%, literasi kita memang rendah.
Saya pernah bikin survei untuk kesenangan saja dengan bertanya: Judul buku apa yang anda baca sebulan terakhir ? Kebanyakan sulit menjawab cepat. Jangankan sebulan lalu. Setahun lalu belum tentu bisa menjawab.
Itu antara lain para jurnalis senior ( untuk tidak menyebut tua), kesulitan beradaptasi dengan media online. Pembaca tidak mencari tulisan bagus. Mereka mencari berita terpanas, gosip dan menyangkut seks. Jangan salahkan pembaca jika ada penulis di medsos yang tulsiannya biasa-biasa saja, gak jelas, yang memberi jempol lebih banyak dari mereka yang menulis bagus dan dengan irama tulisan yanga dakik-dakik, berliku dan menyentuh.
Melatih Motorik
Jadi, jika ada yang beretanya apakah anda menulis untuk uang ? Saya satu universitas dengan Belinda Gunawan, maupun Ramadhan Syukur. Menulis adalah salah satu yang memberi kita kesenangan. Kesenangan berbagi ide, mengemukakan pendapat, kritik atau memiliki nilai-nilai yang dibutuhkan pembaca.
Jika dikaitkan dengan kondisi usia, menulis agar tidak menjadi pelupa, agar tangan bergerak dan tidak stroke serta melatih motorik kita, adalah piluhan bijak para penulis senior. Jika jurnalis senior masih menulis di media untuk uang, tentu bukan uang dari perusahaan media atau google.
FOTO: Berani Menulis
BACAAN MENARIK:Jurnalisme Sastrawi
Marcus Yam, Jurnalis Foto ‘Los Angeles Times’ Raih Pulitzer 2022
Reporter Cina dan Jurnalis Palestina Terima Penghargaan Kebebasan Pers 2021