Perempuan dan Anak-Anaknya (7)

Oleh: Gerson Poyk

Komandan berpikir. “Kami sudah menyita dan menghilang ke tikungan. A terus menghadapi pengadilan di lapangan bola itu.

“Ambilah tas itu. Kami terima kasih pada Saudara,” kata komplotan itu. “Kami tidak akan membunuh saudara. Kami sudah bosan. Tidak ada hasil yang nyata seperti malam ini.”

A berusaha supaya tenang. Lama mereka bercakap-cakap. A banyak bertanya kepada mereka tentang diri Hadijah. Tentang hartanya yang disembunyikan.

“Gerwani itu sudah punya saham,” kata yang lain.

“Jangan percaya. Dia bikin kamuflase dengan memberikan anaknya pada orang-orang.”

“Supaya ia bebas ke sana ke mari. Jadi pelacur gede.”

Sementara ngomong-ngomong, tiba-tiba nampak sosok-sosok tubuh berseragam ABRI mendekat. Mereka menyuruh A meniarap. A meniarap karena terasa ada tusukan golok di pingganggnya. Semuanya meniarap. Mengharapkan supaya patroli itu mendekat dan membentak mereka. Kemudian memeriksa mereka.

“Kami lagi menangkap Gestapu, Pak!” kata orang-orang itu.

“Tidak, mereka merampok saya!” kata A.

Kata-kata yang bertentangn itu menyebabkan mereka semua ditahan. Malam itu A menyatakan kepada petugas, bahwa ia teman baik Komandan Komando Distrik Militer dan ingin berbicara dengannya besok pagi. Besoknya komandan dihubungi oleh petugas, kemudian datang menemui A.

“Mereka mengetahui bahwa saya menjenguk Hadijah. Mereka menyangka bahwa saya kasak-kusuk dengannya untuk membagi harta. Malam itu duit saya sudah di tangan mereka. Untung patroli dating,” kata A.

Komandan Kodim tersenyum. “Apa jawab Saudara pada mereka?”

“Saya katakan, saya ingin memungut anak-anak yang tidak berdosa.”

“Lalu?”

“Mereka menampung uang saya!” A ketawa. Komandan juga ketawa.

“Tetapi setelah saya diurus orang-orang itu, saya juga curiga pada Hadijah. Pendapat umum menyatakan tidak mungkin seorang tokoh tidak kecipratan harta.”

Mendengar kata-kata itu hati A berbalik lagi. Ia ingat kembali pada anak-anak itu. Ia pulang ke penginapan meninggalkan lima orang yang gagal merampoknya itu. Kemudian ia menuju rumah Hadijah. Di depan pintu halaman, nampak perempuan bisu itu sedang berurusan dengan sebuah dokar. Kusir dan kudanya hanya memandang perempuan itu. Mulut perempuan itu berbunyi-bunyi sambil menunjuk-nunjuk ke arah rumah. Kemudian menunjuk dadanya. Kemudian memegang rambutnya. Kemudian menutup matanya lalu terlentang di depan kuda. Kuda itu hanya memandangnya sambil menggerakkan kedua telinganya. Kusir dokar itu keheranan saja.

A mendekati perempuan itu. Melihat A datang, perempuan itu mengaing-ngaing dan tangannya menunjuk-nunjuk. Perempuan itu memegang tangan A dan menariknya ke dalam rumah. Anak-anak sedang berserakan. Yang paling bungsu sedang duduk di atas tikar dan bermain-main dengan kotorannya sendiri. Perempuan tua itu tidak memperhatikan anak-anak itu. Ia terus menarik A ke kamar. Nampak Hadijah sedang terbaring di tempat tidur. Matanya tertutup. Pucat. Nadi Hadijah dipegangnya. Hadijah sudah tiada.

“Rumah tahanan, kematian suami, anak-anak yang belum bersayap, kedatanganku, pendapat umum….” A berkata sendiri di depan mayat, kemudian menutupi muka Hadijah dengan selimut. “Shock…..” lalu keluar dari kamar.


Beberapa hari kemudian, seorang bapak dengan lima orang anak bersama pembantu yang bisu dan tuli, menjadi penumpang sebuah kapal yang meninggalkan pelabuhan kota kecil itu. Tak ada yang melambaikan tangan perpisahan, kecuali burung-burung laut yang terbang jauh….

Tamat

(Jakarta, September 1966)

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis