Pendidikan Setinggi Mungkin. Tepatkah?

Kemarin, bersama seorang kawan yang juga seorang tua tunggal, aku ngobrol soal pendidikan.

Awalnya bicara soal mendidik anak, bagaimana mendampingi mereka sampai ke masa depannya… akhirnya ya bicara soal sekolah.

Meskipun jenjang pendidikan akhirku adalah S2 dan bertahun -tahun aku sempat menjadi dosen di 5 universitas, aku bukan orang yang mendewakan sekolah sampai segala kesuksesan harus dicapai lewat jalur pendidikan formal.

Tidak.
Tidak semua hal perlu diraih dari bangku kuliah.

Menurutku, mengejar pendidikan formal sampai ‘setinggitingginya’ itu hanya masuk akal jika untuk kepentingan akademik :

  • untuk bekerja sebagai pendidik, di lembaga resmi pendidikan.
  • untuk menjadi ilmuwan.
  • untuk meniti karir professorship.

Sedangkan MBA itu cocok untuk karyawan eksekutif yang akan menduduki jabatan tinggi di perusahaan.

Orang Indonesia, menurutku, banyak salah-kaprah soal pendidikan ini.

Mengira bahwa pendidikan tinggi adalah hebat. Lalu dijadikan tujuan.
Sampai simboksimbok bakul gudeg punya motto : pokoknya semua anakku harus sekolah tinggi. Jadi sarjana. Lalu ngoyo kerja sampai bengek dan sakit-sakitan.

Padahal, tidak selalu perlu begitu.

Mustinya: kita semua ini membimbing anak untuk mengenal minatnya, agar paham bakatnya di mana. Lalu menetapkan pilihan bidangnya kelak. Nah dari situlah, kita baru bisa menentukan :
mau sekolah jenis apa, dan sampai jenjang apa.


Secara populasi, hanya sedikit manusia yang memiliki kemampuan berpikir ‘abstrak logic’… yaitu mampu memahami teori yang ngawangngawang… lalu membangun hipotesa… dan menerapkan konsep itu ke bentuk ilmu yang lebih aplikatif.
Nah, dari manusia yang sedikit ini, cuma ada beberapa yang berminat jadi ilmuwan dan professor.

Nah, orang-orang seperti inilah yang cocok untuk sekolah terus : setinggi-tingginya, agar bisa meniti karir dari master, PhD, doktor, profesor dan seterusnya.

Sementara, mayoritas orang itu memiliki kemampuan logis- rasional yang konkrit. Bagus untuk pekerjaan-pekerjaan yang aplikatif. Kalo orang bilang, pekerjaan vokasional.
Pekerjaan yang melibatkan praktek, respon-respon motorik, dan penerapan logika aplikatif…

Nah, ini cocoknya sekolah di kejuruan.

CELAKANYA… banyak orangtua (bahkan guru-guru sekalipun) yang salah-kaprah.
Mengira anak eksakta itu pintar dan anak sosial atau bahasa itu bego.
Mengira sekolah di SMU itu lebih menjanjikan masa depan ketimbang di SMK.

Masyarakat barat (Eropa dan Amerika) sudah paham tentang ini. Mereka nggak mendewakan kuliah.

Lulus Sekolah Menengah, kalau seseorang itu sadar bahwa dirinya nggak tertarik jadi ilmuwan, ya pilihannya adalah kerja.
Dan membangun karir cemerlang sesuai bidang kerjanya…

Lalu menambah ilmu dari mana?
Ya dari aneka kursus vokasional, seminar-seminar dan workshop lah… Mengerjakan proyek baru, atau membangun kerjasama usaha dengan pihak asing. Banyak membaca. Itu belajar juga.

Coba aja cek, milyarder dunia.
Berapa banyak sih, yang sekolahnya sampai S2?
Aku cuma nemu Warren Buffet dan Elon Musk doang.

Tapi Bill Gates?
Richard Branson?
Mark Zuckerberg?
Oprah Winfrey?
Steve Jobbs?

Jack Ma saja 10 kali gagal menembus universitas. Hanya SETELAH dia sukses besar dengan Alibabanya di tahun 2000, barulah dia mendaftar kuliah… dan diterima.

Memang, tidak bersekolah tinggi juga nggak menjamin seseorang bisa menjadi seperti Susi Pujiastuti. Bukan itu poin tulisanku ini.

Melainkan :

  1. Kenali diri (atau bantu anak untuk mengenali diri)
  2. Menjadi dirinya sendiri.
  3. Menentukan tujuan hidup.
  4. Lalu mencari cara yang paling tepat dan efisien untuk mencapai tujuan itu.

Dan jawabannya tidak sesimpel : sekolah setinggi-tingginya dan jadi juara terus.

Karakter juga musti dibangun, terutama Intellectual Character (yaitu kemampuan dan kesukaan berolahpikir).

Tanpa thinking skill, semua pengetahuan nggak akan bermanfaat karena cuma akan diingat sebagai hafalan.

Penulis: Nana Padmosaputro

Avatar photo

About Ricke Senduk

Jurnalis, Penulis, tinggal di Jakarta Selatan