Mural yang dibuat pada 2019 dan sekarang masih ada di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, merupakan sosialisasi kampanye jujur bersih pada Pemilu 2019.
Oleh YUDAH PRAKOSO*
AKHIR-akhir ini kita disibukkan oleh polemik mural setelah ada sejumlah mural yang dihapus oleh aparat keamanan khususnya di Jakartapa kota lainnya di Indonesia. Bersamaan dengan itu Kelompok Gejayan Memanggil menggelar Lomba Mural dengan kriteria penilaian npat dihapus oleh apparat keamanan adalah bahwa mural yang baik dan akan mendapat apresiasi.Karya seni mural di ruang publik sebenarnya adalah karya dan cara seni lama. Mungkin usianya sudah puluhan tahun
Sebelum Masehi, zaman Prasejarah, mural terlihat di dinding gua-gua manusia purba berupa gambar telapak tangan, senjata, dan binatang. Mengenai lukisan mural sebagai karya seni, sampai hari ini diakui bahwa The Last Supper karya Leonardo Da Vinci merupakan karya mural yang pertama.
Artinya, mural bukanlah hal yang baru. Sudah sejak lama karya seni ini digunakan untuk mempercantik dinding dan penyampaian sebuah pesan.
Mural berasal dari kata Murus (bahasa Latin) yang berarti dinding. Mural adalah lukisan di dinding. Ketika dinding digunakan sebagai wahana ekspresi, dikategorikan sebagai karya dalam keluarga mural.
Menurut antropolog Prof PM Laksono, PhD, mural merupakan gerakan sosial anti-struktur. Sebagai sebuah karya seni yang tentu saja membawa pesan, mural merupakan penyampaian realita yang sedang dihadapi, dirasakan, dan dipikirkan.
“Sebagai sebuah lukisan di dinding di ruang-ruang publik, mural mengandung pesan sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi saat itu. Dalam penyampaiannya melalui lukisan dinding tak ada yang mengatur, tanpa struktur, baik itu struktur dari penguasa atau pemilik otoritas sebuah wilayah dan struktur fisik yang sesungguhnya. Jadi, karena lukisan itu ada di dinding, ya tidak ada frame atau pigura yang membatasi seni mural itu, Batasnya ya ketika batas dinding itu sendiri habis”, demikian pernyataan Laksono, yang sehari-hari sebuk sebagai pengajar dan peneliti antropologi di Dep[artemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Sebagai sebuah lukisan dinding yang lebih banyak menggunakan ruang publik, mural menjadi sebuah “hiburan dan informasi” bagi masyarakat yang berlalu-lalang di tempat-tempat berlukisan dinding tersebut.
Bagi pengelola kota atau daerah, dukungan terhadap para muralis atau seniman mural ialah untuk membersihkan dan menyelamatkan dinding – dinding kosong dari aktivitas grafiti. Hal ini terlihat ketika pada 2007 Wali Kota Yogyakarta Hery Zudianto mendukung para seniman mural dalam proyek Apotik Komik di dinding penyangga jalan layang yang menghubungkan Jalan Dr Soetomo dengan Jalan Dr Wahidin Soedirohoesodo, Yogyakarta. Jadilah sebuah pemandangan yang menarik waktu itu bagi para pengguna jalan.
Sebagai salah satu street art, menurut Samuel Indratma, yang dijuluki sebagai Presiden Mural Indonesia, mural merupakan karya dan produk seni yang bisa diakses semua orang sekalgus pembawa pesan yang positif, karena mural bisa menjadi sebuah media untuk “menggerakkan kota” secara positif melalui sebuah pesan yang dibawa oleh mural.
Seniman jebolan Institut Seni Indonesia Yogyakarta asal Gombong Tengah itu menambahkan bahwa mural sebagai street art merupakan sebuah seni yang menggunakan jalan, ruang publik, dan fasilitas publik untuk meletakkan karya. Bisa memakai dinding, tong sampah, pedestrian, ataupun ragam tempat lain.
Karya street art ini biasanya diharapkan bisa langsung diakses dan mendapat respons, baik di tempat itu maupun di kanal-kanal media yang lain, termasuk media sosial. Yang terpenting si seniman membuatnya pada malam hari dan esoknya masyarakat bisa menerima pesannya. Mengenai pesan dan selera seniman street art dalam mengelola bahasa komunikasinya, ada banyak ragam ekspresi. Bisa simbolik bisa gamblang.
“Di area ini tak ada yang bisa menduga dan tak ada yang dapat menjadi redakturnya,” demikian diungkapkan oleh Samuel Indratma, Sabtu, 28 Agustus 2021 sore di rumahnya yang unik di Desa Nitripayan, Kecamatan Sewon Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mural itu dilihat, bukan ditonton, karena menonton itu ada nilai komersialnya yaitu berbayar. Melihat itu gratis. Ketika mural itu difoto dan disebarkan melalui berbagai platform media, ia akan menjadi sebuah karya fotografi, bukan mural. Demikian juga ketika ditulis dan di narasikan, ia akan menjadi sebuah karya etnografi.
Sebagai salah satu bahasa komunikasi sosial, nyatanya mural hadir di tengah-tengah kita sebagai sebuah karya seni jalanan yang telah menjadi gerakan sosial anti-struktur.
* Penulis adalah jurnalis senior, produser liputan berita televisi, dan konsultan komunikasi dan penyiaran. Ia tinggal di Yogyakarta.