Dalam penanggalan Jawa, berdirinya Yogyakarta waktu itu bertepatan dengan 29 Jumadil Awal be 1680 tahun Jawa. Oleh karena itu setiap tanggal 29 Jumadil Awal tahun Jawa, Keraton Yogyakarta menggelar juga peringatan Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Isi Perjanjian Giyanti menandai berdirinya Yogyakarta
OLEH YUDAH PRAKOSO R
DENGAN ditandatanganinya Perjanjian Giyanti menandai berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755 oleh Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi, dan turut terlibat VOC. Dengan disepakatinya perjanjian ini, Mataram dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadingrat. Pangeran Mangkubumi pun diangkat sebagai penguasa Kesultanan Ngayogyakarta Hadingrat.
Kemudian, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat diproklamasikan sebulan kemudian, yaitu tanggal 13 Maret 1755. Peristiwa proklamasi tersebut juga dikenal dengan Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadingrat atau berdirinya Negara Ngayogyakarta Hadiningrat. Tanggal 13 Maret itulah yang menjadi hari jadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berkatian dengan penetapan hari jadi Daerah Istimewa Yogyakarta itu, Pansus Hari Jadi DIY melakukan kunjungan untuk mencocokan data sejarah ke Kraton Yogyakarta, serta berkunjung ke situs bersejarah Gedhong Garjitowati, Tamansari, Patehan, dan Kraton Yogyakarta pada Senin 20 November 2023 lalu.
Ketua Pansus Hari Jadi DIY, Muhammad Yazid mengatakan untuk menguatkan Raperda hari jadi DIY, pihaknya mendatangi lokus pada saat Pangeran Mangkubumi dengan seluruh pengikutnya, dan kemudian mendeklarasikan bahwa akan mendirikan Kraton Ngayogyakarta. Karena sebelumnya telah ditandatangai Perjanjian Giyanti di Karanganyar.
Yazid menjelaskan bahwa sebulan setelah deklarasi tersebut, Pangeran Mangkubumi datang ke Yogyakarta, tepatnya ke Gedhong Garjitowati, untuk menyatakan niatnya mendirikan Kraton Yogyakarta. Ambarketawang kemudian dibangun dalam waktu setahun dan kemudian menempatinya.
Situs Garjitowati yang berada di Kampung Patehan, sebalh selatan Kompleks Tamansari, Kecamatan Kraton Yogyakarta. Di Gedhong Garjitowati ini pada tanggal 13 Maret 1755 Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan HB I) berencana membangun Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. – Yudah Prakoso R
Sehingga, lanjut Yazid, langkah ini merupakan tindak lanjut dari beberapa rapat pertemuan pansus tentang Raperda hari jadi DIY, yang kemudian dilanjutkan dengn menelaah hasil naskah akademik dan Raperda.
Pansus hari jadi DIY dan Kraton sudah sering berdiskusi dalam kaitannya dengan hari jadi DIY, yaitu menetapkan tanggal 13 Maret 1755. Maka sangat diperlukan referensi untuk menguatkannya.
Di Pusat arsip Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat terdapat naskah kaitannya dengan serat Kuntoro Tomo yang ditranskrip dengan huruf Latin dan menyatakan bahwa sebulan setelah perjanjian Giyanti Pangeran Mangkubumi duduk di situs Gedhong Garjitowati.
Menurutnya, Raperda hari jadi DIY sangat penting, karena berkaitan dengan eksistensi DIY dan Kraton. Sementara kabupaten dan kota sekitarnya seperti kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo telah memiliki hari jadi, DIY belum memiliki perayaan serupa. Kesepakatan itu akan disempurnakan ke dalam rapat paripurna tentang hari jadi DIY di tanggal 13 Maret 1755 setelah satu bulan Perjanjian Giyanti.
Dalam penanggalan Jawa, berdirinya Yogyakarta waktu itu bertepatan dengan 29 Jumadil Awal be 1680 tahun Jawa. Oleh karena itu setiap tanggal 29 Jumadil Awal tahun Jawa, Keraton Yogyakarta menggelar juga peringatan Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Isi Perjanjian Giyanti menandai berdirinya Yogyakarta, seperti apa awal mula perjanjian ini?
Perjanjian Giyanti dilatarbelakangi oleh pemberontakan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi karena kekecewaannya. Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said yang lebih dulu melakukan pemberontakan, ketika ia merasa dikhianati oleh janji Pakubuwono II.
Saat itu, untuk menghentikan pemberontakan Raden Mas Said, diadakan sayembara oleh Pakubuwono II. Sayembara itu dipenuhi oleh Pangeran Mangkubumi yang berhasil meredam pergerakan mereka, namunn hadiah 3.000 hektar tanah yang dijanjikan justru tak diberikan sepenuhnya. Sikap Pakubuwono II yang tidak memenuhi janjinya itu merupakan hasutan VOC yang menganggap hadiah tanah seluas 3.000 hektar terlalu berlebihan dan menyuruh Pakubuwono II untuk menyerahkan hanya 1000 hektar kepada Mangkubumi. Akibat merasa dikhianati, Mangkubumi bergabung dengan perlawanan Raden Mas Said pada tahun 1746. Untuk menghentikan pemberontakan Pangeran Mangkubumi itulah akhirnya disepakati Perjanjian Giyanti.
Pada 23 September 1754, tercipta nota kesepahaman antara Mangkubumi dan VOC yang menyatakan bahwa Mangkubumi mendapatkan setengah bagian dari wilayah Mataram. Mangkubumi juga mendapatkan setengah pusaka Istana dan diperbolehkan memakai gelar Sultan. Sementara Pantai Utara Jawa (Pesisiran) diserahkan dan dikuasai VOC.
Tawar-menawar wilayah terjadi, kemudian setelah beberapa perundingan berjalan, nota kesepahaman tersebut pun tercipta.
Selanjutnya nota kesepahaman diterima oleh Pakubuwono III yang menggantikan Pakubbuwono II yang telah mangkat sebelumnya. Dari situlah penandatanganan Perjanjian Giyanti dilakukan oleh kedua kubu di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755.
Dengan Perjanjian ini, Pangeran Mangkubumi mendapatkan gelar Sultan Hamengkubuwono I dan berkuasa di wilayah yang sekarang merupakan Yogyakarta. Sedangkan, Sunan Pakubuwono III harus bisa menerima kenyataan dalam perjanjian tersebut dan berkuasa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kartasura-Surakarta. ***