Oleh: Gerson Poyk
A tidak menjawab. Ia duduk saja di tepi tempat tidur sambil sebentar-sebentar memandang anak-anak yang bermain dan memamah tebu, seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Ia memandang anak-anak itu seorang demi seorang. Di balik mata anak-anak itu ada komposisi wajah yang mengingatkan dia kepada wajah K. Ia melawan sendiri bayangan dan masa-masa lampau. Ia ingat lagi wajah K yang penuh semangat berpidato di atas podium. Ia ingat fitnah terhadap dirinya. Ia ingat betapa ia diangkut ke rumah tahanan dan kemudian disiksa dan dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Ia ingat, berbulan-bulan tak ada hubungan dengan istrinya dan anak semata wayangnya jatuh sakit lalu meninggal. Barang-barang yang dikumpulkannya semenjak menjadi pegawai negeri semuanya sudah terjual dan sisanya hanya sedikit yang sekarang sedang digadai.
Dan kalau lebih dalam ia membalik-balik masa lalunya, ia akan sampai pada percintaanya dengan Hadijah yang berada di sampingnya sekarang. Bayangan K hilang seketika ketika ia mulai mengingat-ingat pertunangannya dengan Hadijah ini. Ia banyak mempersalahkan Hadijah. Banyak sekali wanita seperti dia yang sangat tertarik pada coklat dan mainan-mainan yang mengkilat. Hadijah lebih tertarik pada K karena K mewujudkannya dengan segala yang nikmat. A seorang pegawai negeri biasa. Bukan seorang tokoh. Bukan seorang yang suka berpidato di podium atau duduk di kursi paling depan dalam setiap pesta. Bukan selalu naik mobil yang jumlahnya sedikit di kota kecil itu. Bukan sibuk mengurus dan menyelesaikan masalah-masalah umum seperti apa yang yang dinamakan produksi, distribusi, land reform, atau duduk dalam setiap panitia musyawarah. Tetapi ia seorang pegawai negeri yang langsung melihat permainan-permainan kotor di daerah itu. Dan kekotoran itu dibongkarnya. Ia melihat bahwa angka-angka statistik mengenai produksi sandang pangan di daerah itu telah disulap oleh K yang duduk sebagai ketua dalam Badan Produksi Pangan Daerah. K menyatakan melalui angka-angka statistik bahwa setiap tahun daerah harus surplus pangan. Dengan demikian bahan makanan di daerah itu bisa disedot dan dikirim ke daerah lain. Dan ketika harga beras naik setiap hari di daerah itu, A ditahan bersama beberapa kawan lalu disiksa untuk mengaku bahwa beras-beras telah dibuang ke laut! Penahanan dan penyiksaan atas dirinya, kematian anak dan kehilangan harta benda, semuanya melintas-lintas, mengayun-ayun dalam hati dan pikirannya ketika ia duduk di samping Hadijah.
A duduk terpaksa di sisi Hadijah. Anak-anak terus menerus memamah tebu. Pengasuh yang bisu dan tuli itu hanya keluar masuk dan memperlihatkan matanya yang lebar-lebar cekung kepada A. Bosan memamah tebu, anak-anak itu berhamburan keluar kamar. Ada yang menangis, ada yang girang bermain. Hadijah bangun dari duduknya.
“Maafkan aku,” kata Hadijah pelan-pelan. “Kau tentu memaafkan aku, wanita yang telah menemui nasib yang jelek. Tetapi kalau kau masih dendam padaku, harap kau memaafkan anak-anakku itu. Semua milikku sudah kujual untuk memberi makan anak-anak ini di hari-hari terakhir ini. Barang-barang yang besar sudah disita. Aku tak punya apa-apa lagi. Hari ini mereka makan tebu. Besok aku belikan mereka singkong. Lusa entah apa lagi. Apalagi kalau aku pikirkan masa depan mereka. Aku tidak mau anak-anak itu seperti bapaknya. Aku tidak mau anak-anak itu menggali lubang-lubang untuk mencapai tujuannya. Apa lagi lubang-lubang itu untuk diri mereka sendiri.”
