Seide ld -Karena ada banyak permintaan untuk sharing, apa saja sih yang diperbuat para perempuan dalam diamnya itu….. aku mau cerita beberapa kisah.
Entah karena ini di Indonesia (yang curhat padaku dari berbagai pelosok negeri), atau entah karena kebetulan saja…. ganjalan utama perempuan ketika ingin bahagia adalah : kemandirian finansial.
Mereka menerima saja digebuki suami, diselingkuhi bahkan tertular penyakit kelamin dari suamzi, mengalami gaslighting (dibully verbal dan dicuci otak bahwa mereka itu tak berdaya dan tak mampu hidup tanpa suami)…. sampai dicekoki dan didikte dengan kasar di depan anak-anak :
Jadi tempat perempuan itu dimana? Jawab…!
(Istri menjawab tertahan : di bawah suami…)
Jadi siapa yang berhak atas nasibmu? Jawab…!
(Istri menjawab : suami…)
Tidak semua manusia itu beruntung dididik oleh orangtuanya sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan berpikir kritis dan jernih sejak kanak-kanak…. sehingga memiliki bibit kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang bermartabat dan berdaulat.
Jadi ketika kemampuan survival paling dasar (yaitu mampu menafkahi diri sendiri) direbut dari tangannya… mereka tersungkur tak berdaya.
Jangan salah ya. Aku sama sekali tidak kontra pada pilihan hidup menjadi ibu rumah tangga penuh. Karena ini adalah pilihan yang baik dan bijak…!
Tapi, pilihan itu akan menjadi neraka jika dilakukan bersama suami yang kejam dan punya kebutuhan untuk menindas siapapun yang lemah. Sama sekali bukan lelaki luhur yang seharusnya melindungi dan menjaga istri dan anaknya dengan penuh respek dan kelembutan.
Nah… bagusnya, dorongan survival itu adalah insting yang tertanam di dalam setiap makhluk hidup. Sehingga, meskipun awalnya mereka tidak berpikir kritis dan tidak tahu bahwa orang itu punya hak untuk bahagia dan dihargai…. pada akhirnya, insting dasar akan mencuat juga keluar
Jadi, 99% perempuan yang pernah curhat padaku adalah perempuan yang akhirnya diam-diam mencari pekerjaan atau bikin usaha rumahan, di luar pengetahuan suaminya (yang kejam dan menindas itu). Mereka diam dan menahankan derita, sampai tabungannya cukup untuk bercerai (atau kabur) lantas menghidupi diri dan anak-anaknya.
1% nya sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri… tapi masih dijajah oleh konstruksi sosial yang negatif terhadap image janda. Singkatnya : takut jadi janda nanti dikira macam-macam.
Untuk kasus ini, aku selalu jawab : Kalau takut dikira genit, ya jangan genit. Kalau takut dikira doyan seks, ya jangan ngeseks dengan sembarang orang. Simpel toh…? Jawab semua ketakutan itu. Dengan Perbuatan Nyata. Beres perkara.
Lalu gimana yang 99% lagi…?
Oh banyak cara menuju Roma.
Ada istri yang menyimpan buku banknya di adiknya… ada yang malah menyembunyikan sisa uang belanja di…. mana coba tebak! Di rongga pintu rumah…! Celengannya di situ.
Ada yang selalu pergi kerja ke usaha rumahan di kampung lain, selama jam kerja suami dan jam sekolah anak… lalu pulang ke rumah bersikap seolah habis tidur seharian dan tak ada apa-apa…
Ada yang usaha bikin pisang goreng diam-diam, lalu dititip ke mana-mana.
Semua, dilakukan dengan diam.
Bahkan, semalam, aku diceritai :
Seorang ibu yang teraniaya oleh suami dan mertua… diam-diam sudah punya gudang, untuk tempat dia kelak lari membawa tiga anaknya, sekaligus bekerja di sana, menerima jahitan skala konveksi. (Selama ini cuma nerima jahitan di rumah, dan berlagak hanya menerima orderan sedikit). Bahkan mengirimkan foto, sedang bebenah tempat barunya (tentu di luar pengetahuan suaminya). Foto yang membuat hatiku tergetar oleh haru dan bahagia.
Aneka cerita yang sampai di telingaku ini, punya cara dan strategi berbeda. Tapi ada satu hal yang sama :
Semuanya diam. Dan membungkus lelah fisik dan lelah hati dalam sikap yang terlihat polos, patuh, mengalah, bahkan terlihat seperti seharian nganggur saja… dan terima saja ketika dicerca ‘kamu ini malas-malasan…! Apa aja sih kerjanya seharian? Urus rumah aja nggak becus..!’
Semuanya diam, sampai saatnya pergi dengan cukup bekal.
The End.
——
Catatan : Sebetulnya ada belasan perempuan yang memilih pulang ke rumah orang tuanya masing-masing. Dan dari sana lah mereka memulai kemandirian finansialnya.
Mereka ini, umumnya juga diam… bukan orang bertipe banyak curhat ke orangtua atau saudaranya. Mereka berusaha bertahan, dalam diam, sampai akhirnya tidak sanggup lagi dan meledak. Sehingga orangtua-orangtuanya kaget : tidak pernah dengar ada cerita apa-apa kok anaknya tahu-tahu lari dari suami… dengan sejuta derita yang selama ini tak tersampaikan.
(Nana Padmosaputro)