Seide.id – Saya senang dipanggil ‘Oma‘ atau ‘Bunda‘ karena dua panggilan itu secara tidak langsung menceritakan kiprah saya sebagai perempuan, sebagai ibu dan sebagai oma, itu semacam ‘jalur sutra‘ yang penuh perjuangan dari perjalanan seorang perempuan.
Bisa juga dikatakan itu merupakan ‘previlage’ yang mengukuhkan bahwa sebutan itu menjadi cermin dari seorang perempuan untuk menentukan jalan hidupnya, termasuk pilihannya dalam menikah.
Nah, jika sebutan Oma atau Bunda, dijadikan anomali dan memutarbalikan fakta lalu ada yang memanggil dengan sebutan ‘dik’ atau ‘dinda’? Tentu tawa sambil ‘nyengir’ muncul di wajah saya. Karena yang memanggilnya memiliki usia lebih muda dari saya.
Hm…selaku perempuan dengan pengalaman yang sudah merasakan asam garam kehidupan hampir setengah abad lebih, panggilan yang ‘memundurkan’ sejarah perkembangan usia saya, adalah panggilan yang memiliki makna ganda, penuh rekayasa juga ‘modus‘.
Jadi agar tak terjadi gegar juga euforia yang membuat si Oma atau Bunda ‘geer’, maka jawaban yang diberikan adalah, “Tetap panggil saya Bunda atau Oma, saya punya dua cucu dan dua anak lelaki yang gahar–gahar, mau kena tinju dari mereka?”
Jangan memutarbalikkan fakta atau mengolah rasa yang pada akhirnya menjurus ke pemanfaatan kehendak, sebab di balik semua itu ada rekayasa terselubung yang memanfaatkan beragam faktor, salah satunya faktor pesona ragawi juga perilaku yang dimark-up bagai permainan drama satu babak.
Jadi ‘be carefull‘ pada jebakan ‘betmen‘, sebab imbas dari semua itu kehancuran. Untuk itu, jika bertemu saya, tetap panggil saya “Bunda…Omaaa Fanny…” maka saya akan memberikan senyuman yang paling teduh dan manis..
#belajarmerangkaikata
(Fanny Jonathan Poyk)