Mendengar ucapan Hadijah, hati A menjadi gempita. Girangnya bukan main. Hadijah telah kembali. Ia bangun berdiri. Ia berjalan mondar-mandir di kamar itu. Ia keluar dari kamar itu menuju kamar yang lain. Ia mondar-mandir terus dibawa oleh perasaannya. Anak-anak dan perempuan bisu mengikuti dia dengan mata mereka yang bertanya-tanya. Ia seolah-olah berada di rumahnya sendiri. Kemudian ia menemui lagi Hadijah yang lagi terduduk bersandar ke terali beralaskan bantal. Ia kemudian sadar bahwa rumah ini bukan rumahnya. Hadijah bukan istrinya.
“Semenjak detik pertama aku melihat anak-anakmu,” katanya kepada Hadijah, “aku telah memikirkan nasib mereka. Tetapi bagaimana caranya sekarang!” A melontarkan sebuah pertanyaan yang menggetarkan hati Hadijah.
“Kapan kau pulang ke Jakarta?” tanya Hadijah.
“Sedikit hari lagi.”
“Bawalah satu. Jangan lupa. Caranya hanyalah demikian. Aku membagi-bagikan pada orang yang bisa memberi mereka makan, kemudian mendidik mereka.”
“Dan bagaimana dengan kau?” tanya A.
“Soal aku adalah soal tahap usaha yang berikut,”’ kata Hadijah. “Bukankah aku sudah selesai diperiksa? Aku termasuk kategori D. Aku dikembalikan kepada masyarakat dan selanjutnya aku menjadi tanggung jawab masyarakat.” Hadijah berbicara agak cepat.
“Semangat pidatomu belum hilang, Hadijah!” suara A lambat-lambat tetapi keras. “Kita bicara hal yang konkrit saja sekarang. Sekarang aku tanya: Bagaimana dengan sanak familimu di kampung?”
“Banyak yang sudah diajak K masuk PKI. Aku tidak bisa mengharapkan mereka lagi. Entah bagaimana nasib mereka di kampung.”
Sementara itu wanita yang tua itu masuk membawa satu piring ubi rebus. Sambil senyum-senyum girang, ia menarik kursi dari sudut kamar dan meletakkan kursi itu di depan A dan Hadijah. Wanita itu memberikan isyarat, kira-kira yang dimaksud: ‘makanlah seadanya’. A mengangguk-angguk sambil menunjukan jempolnya. Wanita itu tertawa keras-keras. Anak-anak ada yang berlarian masuk kamar. Si bungsu yang sejak tadi diletakan di sisi ibunya digendong oleh orang tua itu. Hari itu pertemuan mereka dimeriahkan dengan ubi.
Sambil makan, A memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain. Tapi ia buntu. Sehabis makan, ia minta diri. Ia pulang dengan pikiran yang sangat terhuyung. Tidak jauh dari rumah itu dilihatnya seorang penjual rokok. Dibelinya sebungkus rokok kretek untuk menyenangkan syarafnya yang tegang menghadapi korban-korban politik dalam rumah tadi.
Penjual rokok ketawa meringis padanya: “Baru selesai membalas dendam sama Gerwani, Pak?” tanya penjual rokok itu.
Mendengar pertanyaan itu, A menatap orang itu dengan mata yang ingin menghajar dia. Rupanya orang itu mengerti bahwa A marah padanya. Ringisannya yang nakal hilang seketika. “Maaf, Pak, soalnya Gerwani di kota ini begitu dilepaskan dari tahanan, terus melakukan pekerjaan yang demikian.”
Tanpa satu kata pun yang keluar dari mulut A, orang itu ditinggalkannya.
Bersambung…
(Ditulis September 1966)