Foto : Andrew Petrov / Unsplash
Janji itu hutang yang kudu ditepati dan direalisasi. Janji itu nggegirisi, ketika diucapkan di hadirat Ilahi. Hati-hati, jika berucap janji, karena janji itu dibawa hingga mati…
Apapun yang hendak disepakati bersama dan diikat ke dalam suatu perjanjian, sebaiknya dipikir bijak agar kita tidak salah langkah. Dan dibebani oleh janji.
Bukan berarti kita tidak boleh janji, melainkan janji itu semestinya datang dari kesadaran hati. Karena kita dituntut untuk komitmen, konsekuen, dan berjuang untuk mewujudkannya.
Sekiranya janji itu sekadar di mulut, tapi lain di hati itu berarti suloyo. Kita tidak boleh tersinggung dan sakit hati, jika diberi predikat omdo alias omong doang.
Padahal, sejatinya mengikat janji itu membangun kepercayaan dan nama baik. Ketika kita melanggar janji, berarti hilang pula kepercayaan orang terhadap kita. Dan nama baik kita juga tercemar.
Lihat janji manis yang ditebar oleh kaum politisi ambisius untuk merebut hati konsituennya itu. Faktanya, jauh panggang dari api.
Lihat juga tebaran ranjau cinta bagi mereka yang menjalin hubungan di sosmed, dan berakhir kecewa, sakit hati, bahkan ada yang tragis.
Atau janji investasi bodong dari selebritas atau tokoh kondang yang menjual mimpi, tapi faktanya yang terbius itu gigit jari.
Percaya janji itu tidak dilarang. Tapi alangkah bijak, jika kita melihat perilaku orang itu.
Dengan nalar, kita melihat realita dan variabel kemungkinan agar kita tidak mudah terbius janji, lalu sakit hati.
Berjanji, apapun yang kita janjikan pada orang itu tampak sederhana, tapi mengikat kita dan membebani hidup ini hingga dibawa mati.
Sebelum terlambat, ingatlah janji kita pada orang lain, lalu usahakan untuk mewujudkannya.
Caranya, kita berdamai dengan diri sendiri. Jika kita tidak mampu, kita berani untuk meminta maaf dan ampunan-Nya.
Begitu pula, jika kita pernah sakit hati, karena tertipu janji orang lain, sebaiknya kita doakan saja agar kita ikhlas.
Hidup ikhlas itu kekasihing Gusti.
Tuhan memberkati.
Dengan Mengampuni Kita Semakin Kuat