Penulis Jlitheng
Saya mohon maaf, kalau kemarin saya hadir dalam sosialisasi apepe 2022. Beberapa sahabat mengajak saya hadir dengan mengirim tiket undangan zoom.
Beberapa jam sebelumnya, dari sahabat lama yang tak lagi jumpa, saya dikirimi video ceramah KH Duri Asyari. Pesan-pesannya mengena dan menggugah.
Beliau memberi tips cara menjadi pembawa pesan yang baik. Dengan gaya guyon maton, “ngopo bathuk nggone nduwur lambe” (letak kening di atas bibir), beliau berpesan, apapun yang ingin kau katakan atau lakukan, pikirlah terlebih dahulu, agar pesan yang terucap lewat kedua bibir itu efektif, tepat sasaran, menggugah, dan mencegah terjadinya salah ucap, “waton greng nanging tanpo isi” alias presentasi yang miskin pesan.
Intinya mirip dengan yang disampaikan oleh bobotoh skks di hadapan lebih dari 180 peserta sosialisasi apepe kemarin. Kriteria retret agung yang berhasil terletak pada dampaknya, menggugah umat untuk bertindak makin baik. Maka, pikirkanlah terlebih dahulu sebelum kau ucapkan dan lakukan. Ora waton (tidak sekadar).
Di hadapan 125 pewarta sabda di Timika, enam tahun yang lalu, atas undangan Bimas Katolik, saya memberi tips sederhana agar mudah diingat dan dicerna oleh para pewarta sabda itu. Judulnya, ENAK.
(E) Elingen. Selalu ingat tujuan utama pewartaan kita. Mewartakan Tuhan dan melayani umat-Nya. Ora waton artinya harus makin jelas kita pahami
(N) Nalaren. Ungat selalu, siapa umat yang kau layani. Apa problematika yang kini mereka hadapi sehari-hari. Misalnya, dulu tidak miskin kini jadi miskin karena pandemi. Apa yang dapat kita lakukan untuk membantu mereka? Apa yang akan kita lakukan untuk membantu umat itu bangkit kembali?
Ora waton tumindak. Prinsipnya harus dengan empathy
(A) Ajaken. Ingat selalu, seorang pewarta itu abdi Tuhan dengan membantu umat. Maka sejauh mungkin umat harus terlibat. Diajak untuk bersama-sama menjalani kehendak Tuhan
(K) Kangen. Selalu ingat, agar apapun yang kau katakan dan lakukan itu bersifat long-term, unforgettable, ngangeni alias ingin segera berjumpa kembali dalam ikatan kasih persaudaraan.
Ending jumpa di Timika kala itu kami balut dengan tembang romantis “Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu…” dan tiba-tiba larilah seorang ibu pendamping sekolah minggu… “Bapak… jangan lupakan kami.”
Kembali saya berlutut dan bersujud: “Terima kasih Tuhan untuk berkat-Mu ini.”
Salam sehat dan bersyukurlah jika mampu berbagi cahaya.