Bertahap Bertingkat Berlanjut
Oleh Noorca M. Massardi
Keputusan Presiden Joko Widodo (23/8) melanjutkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai 24 hingga 30 Agustus 2021, menunjukkan kian kerasnya upaya Pemerintah dalam melindungi seluruh komponen bangsa dari penyebaran dan penularan Covid19. Meskipun demikian, kendati sejumlah wilayah Jawa-Bali yang semula berada di Level 4 mampu diturunkan ke Level 3, namun wilayah Level 3 justru makin bertambah, sebagaimana juga yang di Level 2.
Toh, kali ini, secara umum tampaknya Pemerintah sangat optimistis. Keberhasilan Pemerintah menurunkan predikat Level 4 dari 67 kabupaten/kota menjadi 51 kabupaten/kota di Jawa-Bali, khususnya di Jabodetabek, Bandung Raya, dan Surabaya Raya, membuktikan bahwa Pemerintah mulai memahami peța penyebaran dan bagaimana menekan laju penularan, bahkan tingkat kematian harian. Terjadinya puncak ledakan kasus baru pada 15 Juli 2021, yang mencapai sekitar 57 ribu orang sehari, disertai jumlah kematian yang lebih dari 1.000 orang per hari, merupakan pelajaran yang sangat pahit. Pelonggaran PPKM sebelumnya, dan meningkatnya varian Covid19 delta, ternyata menimbulkan dampak luar biasa.
Toh, akibat ledakan itu, tampaknya banyak pelajaran berharga yang diperoleh Pemerintah di lapangan. Hasil pembelajaran itulah yang kemudian diterapkan secara terpadu, dengan melibatkan seluruh pihak terkait. Mulai dări jajaran Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, TNI/Polri, para tokoh agama dan tokoh masyarakat, rumah sakit, dokter, laboratorium, para ahli epidemi, ahli kesehatan masyarakat, bahkan psikolog dan sosiolog, disertai dukungan vaksinasi massal dan kecanggihan teknologi informasi.
Kebijakan isoman (isolasi mandiri) bagi pasien terdampak dan orang tanpa gejala (OTG), yang dijalankan pada Maret 2020 – Juli 2021, untuk mencegah penularan, ternyata menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah kematian. Terutama ketika varian delta Covid19 mulai masuk ke Indonesia. Kemampuan penularan varian delta yang lebih cepat, lebih luas, dan lebih ganas dari Covid19 (alfą), mengakibatkan mereka yang melakukan isoman tidak sempat tertolong. Bukan hanya karena penderita memiliki faktor komorbid, namun badai sitokin yang melanda paru-paru korban, yang dalam tempo singkat mengurangi saturasi oksigen, meningkatkan peradangan, terjadi terlampau cepat, sehingga tidak cukup waktu untuk memberikan pertolongan. Karena itulah Pemerintah segera menganjurkan dan atau membawa para pasien isoman ke tempat-tempat isoter (isolasi terpusat) gratis, yang memiliki banyak tenaga kesehatan dan peralatan, untuk menanggulangi tingkat keparahan pasien. Kebijakan itulah yang dalam tempo dua pekan mampu menurunkan tingkat kematian, dan sekaligus menaikkan tingkat kesembuhan.
Kebijakan test & tracing (uji dan lacak) yang dilancarkan secara massif di seluruh wilayah, juga membuahkan hasil siginifikan, dalam deteksi dini orang terpapar atau yang OTG, sehingga bisa segera dilakukan isoter dan mencegah penularan. Kebijakan vaksinasi gratis bertahap, bertingkat dan berlanjut, yang semula terkendala jumlah dosis, lokasi, dan tenaga kesehatan, sudah bisa diatasi. Di seluruh provinsi, kabupaten/kota kini sudah bisa dilakukan vaksinasi gratis setiap saat, karena jutaan dosis vaksis pelbagai merek sudah datang melimpah (sinovac, astra-zeneca, dan moderna). Sehingga sungguh beralasan bila sasaran 70 juta jiwa sudah tervaksinasi penuh (pertama dan kedua) pada September 2021, dapat tercapai. Dan, diharapkan, pada akhir 2022, target 208 juta jiwa tervaksinasi juga bisa diselesaikan.
