Cerpen terjemahan oleh BELINDA GUNAWAN
(Bab 1 dari Peony in Love oleh Lisa See)
Menikah, bagi Peony adalah kewajiban yang harus dipenuhinya. Tapi kemudian ia jatuh cinta…
Dua hari sebelum ulang tahunku yang keenambelas, aku terbangun pagi-pagi buta. Kubiarkan pelayanku terlelap di lantai, karena ingin punya waktu sendiri untuk meresapi kebahagiaanku. Mulai malam nanti aku akan menonton opera “Paviliun Peony” di kebunku. Aku suka sekali ceritanya, dan telah mengumpulkan belasan versi bukunya. Aku sering berbaring di ranjang sambil membaca ulang kisah Liniang dan kekasihnya, pengalaman mereka dalam mimpi maupun kenyataan, dan akhir bahagia mereka. Sekarang, sejak malam ini hingga tanggal tujuh bulan tujuh – festival para kekasih – aku akan menyaksikan kisah ini dipentaskan. Ayahku mengundang tamu untuk merayakan pesta ini, yang juga akan dimeriahkan dengan perlombaan dan makan-makan.
Ketika aku masih kecil, aku mengira festival para kekasih diadakan untuk menyambut hari ulang tahunku. Tak ada yang mengoreksi salah paham ini, karena aku sangat dimanja. Tahun ini, ‘pesta ulang tahun’ ini akan menjadi yang terakhir kualami di rumahku sebelum aku menikah. Aku memang sudah cukup matang untuk menikah. Lihat saja bayanganku di cermin. Rambutku hitam dan berkilau, mataku berbentuk daun bambu, alisku bagai dilukis ahli kaligrafi, pipiku merah jambu seperti kelopak bunga peony, bibirku penuh dan lembut. Pinggangku ramping dan payudaraku ranum.
Willow bangun dan membantuku bersiap-siap. Setelah berdandan rapi aku pun melangkah ke ruang sarapan. Di salah satu paviliun kulihat ibu dan ayahku duduk berbincang. Kudengar Mama berkata, “Kau ‘kan tahu, gadis baik-baik tidak boleh kelihatan di depan umum.”
“Mereka tidak akan tampil di depan umum,” sahut Baba. “Kalian, para wanita akan tersembunyi di balik tirai.”
“Tapi pria-pria itu hadir di pekarangan kita. Mereka bisa saja melihat sepatu kami di bawah tirai, menghirup wangi rambut atau bedak kami. Lagi pula, di antara sekian banyak naskah, bisa-bisanya kau memilih kisah yang seharusnya tidak disaksikan para perawan.”
“Kau tidak mengeluh ketika anggota kelab puisiku berkunjung.”
“Tapi putri dan keponakan kita tidak ada di kebun ketika itu. Bagaimanapun, aku sesali keputusanmu mengundang tamu.”
“Kau tahu alasanku,” kata Baba, tajam. “Komisioner Tan penting bagiku sekarang ini. Siapa tahu dengan membuka pintu sekali ini, akan terbuka pintu-pintu lainnya. Jangan membantah lagi.”
“Ya sudah, kau yang paling tahu apa yang penting bagi keluarga kita,” jawab Mama.
Aku melanjutkan langkahku ke Paviliun Musim Semi. Begitu Mama tiba, wajahnya sudah biasa lagi. Sebagai istri kepala keluarga di rumah besar kami, ia harus memelihara suasana, ketertiban, sopan santun dan tradisi.
Begitu para pelayan selesai membersihkan meja, aku menghampiri ibuku. “Bolehkah aku ke pintu depan?”
“Nanti, pada hari pernikahanmu,” jawabnya tersenyum, menjawab pertanyaanku yang ‘bodoh’.
Aku hanya bisa membayangkan tandu-tandu berdatangan, melewati pintu utama menuju Ruang Duduk. Dari situ tamu pria akan pergi ke ruang Anggun Berkelimpahan, sedangkan tamu wanita akan bergabung bersama kami.
*
Opera itu digelar oleh pemain keliling, dengan ayahku sebagai sutradara. Beberapa pelayan ikut dilibatkan, termasuk Willow sebagai pelayan Liniang. Dalam adegan pertama tampak keduanya belajar pada seorang guru yang galak. Willow minta izin ke belakang. Caranya memegang perut bagian bawah membuatku risih. Perhatianku jadi teralih, dan dari celah tirai aku melihat punggung para penonton pria. Salah satunya menengok ke samping untuk bicara dengan orang di sebelahnya, sehingga terlihat sebagian wajahnya. Tulang pipinya tinggi, matanya lebar dan ramah, dan rambutnya hitam bagai gua yang kelam. Rambutnya dicukur di bagian depan dengan gaya Manchu, dan kepangnya tersampir di bahu. Ia tersenyum, menampakkan deretan gigi yang rapi. Ketika ia menatap ke depan lagi, baru aku sadar bahwa aku menahan napas. Aku menghembuskannya perlahan, mencoba berkonsentrasi ke panggung lagi.
