Tahun 2000-an awal, jalur laut antara Tanjung Perak, Surabaya, dengan pelabuhan-pelabuhan di Kalimantan dilayari kapal cepat. Ada 5 Kapal Fery Cepat (KFC), Yakni KFC Ambulu, Serayu, Cisadane, Mahakam dan Barito. Kalau kapal Pelni sampai ke Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin atau Batulicin memakan waktu sehari semalam, maka kapal cepat ini hanya butuh waktu 8 jam saja. Sedang ke Balikpapan, sekitar 16 jam.
Namun kapal cepat ini, sejak 2006 sudah tidak dioperasikan lagi untuk kapal penumpang. KFC yang dikelola oleh Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) ini, oleh Depertemen Perhubungan dihibahkan ke TNI AL untuk kapal perang.
Kapal cepat layaknya speed boat itu dimodifikasi menjadi kapal perang untuk pengiriman pasukan juga dipersenjatai. KFC Serayu misalnya menjadi KRI Karang Banteng-983. Sekarang KRI ini sudah berada di dasar lautan Selat Bali karena ditenggelamkan, setelah masa tugasnya berakhir tahun 2014 lalu.
Kalau KFC Serayu menjadi KRI Karang Banteng-983. Empat kapal lainnya, KFC Ambulu jadi KRI Karang Pilang-981, KFC Mahakam jadi KRI Karang Tekok-982, KFC Cisadane jadi KRI Karang Galang dan KFC Barito jadi KRI Karang Unarang-985
Awal tahun 2000 itu, saya sering mondar-mandir Surabaya – Batulicin. Meki harga tiketnya lumayan mahal, awal tahun 2000-an kisaran Rp 225 ribuan. Namun cukup menghemat waktu, dibanding naik kapal Pelni. Berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya, jam 09.00 pagi, sampai Pelabuhan Batulicin sekitar pukul 16.00.
KFC Serayu produksi galangan Kapal Lauzern Jerman, tahun 1998. Jadi saat saya naiki, masih terbilang baru. Baru 2 tahun keluar pabrik. Interiornya mirip sekali dengan interior pesawat terbang. Semua tempat duduknya reclining seat, dapat disetel sesuai kebutuhan penumpang. Juga ada tempat pijakan kaki.
Lebih asyik lagi pramugarinya cantik-cantik hingga pelayaran 8 jam itu tak terasa penat. Konsumsi yang sudah dipacking juga sangat memadai dengan harga tiketnya.
KFC Serayu mampu membawa hampir 1000 penumpang dengan kecepatan maksimal 40 knot (74,08 km/jam). Bercat putih bersih berstrip biru.
Dalam cuaca baik, kapal ini lumayan nyaman. Bagai naik speed boat besar saja layaknya. Begitu kecepatannya digeber, moncong kapal itu pun ndangak, seperti juga speed boat kecil di Telaga Sarangan, Magetan.
Namun, ketika cuaca buruk bergelombang ganas, yang tingginya antara 5 sampai 10 meter, jangan ditanya lagi. Kapal sampai meliuk-liuk menghindari gelombang bahkan miring 45 derajad hingga barang penumpang yang dibawa masuk kabin pun kocar-kacir.
Saya pernah naik Serayu dalam kondisi cuaca buruk dan ekstrem seperti itu. Perut saya berasa seperti diaduk-aduk, hingga terpaksa lari ke toilet untuk muntah. Sampai di tolet justru rasanya semakin teraduk-aduk, lantaran toilet itu sudah penuh muntahan penumpang lain. Sampai berceceran di lantai dengan bau arus yang menyengat. Jadinya saya benar-benar ‘’muntah cecek’’. Padahal saya termasuk orang yang tidak pernah muntah.
Bagai Magnet
Transportasi laut menuju Batulicin di akhir abad 19, benar-benar sangat dibutuhkan. Daerah itu merupakan magnet bagi pemburu recehan seperti saya saat sudah tidak aktif jadi wartawan. Sumber Daya Alam yang dieksplorasi besar-besaran, seperti batubara, kayu yang diolah jadi plyood membuat banyak pendatang ikut mengais rezeki di situ.
Saat itu belum ada penerbangan menuju daerah yang masuk Provinsi Kalimantan Selatan itu. Maka satu-satunya alat transportasi dari luar Kalimantan Selatan, khususnya ke Batulicin, ya lewat laut.
Maka keberadaan Kapal Fery Cepat (KFC) Serayu sangatlah membantu, lantaran waktu tempuh dari Surabaya yang hanya 8 jam. Bisa juga naik pesawat lewat Banjarmasin. Namun Banjarmain – Batulicin waktu itu hanya ada angkutan darat dengan waktu tempuh 6 jam dan bisa lebih.
Saya pernah mencoba lewat Banjarmasin, tapi naik kapal Ro-Ro Marina. Kapal Ro-Ro merupakan kapal yang bisa angkut mobil. Selain waktu tempuh lama, sehari semalam ditambah 6 jam perjalnan darat, juga anggaran pun membengkak.
Apalagi sebelum turun Pelabuhan Trisakti, penumpang yang mau melanjutan perjalanan ke Batulicin ditawari tiket travel oleh ABK. Saya yang baru kali pertama lewat Banjarmasin, pun langsung pesan, meski saya tahu harganya pasti lebih mahal, sampai dua kali lipat harga normal.
Bayangan saya, travelnya seperti di Jawa. Begitu turun sudah dijemput oleh seorang untuk diantar ke tempat travel itu. Saya sempat terbelalak, ternyata yang dinamakan travel itu adalah Colt Bagong seperti angkutan pedesaan di Jawa. Kemungkinan ABK cari hasil sampimgan dengan mencarter Colt sendiri, lantaran tahu banyak penumpang yang melanjutkan perjalanan ke Batulicin.
Sayang, awal tahun 2000-an ketika harga tiket pesawat sedang murah-murahnya, operasioal kapal cepat dinilai sangat tidak memadai. Karena itulah tahun 2006 KFC Serayu bersama empat saudara kembarnya, KFC Ambulu, Mahakam, Cisadane dan Barito, dihibahkan ke TNI AL oleh Dephub. *