Kebijakan vaksinasi menyeluruh itu, betapa pun masih ada pro kontra di tengah masyarakat, sejatinya merupakan langkah yang tepat dan tidak boleh surut. Pemerintah rupanya menyadari bahwa herd immunity (tingkat kekebalan alami) bagi 280 juta rakyat Indonesia tidak akan pernah tercapai, mengingat hingga saat ini tidak ada vaksin yang memiliki tingkat efikasi 100 persen. Sebagaimana diketahui, herd immunity baru tercapai bila sekurang-kurangnya ada 70 persen populasi (196 juta), yang sudah memiliki kekebalan tubuh (baik alami atau melalui vaksinasi), ditambah dengan jumlah para penyintas Covid19. Persentase itu tidak mungkin dicapai dalam beberapa tahun ke depan, apalagi sejatinya, total kasus Covid19 di Indonesia hingga saat ini “baru” sekitar 4 juta jiwa dan yang sembuh sudah 3,5 juta jiwa.
Bisa dimaklumi bila vaksinasi dan disiplin melakukan prokes (masker, cuci tangan, jaga jarak), merupakan langkah yang tidak bisa tidak. Untuk meningkatkan vaksinasi, Pemerintah harus menambah lokasi sebanyak mungkin. Terutama bagi masyarakat yang tak bisa menghentikan kegiatan bepergian. Setiap calon penumpang yang akan berangkat dari seluruh bandara, pelabuhan, terminal bus, stasiun kereta api, KRL, diwajibkan menunjukkan bukti vaksinasi melalui QR Code yang tercantum di dalam aplikasi Peduli Lindungi (PL). Sehingga, surat keterangan vaksinasi atau kartu vaksin (yang kini banyak dipalsukan dan diperjualbelikan) tidak akan tervalidasi karena datanya tidak akan terbaca oleh aplikasi PL. Dengan demikian, tanpa bermaksud menghalangi keberangkatan, maka setiap individu yang belum divaksin, akan langsung diberikan vaksinasi di setiap tempat keberangkatan, sebelum diizinkan untuk berangkat. Baik antarkota, antarpulau maupun ke luar negeri. Juga bagi pendatang.
Pengalaman penggunaan aplikasi PL yang semula sukarela, berdasarkan pengalaman, agaknya terbukti sangat efektif dalam mendeteksi dan melokalisasi individu yang sudah melakukan antigen, PCR swab, maupun vaksinasi. Tidak hanya itu. Bahkan individu yang berdasarkan uji-laboratorium dinyatakan positif atau OTG, juga tercatat di apps PL. Itulah bukti kecanggihan teknologi informasi yang dibuat terpadu oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Kesehatan, dan PT Telkom. Sesuatu yang semula dibuat dan diaplikasikan “sambil jalan” ternyata sangat ampuh, dan karena itu harus semakin diintensifkan pemanfaatannya. Test antigen dan PCR swab, pun saat ini hanya diakui validitasnya, bila dilakukan di laboratorium yang ditentukan dan diakui Kemenkes, yang alamatnya juga sudah ada di dalam PL, dan semuanya sudah terintegrasi dengan jaringan Kemenkes dan Kemenkominfo.
Bukti vaksinasi, hasil test antigen, dan PCR swab, yang diakui sebagai dokumen perjalanan individu melalui darat, laut, dan udara, itu tentu merupakan kewajiban. Mengingat seluruh “dokumen perjalanan” digital itu akan tercantum di aplikasi PL, yang wajib diunduh di setiap telepon genggam cerdas (smarpthone) para komuter. Tanpa itu, tidak akan ada yang bisa pergi dan pulang ke mana pun.
Tak hanya itu. Dokumen digital bukti vaksin/antigen/PCR swab yang terekam di aplikasi PL, itu juga merupakan syarat mutlak bagi individu yang akan memasuki seluruh kantor Pemerintah baik sipil, militer maupun kepolisian. Serta mereka yang akan memasuki mal, pusat perbelanjaan, bioskop, cafe, restoran, gedung perkantoran swasta, stadion, pusat kebugaran, pusat rekreasi, bahkan pasar rakyat, pasar modern dan mungkin juga warung tegal. Karena semua lokasi itu akan dan wajib memilik QR code reader, yang disediakan gratis oleh Pemerintah. Sehingga, mereka yang ketahuan belum divaksin, misalnya, dapat langsung divaksinasi di lokasi terkait, dan yang terbukti OTG atau positif Covid19 akan langsung diarahkan ke lokasi isolasi terpusat terdekat. Tanpa kecuali. Karena tugas dan kewajiban Pemerintah adalah melindungi rakyat yang sehat, dan menyehatkan individu yang terpapar Covid19. Semata demi kemanusiaan dan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia.
