Seide.id -Kita belajar dari kehidupan, begitu banyak nama besar, tak indah hari tuanya hanya lantaran berbuat tak elok. Kedapatan serong di mata hukum, padahal sebelumnya kita kagumi, dan hormati.
Betapa tidak nyaman menerima kenyataan hari tua menjadi tidak indah karena ulah sendiri. Terlebih kalau ia sosok figur publik. Maka sekecil apa pun kita, rancanglah hari tua agar indah. Juga ihwal kematian kita, seberapa elok bisa kita rancang. Ibarat puisi, itulah saja yang masih tersisa dari kita setelah semua tiada lagi. Ada kenang-kenangan yang pantas orang ingat. Apalagi kalau bisa menjadi harum karena kita menghiasnya dengan perbuatan mulia.
Selalu sajalah menempuh kehidupan dengan pikiran dan perasaan positif saja, jauhkan yang serba negatif. Senang melihat orang lain senang, bukan senang melihat orang lain susah. Sifat dengki, iri, sirik, tanpa kita sadari berbalik merusak badan kita. Hormon adrenalin sebagai stressor dalam tubuh, membanjir dalam darah bikin hidup tidak nyaman. Selalu terasa hidup menjadi tegang, merasakan sikap kurang bersahabat, karena ada yang kurang indah mengganjal di dalam diri. Saya pribadi menemukan orang-orang demikian dalam hidup saya, apakah mereka sebagai pasien, teman, atau relasi. Bertemu dengan orang yang bersikap iri hati dan dengki bukan sekali saya alami, menambah pelajaran hidup saya untuk tidak sampai saya sendiri melakukannya.
Kalau hidup hanya tersusun dari segala yang serba indah, yang postif, yang baik-baik saja, bahkan sesuatu yang mulia, akan indah buket hidup kita. Bila hanya itu yang kita pilih, hormon keindahan dalam tubuh bernama endorphine, beta-endorphine saja yang membuat hidup kita berbahagia. Hanya bila hormon kebahagiaan ini membanjir dalam darah, morfin produksi tubuh yang bikin kita lebih merasa nyaman ini, maka hari kita akan semakin menikmati hidup ini tanpa harus ada yang dilukai, atau disakiti. Walk the talk, benar di bibir, benar pula perbuatan kita.
Apa susahnya hidup lurus dan benar bagi semua orang. Kalau itu membuat hidup kita nyaman, dan hari tua semakin indah, tidak ada pilihan lain kecuali itu yang hendaknya kita lakoni. Seorang Nazaruddin yang sudah terdakwa bilang, boleh panggil saya Udin, boleh juga panggil saya Nazar, asal bukan dipanggil KPK. Pilu rasanya kalau nama besar terkoyak hanya oleh urusan kecil.
Saya sebut urusan kecil segala hal-ihwal duniawi, karena kelimpahruahan duniawi belum tentu membuat kita berbahagia. Banyak orang sekarang terjebak “treadmill hedonisme”, mengejar duniawi tanpa henti tanpa puas, namun kebahagiaan hidupnya berjalan di tempat.
Sedih rasanya kalau ada nama besar yang kita kagumi dan hormati, di hari tuanya dipanggil KPK, mestinya tidak boleh terjadi. Harga yang dibangun untuk memuliakan dirinya sebetulnya tidak ternilai, dan tidak bisa ditebus dengan berapa pun uang yang menggodanya, berapa pun harta yang ingin membelinya. Sungguh tidak terbeli, maka jangan sampai nama kita, terlebih nama besar, harga diri kita, kita lacurkan cuma untuk urusan remeh-temeh duniawi belaka.
Hanya bila kita terus berjalan, dengan pilihan lurus kata kita, dan lurus pula kata Sang Khalik, maka sampai ujung hidup kita masih mulia sebagai sebuah nama, sebagai seseorang, to be somebody, dan bukan sebagai nobody.
Dengan pilihan maha bernilai itu di ujung hidup kita nanti mudah-mudahan akan meraih “Oscar Kehidupan”. Ujung hidup ketika semua orang memberikan decak kekaguman. Maka dengan cara itu akan indah rancangan kematian kita, akan wangi sisa tubuh kita karena terlihat mulia di mata semua orang, terlebih di mata Sang Khalik.
Di mata metafisik, berbuat kebaikan memantulkan kebaikan. Di mata spiritualitas kita membaca ada karma. Pelajaran kehidupan sudah memberi tahu banyak ihwal ini kepada umat manusia, mengapa kita tidak meniscayainya.
Betapa tragis dan menyedihkannya bila hari tua menjadi terkoyak hanya karena kerikil yang kita buat sendiri. Lupa kalau keindahan hidup kita, keelokan hari tua dan kematian kita, kita sendiri yang merangkainya, dari sekarang.
Jangan pernah (lagi) berpikir dan beperasaan jahat. Indahkanlah hidup yang pendek ini, karena kematian betapa panjangnya.
Salam sehat,
Dr HANDRAWAN NADESUL