Willow membujuk nonanya untuk berjalan-jalan di kebun. Malam itu ketika tidur, Liniang bermimpi dirinya berada di kebun lagi , dan berjumpa dengan pemuda Mengmei. Pertemuan mereka ditandai luruhnya kelopak-kelopak bunga dari atas bebatuan. Ketika bangun dari tidurnya, Liniang menyadari ia jatuh cinta. Ibunya menyuruhnya makan, tapi mana bisa?
Apa yang terjadi pada Liniang, dan pengalamanku melihat wajah pemuda tampan itu, membuatku resah. Aku bangkit dan berjalan di antara bantal-bantal penonton. Aku menyeberangi jembatan di atas salah satu empang teratai, dan tiba di Paviliun Menunggang Angin. Di situ aku duduk menenangkan diri.
Tahu-tahu, aku tidak sendirian lagi. Ada dia.
“Maafkan aku,” katanya sambil menyatukan tangan dan membungkuk berulang-ulang.
Jantungku berdegup kencang. Lelaki ini tamu ayahku. Aku harus bersikap sopan. “Salahku,” kataku. “Seharusnya aku tidak meninggalkan pertunjukan.”
“Aku juga. Tapi cinta antara keduanya …” Ia menggelengkan kepala. “Bayangkan bagaimana rasanya menemukan cinta sejati…”
“Aku telah membayangkannya berkali-kali.”
Terkejut akan kata-kataku sendiri, kututup mulutku dengan tiga jari.
“Aku juga.” Ia maju selangkah. “Tapi Liniang dan Mengmei bertemu di dalam mimpi, dan kemudian jatuh cinta dalam kehidupan nyata.”
“Mungkin kau belum tahu ceritanya,” kataku. “Mereka memang bertemu, tapi Liniang baru mengejar Mengmei setelah ia menjadi hantu.”
“Pemuda itu harus mengatasi ketakutannya akan Liniang.”
“Ketakutan yang dirasakannya setelah Liniang merayunya.”
Oh, bagaimana mungkin kalimat itu terucapkan olehku? “Maafkan aku, aku harus kembali,” kataku terburu-buru.
“Tunggu. Jangan pergi. Aku ingin tahu pendapat perempuan terhadap opera ini.”
Perempuan? Aku melangkah melewatinya, hati-hati agar ujung gaunku tidak menyentuhnya.
Lalu kudengar ia berkata, “Penulis ingin menggugah perasaan wanita terhadap qing – cinta dan emosi. Aku turut menghayati isi cerita, tapi aku tak tahu apakah perasaanku ini nyata.”
Kami hanya terpisah beberapa inci.
“Aku… bagaimana mungkin gadis pingitan dari keluarga elit …”
“Seperti dirimu…”
“… memilih jodohnya sendiri? Tak mungkin bagiku, tak mungkin juga bagi Liniang.”
“Pikirmu, kau memahami Liniang lebih dari pengarangnya?”
“Aku perempuan seperti dia, usia kami sama. Aku akan menuruti apa yang dikehendaki ayahku, tapi semua gadis memiliki mimpinya masing-masing.”
“Jadi kau punya mimpi seperti Liniang?”
Aku dibakar rasa malu karena telah bicara terlalu banyak. Aku menunduk. Sepatu yang menutupi kakiku tampak kecil bersisian dengan sandal bordirnya. Aku tahu ia menatapku, tapi untuk membalasnya, aku tidak berani. Aku pun meninggalkannya.
“Besok ketemu lagi?” ujarnya. “Di sini?”
Aku tidak menjawab.
Dari celah tirai kulihat pemuda itu kembali ke tempat duduknya. Aku memejamkan mata.
Liniang sedang sekarat. Ia minta maaf pada ibunya, karena tidak sanggup berbakti pada orang tua hingga akhir hayat mereka. Ia memohon agar jasadnya dimakamkan di kebun, di bawah pohon plum. Kepada pelayannya ia minta untuk meletakkan lukisan dirinya di dalam gua, tempat dia dan Mengmei memadu kasih di dalam mimpi.
Malam itu di tempat tidurku, aku merasakan rindu yang begitu dalam hingga sulit rasanya bernapas.
*
Malam kedua, ketika gemerincing canang memanggil penonton, aku berlama-lama sehingga tidak kebagian tempat di tengah. Aku duduk di pinggiran.
Mengmei sakit dalam perjalanannya ke ibukota untuk menempuh ujian negara. Mantan guru Liniang menampungnya di kuilnya di dekat pohon plum. Saat itu Liniang sudah tiga tahun meninggal, dan diizinkan oleh hakim alam baka untuk berkelana di dunia mencari kekasihnya.
Aku menunggu sampai Liniang mengetuk jendela Mengmei, lalu bangkit. Perasaanku serupa dengan perasaan Liniang, ketika ia melangkah mengelilingi Mengmei, dan membelainya dengan kata-kata, “Aku adalah bunga yang kaubiarkan mekar di kegelapan malam.”
