Moyan, nih! Lagi nge-Trend Se-Dunia

Foto foto: Heryus Saputro

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI.

“HEBAT , YA, BANG, orang-orang kita zaman dulu, yang punya tradisi moyan. Sekarang moyan bukan lagi hobinya orang kampung, Bang…! Orang sedunia, dari anak-anak sampe kakek-nenek, dari Mas Jokowi – Presiden kita sampe Perdana Menteri dan Raja negara-negara sahabat, sekarang mah nggak ada yang merasa malu untuk moyan, berjemur di hangatnya mentari pagi,” kata Mak Wejang.

Saya menganguk-angguk. Sambil buka-buka halaman seide.id di ponsel, sambil menikmati kehangatan sinar mentari pagi jatuh di punggung saya, kenangan melayang jauh ke almarhumah Ibu (atau seringkali Nenek) yang bila lagi, terlebih bila liburan sekolah, kami anak-anak (juga Ayah bila beliau tak sedang dinas kantor di hari libur) sama diminta berjemur matahari sambil sarapan pagi disiapkan.

Berjemur, nikmati matahari pagi.

Kebiasaan ini juga dilakukan banyak tetangga lainnya. Nenek bilang, “Iyeu tradisi ti baheula, tradisi karuhun (Ini tradisi sejak zaman doeloe, tradisi nenek moyang),” kata Nenek. Saya mengangguk-angguk, dan ingat dongeng Nenek ihwal sebuah kampung di Bogor, bernama Kampung Pamoyanan, karena dulu Sri Baduga – Raja Pakuan Pajajaran biasa semadi sambil moyan, menyerap energi matahari pagi.

Kampung Pamoyanan di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, kini tetap eksis. Lokasinya tak jauh dari situs purbakala, bagian reruntuhan Kota Pakuan Pajajaran. Uniknya, di Jawa Barat ada banyak kampung dengan toponimi Pamoyanan, semisal di Kota Bandung. Juga terdapat di Kabupaten: Bandung, Bandung Barat, Cianjur, Garut, Karawang, Majalengka, Purwakarta, Sukabumi, dan di Kabupaten Tasikmalaya.

Tradisi lawas yang ramai lagi. Berjemur, menyerap cahaya matahari

Kamus Basa Sunda karya R Satjadibrata (2005) antara lain menyebut ‘moyan’ sebagai kata kerja yang berasal dari kata benda: ‘poyan’ atau ‘cahaya panonpoe (matahari)’. Moyan berarti ‘cicing di tempat anu kapoyanan (isuk-isuk) ngarah haneut (berdiam di tempat yang banyak disinari matahari pagi, untuk mendapat kehangatan). Jadi, benar juga ya, dongeng Nenek saya ihwal kebiasaan Raja Sri Baduga semadi tiap pagi?

Tak sekadar dongeng atau banyaknya kampung bertoponimi Pamoyanan, berjemur matahari pagi kemudian memang jadi kebiasaan umum, khususnya di Jawa Barat dan Banten. Orang yang sedang sakit menjadi lebih sehat setelah berjemur matahari pagi. Tubuh lesu menjadi segar usai moyan. Kenapa begitu? Baru kemudian kita melek ilmu, bahwa sinar matahari pagi memang sangat baik bagi kesehatan tubuh.

Kebiasan moyan mungkin tak terasa di daerah perkotaan, di mana tiap pagi orang sudah sibuk menuju lokasi kantor. Atau saat berangkat ke kantor di saat hari masih pagi, juga dianggap sebagai bagian dari kesempatan berjemur matahari pagi. Sebagaimana petani di desa turun bekerja ke sawah dan ladang di pagi hari, sekalian ‘olah raga’ pagi? Bisa jadi begitu.

Yang pasti, kebiasaan moyan lantas jadi trend (tak cuma di Jawa Barat, Indonesia) dunia saat Covid-19 mewabah sejak awal tahun lalu. Moyan dalam arti sebenarnya, yang sudah jarang dilakukan, kembali jadi kegiatan massal. Tak cuma di rumah sakit. Tempat para pasien dirawat inap, tapi juga di segenap penjuru negeri dan dunia dimana banyak orang melakukan isolasi mandiri alias isoman

Juga bagi orang yang sehat yang merasa perlu untuk terus meningkatkan kebugaran dan daya tahan tubuh, cukup 15 menit tiap hari. Ada yang bilang sebaiknya di pagi hari saat sinar matahari belum begitu menyengat. Tapi ada juga yang menyebut sebaginya antara pukul 09:30-10:15. “Terserah saja mau pilih ‘mashab’ yang mana? Yang penting, kata dokter, moyan itu menyehatkan semua umur,” ungkap Mak Wejang.

“Kata dokter juga, Bang…! Bejemur tiap pagi dapat meningkatkan vitamin D dalam tubuh kita, hingga otot dan saraf jadi lebih terjaga, nggak loyo. Dengan vitamin itu sistem imun pun terbentuk hingga kita orang bisa lebih kuat ngelawan infeksi yang mungkin ditimbulkan bakteri dan virus. Pokoknya bejibun deh, Bang, gunanya moyan. Percaya nggak percaya, kudu percaya Bang, sama dokter, orang pinter…!”

Saya suma bisa mengangguk-angguk, menanggapi cerita Mak Wejang, sambil moyan dan terus buka-buka lembar Portal Berita seide.id. Ada cerita menggelitik serupa yang pernah saya alami, ihwal laporan Matt Bento yang sungguh lucu, seorang satpam PT KAI (yang kagak faham aturan) menegurnya saat memotret (dengan ponsel) kesibukan penumpang di ruang publik di sebuah stasiun. Perlu ditatar itu petugas, Boss, hihihi…!

24/07/2021 Pk 00:47 WIB


Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.