Pertanyaannya, mampukah aplikasi PL menampung dan mengelola data dari – kelak – sekitar 208 juta warga berusia 12 tahun ke atas? Tampaknya, pihak Telkom yang saat ini sudah malayani sekitar 30 juta pemakai PL, tidak akan kesulitan. Yang harus dipertimbangkan juga oleh Satuan Tugas Peduli Lindungi Covid19 (Satgas Duling C19?) yang mungkin harus segera dibentuk Pemerintah – sehingga tak perlu melibatkan TNI-Polri lagi secara organik – adalah bagaimana Satgas itu dapat mengawasi individu yang bepergian atau memasuki seluruh area terpantau, bila dia dengan sengaja menggunakan telepon genggam milik sopir, atau asisten pribadinya yang sehat, sementara dia sendiri OTG atau bahkan positif Covid19? Mengingat yang dibaca oleh QR reader hanyalah barcode yang ada di PL, dan bukan kartu identitas yang bersangkutan.
Ada sejumlah kemungkinan lain yang menarik, yang mungkin dapat dilakukan Pemerintah, demi melindungi rakyat dari penularan dan penyebaran Covid19, apa pun variannya, atau apa pun virusnya pada masa datang. Yakni, menggunakan nomer induk kependudukan (NIK), bagi setiap pembelian tiket transportasi darat, laut dan udara. Baik langsung maupun secara online. Sebagaimana sesungguhnya sudah lama dilakukan PT Kereta Api Indonesia. Mengingat data NIK itu memang sudah terpadu dengan PL, maka para pembeli tiket apa pun (mungkin tidak hanya transportasi tapi juga tiket bioskop atau pertunjukan, misalnya), akan ditolak bila terdata “Anda belum divaksin” atau OTG atau positif Covid19. Sehingga, dia tidak perlu lagi dan tidak punya alasan untuk ke luar rumah bila membeli tiket pun sudah tidak bisa atau ditolak.
Bahkan bisa lebih jauh. Tidak akan ada lagi yang dapat menghindari vaksinasi, atau perawatan isolasi terpusat, kalau aplikasi PL itu diintegrasikan dengan jaringan toko online dan moda transportasi online. Sehingga, orang tidak akan pernah bisa pergi ke mana pun dan tak akan dilayani belanja sandang pangan, dan papan, dari dalam tempat persembunyiannya, bila orang itu masih menolak vaksinasi atau perawatan isoter atau tidak memiliki aplikasi PL. Karena semua vendor online akan menolak untuk melayaninya.
Pertanyaan berikutnya, sampai kapan PPKM dan program penyelamatan rakyat dari pandemi Covid19 ini akan berlangsung? Tak ada yang tahu, sebagaimana dunia juga belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Yang pasti, bila Pemerintah seolah mengulur waktu untuk melonggarkan PPKM, itu tampaknya sejalan dengan pencapaian berapa persen jumlah populasi Indonesia yang sudah divaksin. Namun, karena Pemerintah juga sangat menyadari dampak ekonomi, sosial dan politik akibat PPKM itu, tentu seluruh sektor industri, perdagangan dan pariwisata, harus segera dipulihkan secara bertahap. Tentu saja, bila seluruh pemilik, pekerja, buruh, pelanggan, dan para pihak terkait di semua lini dan sektor itu sudah 100 persen divaksinasi secara penuh. September? Bisa jadi. Desember? Insyaallah.
Lalu, apakah dengan demikian maka Pemerintah menjadi otoriter dan melanggar hak asasi manusia? Demi menyelamatkan 280 juta jiwa rakyatnya dari Covid19, atau dari virus lainnya pada masa datang, tak ada yang dapat menghalangi Pemerintah dan Negara untuk melakukan apa pun. Karena berdasar perangkat hukum dan perundangan yang ada sekarang pun, sudah cukup. Apalgi bila ditambah ketentuan khusus yang baru dan antisipatif pada kemungkinan pandemi atau bencana lainnya. (*)
Jakarta, 24 Agustus 2021