Langkahku ragu di jembatan. Aku anak perempuan dari keluarga terhormat, dan sudah bertunangan. Kakiku kecil sebagai hasil jerih payah ibuku. Kalau terjadi sesuatu aku tidak bisa berlari atau melayang seperti Liniang. Kalau aku tertangkap basah, pertunanganku akan bubar. Aku tahu perbuatanku bodoh, tapi otakku buntu oleh rindu.
Dia sudah menunggu. Mula-mula kami tidak berkata-kata. Mungkin ia juga takut ketahuan, seperti aku. Tapi mungkin juga ia tengah menyerapku masuk ke dalam dirinya, seperti halnya aku membiarkannya masuk ke dalam paru-paruku, mataku, hatiku.
Ia yang duluan bicara. “Lukisan diri Liniang tidak hanya melambangkan dirinya, melainkan memegang kunci hubungannya dengan Mengmei . Perhatikan saja bunga plum di tangannya, kata-kata dalam puisinya. Mengmei melihat calon istrinya di helai sutra berisi lukisan.”
Bukan kata-kata romantis yang kuharapkan, tapi bagaimanapun, aku hanya bisa mengikuti arah pembicaraannya.
“Aku suka bunga plum,” kataku. “Kaulihat adegan Liniang menebarkan kelopak bunga plum di bawah pohon?” Ia mengangguk, dan aku melanjutkan, “Apakah kelopak bunga yang ditebarkannya berbeda dengan kelopak bunga yang dibawa angin sekarang ini?”
Ia tidak menjawab, tapi berkata dengan suara tercekat, “Mari kita lihat bulan.”
Terdorong oleh keberanian Liniang, aku mendekat. Angin menghembus dari danau, membelai pipiku yang memanas.
“Kau dingin?” Ia bergerak ke belakangku, dan meletakkan tangan di bahuku.
Aku ingin berbalik dan menatap matanya, tapi lagi-lagi aku tak sanggup. Ketika ia melepas pegangannya, tubuhku agak sempoyongan. Satu-satunya hal yang mencegahku berlari atau pingsan adalah kehangatan yang terpancar dari tubuhnya.
Dari arah panggung kudengar Mengmei bertanya pada Liniang, “Kau sudah bertunangan?” Dan di kehidupan nyata pemudaku menanyakan hal yang sama.
“Sudah,” jawabku, “Sejak aku masih kecil.”
Ia menghela napas. “Aku juga.”
“Kalau begitu kita tidak boleh berjumpa.”
“Aku bisa saja mengucapkan selamat malam, tapi sungguhkah itu yang kauinginkan?”
Liniang menyatakan kekhawatiran, kalau-kalau Mengmei hanya menginginkannya sebagai selir, bukan istri.
Aku pun jadi penasaran. Bukan salahku sendiri, kalau kami saling bertemu seperti ini.
“Inikah yang akan dialami istrimu … kau menemui wanita lain?”
Ia tersenyum canggung. Lalu ia mengutip kata-kata mutiara, “Sekalipun laki-laki dan perempuan berbeda, dalam cinta dan hasrat mereka serupa.” Lalu tambahnya, “Yang kuinginkan bukan hanya seorang pendamping di rumah, tapi juga di kamar tidur.”
“Jadi kau sudah mencari selir bahkan sebelum menikah,” kataku. Selir adalah musuh besar setiap istri Cina.
“Kalau kau yang jadi istriku, aku tak butuh selir lagi.”
Mendengar kata-katanya aku tersipu malu, dan merasa bahagia.
“Kurasa kita sudah ditakdirkan untuk bersama,” katanya. “Aku tidak tahu kau bakal ada di sini semalam, tapi nyatanya kau ada. Kita harus menerima, bahwa nasib telah memberikan kita kesempatan istimewa.”
Liniang mengakui siapa dirinya: sosok yang terjebak antara dunia dan alam baka. Mengmei berteriak kencang saking terkejut.
Pemudaku berkata, “Kurasa kau kenal betul opera ini.”
“Aku hanya seorang gadis dan pendapatku tak penting,” kataku merendah.
Ia tersenyum menatapku. “Kau cantik, dan itu membuatku senang, tapi apa yang ada di sini,” ia menunjuk ke dadaku, “itulah yang ingin aku ketahui.”
Tempat di mana ia hampir ‘menyentuhku’ serasa terbakar.
“Aku harus kembali,” kataku.
“Besok ketemu lagi?”
“Tidak bisa, nanti aku dicari.”
Dua malam tanpa ketahuan sudah suatu mukjijat. Bagaimana mungkin aku berharap lebih?
“Besok, tapi jangan di sini. Ada tempat lain?”
“Paviliun Memandang Langit di tepi danau,” kataku. “Letaknya paling jauh dari semua ruangan dan kebun.”
“Kalau begitu kutunggu kau di sana.”
(Bersambung)