Sebagai musisi yang kini produser Nyo prihatin dengan kehidupan artis dan pencipta lagu kita yang merana di hari tua. Lembaga penagih royalti (LMK) cenderung tidak transparan dan terkesan hanya memberikan “uang kerohiman” pada para seniman atas hak yang seharusnya diterima lebih banyak untuk mereka. foto: Nyo Kristianto diapit oleh penyanyi Dian Piesesha dan produser Judi Kristianto, ayahnya.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
DITEMPA oleh pengalaman dan kerjakerasnya di Amerika, saat kuliah di Berklee College of Music di Boston, AS, dan sesudahnya – serta didorong oleh keyakinan etika, moral dan agama dalam praktik kehidupan nyata, yaitu keseimbangan hak dan kewajiban, Leonard ‘Nyo’ Kristianto tegas menyatakan, “pantang saya mengambil hak orang lain”.
Utamanya hak para seniman di industri musik, dimana dia bergelut sekarang ini. “Karena saya juga pelaku seni. Saya pemain musik, saya komposer. Saya merasakan bagaimana susah payahnya berkarya, “ kata Nyo, dengan nada menggebu.
Didampingi Winda Susanti, sekretarisnya, CEO JK Records ini menyambangi markas komunitas Kandang Ayam di Rawa Mangun, Jakarta Timur, baru baru ini, dan banyak bicara kepada para jurnalis senior seputar industri musik digital mutakhir.
Dalam setiap kesempatan, musisi jazz dan produser JK Records ini, bicara tentang pentingnya keadilan bagi semua yang terlibat di industri musik. Melawan mafia yang menguntungkan sedikit orang – yang notabene bukan artis dan pemusik – dan merugikan lebih banyak orang yang berkarya dan pernah menghasilkan karya monumental.
“Sejujurnya, hak hak seniman musik; pencipta, penyanyi dan aranger, selama ini diberikan ala kadarnya oleh para produser dan LMK – lembaga manajemen pengumpulan karya hak cipta. Hasil royalti diberikan tanpa kejelasan, yang nilainya setara dengan ‘uang kerohiman’, “ kata anak dan penerus produser legendaris 1980-an, Judi Kristianto ini.
Lewat aplikasi JK Royalty rancangannya, yang dirilis beberapa tahun lalu, dia menciptakan sistem bagi produser dan pelaku industri musik, yang membagi hak hak para pelaku industri, yang telah dirilis.
Begitu karya musik dilepas ke pasar, maka langsung aliran hak dan royalti ke produser, penulis lagu, aranger, tersalur dan terungkap. “Bisa dipantau dan di-update secara langsung juga ditarik hasilnya secara berkala. Misalnya tiap awal atau tengah bulan, “ katanya.
Nyo Kristianto kini merupakan produser musik digital yang langsung menawarkan karya karya seniman musik dengan basis royalti. Bersamanya, pencipta lagu, penyanyi, berkarya dan berjuang saat “jualan” di dunia maya, di berbagai platform musik digital yang ada – karena tak ada lagi penjualan fisik (kaset dan CD) seperti dulu.
“Titip edar yang hasilnya bisa dipantau bersama setiap saat, “ katanya.
Idealismenya – dalam berbagi hasil dengan seniman – mengental dan mengeras, didorong oleh pengalaman langsung, melihat para artis dan seniman musik Indonesia hidup merana di hari tua. Keleleran disergap berbagai penyakit, tanpa jaminan sosial dan penghasilan tetap.
Mereka adalah kolega ayahnya, Judi Kristianto, pendiri JK Records, yang menaungi banyak penyanyi dan pencipta lagu era 1980-an.
“Mengapa di dunia Barat para seniman musik makmur dan nyaman di hari tua, sedangkan kita tidak? Padahal sama sama melahirkan karya monumental, terus menerus diputar, dikenal publik dan dinyanyikan sejak dulu sampai sekarang, “ katanya, gusar.
KINI NYO mencari sosok “Ratu Adil” – figur yang bisa tampil di depan, sebagai pengumpul, penagih dan pembagi hak royalti seniman, dengan sistem digital termuannya.
“Teman teman saya di produser musik digital memiliki nasib sama, karena pengambilan hak royalti dari karaoke, radio, teve dan lainnya nggak jelas dan nggak adil oleh LMK yang ada” kata musisi dan produser, ayah tiga anak ini.
“Dia harus berani bersuara, berani menghadapi mafis, media darling, dan idealis, gak mudah disogok. Karena bisnis ini sangat rawan sogokan atau tuntutan dan penjegalan, dengan akibat terlantarnya hak hak para seniman, “ katanya, mengenai sosok yang dicarinya.
“Kita nggak nutup mata, para artis dan seniman pencipta lagu sendiri, oleh kebutuhan hari harinya yang mendesak, terpaksa kompromi mau diatur oleh produser dan LMK nakal. Karena nggak ada pilihan dan mau gampangnya aja, “ ungkapnya. ***