MUHAMAD ABDULKADIR MARTOPRAWIRO
1
Saya membaca kembali buku karya Subagjo Sastrowardojo, dengan judul di atas, dengan penerbit Pustaka Jaya. Sepintas saja. Di halaman pertama, ada cap tanggal “14 OCT 1975”. Ya, pada saat itu saya membeli cap untuk memberi tanggal pada buku-buku yang saya beli, yang bisa diubah-ubah tanggalnya dengan memutar-mutarnya. Saya hitung-hitung, tanggal itu berarti saya hampir naik kelas 3 SMP, atau sekarang disebut kelas 9.
Saya membeli buku itu, karena saya kira buku itu berisi panduan untuk menguatkan bakat dan minat kita, juga untuk membangun intelektualisme. Ternyata setelah saya baca isinya, buku itu tentang seni dan budaya. Lihatlah judul-judul babnya: “Atavisme di dalam Sadjak“, atau “Perkembangan Seni Indonesia 1945-1960“. Memang ada bab 6 yang berjudul: “Bakat Alam dan Intelektualisme”.
Akhirnya pada saat itu, hanya bab 6 itulah yang saya baca. Sisanya hanya dibaca sekilas. Isinya pun banyak yang tidak saya mengerti. Saya kutipkan 5 alinea pertama, dari 9 halaman bab ini. Kalau membosankan, lompat saja ke bagian 3.
2
Kata intelektuil di dalam bahasa kita telah memindjam pengertiannja jang umum dari bahasa Belanda. Sebutan kaum intelektuil atau intelek ditudjukan kepada golongan tjerdik-pandai jang telah berhasil mentjapai pendidikan jang menurut perbandingannja dengan masarakat luas tinggi tingkatannya. Ketjuali itu, didorong oleh keadaan chusus di dalam masarakat kolonial sewaktu kesempatan pendidikan terbatas pada lapisan jang tipis sadja, pengertian kata “intelektuil” itu memperoleh batas lingkup jang lebih luas, sehingga setiap orang jang berkesempatan menempuh peladjaran di sekolah-sekolah, apapun tingkatnja dan djurusannja, disebut intelek. Orang intelektuil lalu identik dengan orang terpeladjar.
Rangsangan Budaya
Di dalam bahasa Inggeris, kata intelektuil dikenakan kepada sedjenis pribadi tersendiri jang telah mengalami ketjerdasan dan kehalusan budi lewat pendidikan budaja. Orang boleh tinggi tingkat kesardjanaan dan sangat ahlil di dalam lapangan pekerdjaannja, tetapi selama ia tidak punja minat ataupun peka terhadap rangsang-rangsang budaja, ia belumlah berhak dinamakan intelektuil. Di dalam masarakat berbahasa Inggeris orang akan tertjengang mendengar sebutan “intelektuil” ditudjukan kepada orang jang sama sekali tidak menaruh perhatian kepada perkembangan budaja bangsanja sendiri.
Tentu di sini boleh didjadikan bahan berbintjang jang tidak ada habis-habisnja tentang definisi budaja. Menurut A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhon, jang telah menghimpun batasan² pengertian budaja dari berbagai metode dan sudut penindjauan ilmu — antropologi, linguistik, sosiologi, psikologi, sedjarah, bahkan ilmu kimia — terdapat tidak kurang dari seratus enampuluh empat definisi jang berbeda-beda tanggapan dan rumusannja. Di dalam pertalian subjek karangan ini kami hendak menempatkan pengertian budaja pada fungsi kemasarakatan serta kemanusiaannja jang luas, dengan tidak mengikatkan diri pada djaringan definisi jang ketat. Di samping itu pengertian budaja ini kami sandarkan pada tanggapan jang telah dijakini kebenarannja oleh intuisi manusia pada umumnja.