ERIZELI JELY BANDARO
Gatot Nurmantyo dalam sebuah diskusi mengatakan , menduga adanya penyusupan kembali pendukung PKI ke tubuh TNI. Indikasi itu dibuktikan dengan diputarkannya video pendek yang menggambarkan hilangnya sejumlah bukti-bukti penumpasan G30S/PKI di Museum Dharma Bhakti Markas Kostrad. Tapi “Masalah ini sebenarnya sudah diklarifikasi oleh institusi terkait,” ujar Marsekal Hadi.
Saya tidak habis pikir, stigma PKI itu sebagai musuh tidak pernah usai walau sudah ada ketentuan TAP MPR soal pelarangan idiologi komunis. Sepertinya dendam dibawa mati. Padahal kehancuran PKI tidak dalam keadaan damai. Korban HAM terhadap kader PKI dan Pimpinan PKI sangat sadis. Bau amis darah dan perampasan hak politik personal. Itupun dianggap masih tak cukup membayar kebencian. Masih terus dibawa dendam itu dalam narasi politik.
Mengapa ? Menurut saya, Gatot itu terinspirasi oleh dokrin TNI era Soeharto yang sangat mengkawatirkan gerakan politik membela wong cilik. Pada konteks kini, arahnya jelas kemana gaung PKI itu diarahkan. Ciri-ciri rezim membela wong cilik bisa dibaca dalam manifesto PDIP, Nawacita. Kebijakan Jokowi selama ini memang fokus kepada membela wong cilik. Kebetulan kebencian kepada politik membela wong cilik juga ada pada partai berbasis Islam, yang kawatir gerakan itu bisa membonsasi hubungan primordial. Padahal kekuatan mereka ada pada primordial.
Rakyat Jelata Jadi Presiden
Saya tidak akan membahas soal PKI itu sebagai partai terlarang. Saya hanya bertanya, apakah membela wong cilik dengan program reforma agraria salah? Dana desa, salah. Program Kartu Pra sejahtera, salah? Moratorium kebun sawit salah ? Moratorium ijin tambang, salah? Pengadaan rumah murah, salah? Meningkatkan kesehateraan prajurit TNI, salah ? Pajak progressive property, salah?
Selama 10 tahun SBY berkuasa, yang didukung koalisi PKS, PAN, PKB, PPP, Golkar, terbukti kehilangan reputasi terhadap wong cilik sehingga PDIP yang oposisi bisa jadi pemenang Pileg dan Jokowi yang rakyat jelata bisa jadi presiden.
Di era sekarang politik identitas ( Komunis atau Agama) sudah basi dijadikan sandaran retorika politik. Sekarang ini rakyat melihat kepada kinerja dan realita. Setanpun mereka dukung kalau terbukti kinerjanya dirasakan oleh rakyat dan rakyat merasakan kehadiran pemimpin.
Tapi kalau cuma omong doang dan nakut nakuti , tak akan didengar. Rakyat tak takut dengan komunis atau agama. Rakyat hanya takut tidak bisa makan dan dikejar deb collector cicilan utang. Itu aja.
TULISAN LAIN