Foto : Volker Lekies/pixabay
“Peliharalah dulu air, baru menaburkan ikan.”
Masyarakat kita mengenal frase, “memelihara ikan,” sebutan atau predikat bagi orang yang menernakan ikan sebagai sebuah profesi.
Secara filosofi, sang manusia, kita, sering terjebak dengan menyibukkan diri untuk mengutamakan memelihara ikan, padahal kita belum memperhatikan kualitas airnya.
Bersihkah airnya, berlumpur ataukah jernih.
Karena, ada jenis ikan yang memang senang hidup di dalam air berlumpur. Tapi, justru tidak sedikit ikan yang hanya tenteram hidup di dalam air yang jernih dan bersih.
Saudara, pertama-tama yang perlu diperhatikan ialah bagaimana kondisi airnya, dan bukan ikannya.
“Ikan” adalah “sang manusia,” dan “air” adalah “suasana, kondisi, keadaan,” lingkungan hidup kita.
Entah itu sebuah organisasi, entah itu sebuah lembaga keagamaan, atau pun sebuah persekutuan hidup kemanusiaan.
Siapkan dulu sikon yang nyaman dan aman demi berlangsungnya suatu persekutuan hidup, baru menaburkan ikannya.
Ikan, adalah saudara dan saya. Bagaimana jika saya dan anda hidup di dalam sebuah kondisi hidup yang kacau balau dan tidak tenteram. Bagaimana anda dan saya bisa hidup di dalam suatu suasana yang diskriminatif serta serba intoleransi.
Masyarakat kita sering terjebak dengan pertama-tama sibuk memelihara ikan, tetapi mengabaikan kondisi airnya.
Maka, pertama-tama yang perlu kita pelihara, bukan ikannya, melainkan airnya. Siapkan dulu kondisi air jernih di dalam organisasi anda, baru menaburkan ikannya.
Lewat tulisan ini,
sang penulis mau mengajak masyarakat kita, agar berani mengubah maindset serta paradigma lama, bahwa yang “utama dan pertama” adalah “memelihara kondisi air,” baru memelihara ikan.
Mengapa kehidupan
sang manusia sering penuh dilematis, khaostis, serta tidak sehat, faktor utama dan pertama, justru karena kondisi masyarakat kita yang memang tidak sehat.
Maka, dahulukanlah
air, baru ikannya!
Kediri, 12 Desember 2022