Apa yang membuat orang ras kulit putih merasa bahwa mereka ‘lebih’ dalam hampir segala hal (terutama) kecerdasan dibanding dengan orang-orang dari ras kulit berwarna?.
Pada sangkaku, karena orang kulit putih (Eropa) adalah manusia- manusia pelopor yang berani menjelajah tempat-tempat jauh yang belum pernah mereka kunjungi.
Hampir tak pernah dalam sejarah kita membaca atau mendengar orang- orang kulit berwarna sebagai penjelajah. Jadi orang kulit berwarna kalau pun dalam sejarahnya ada yang cerdas, tatap saja berjuluk: “Jago kandang”. Sangkaku ini, tentu tak metodologis, komprehensif apalagi ilmiah. Ini hanya sangka orang awam saja.
Masih adakah perilaku rasialis itu sampai sekarang? Oh,…tentu saja masih. Orang Eropa, bolejadi malu-malu. Tapi orang Amerika, yang berjuluk ‘negri impian’, negri yang dijanjikan’, ‘negri segala kesempatan’, ‘negri kebebasan’ dan banyak julukan lagi,…lebih ‘bebas’, dan secara terang-terangan ‘memamerkan diri’ bahwa mereka masih rasialis. Dan sayangnya (atau konsekuensinya), sikap rasialis orang Amerika itu dipamerkan dengan cara yang konyol, arogan, tengil dan bodoh.
Kasus yang pernah terjadil: Polisi yang ‘mengunci’ leher seorang kulit hitam yang dituduh kriminal sampai tak bisa bernafas dan tewas! Contoh lain di depan mata dunia adalah sikap presidennya.
Tapi bagi sineas, itu adalah lahan subur dan tak habis-habisnya menjadi bahan cerita. Film tentang rasialis banyak sekali dibuat. Yang aku ingat karena begitu mencekam adalah “Mississipi Burning” yang meraih beberapa nominasi perharhargaan.
Kemarin aku menonton film, kisah tentang rasialis yang lebih santai, agak dramatis dan diselingi ‘humor-humor getir’ di sana-sini dlm dialog (karena skenario) yg cerdas.
Green Book, adalah semacam buku panduan atau kiat-kiat (kalok di kita kok jadi ‘buku putih’?), bagi orang kulit berwarna, jika ingin ‘selamat’ ketika bepergian ke kota-kota Amerika di sebelah selatan. Bukan Amerika Latin ya.
Adalah Frank ‘Tony Lip’ Vallelonga (diperankan dgn baik oleh Viggo Mortensen), warga New York berdarah Itali yang secara unik terpaksa bersahabat dgn Don Shirley (juga diperankan dgn ciamik oleh Mahershala Ali).
Tony, adalah orang kulit putih yang ‘tak terlalu peduli dgn rasialisme. Karena klub malam tempatnya bekerja sedang direnovasi, Tony yang tak mau menganggur, melamar kerja sebagai sopir pribadi seorang pianis sangat berbakat dan terkenal berkulit hitam, Don Shirley.
Tony, agak kasar, jujur, berpendidikan seadanya dan sayang pada keluarga. Don berpendidikan baik, musisi berbakat, lembut, sensitif dan gay.
Di kota besar New York yang metropolis dan ‘kebetulan’ terletak di sebelah utara Amerika, sikap rasialis tak terasa. Tapi ketika Don harus melakukan tur memenuhi undangan untuk memperlihatkan bakat dan kehebatan bermain piano, hal itu jadi masalah besar bahkan mencelakakan dan mengancam hidupnya.
Beberapa kali Tony harus menyelamatkan Don dari ancaman orang-orang yang bersikap rasialis. Don yang juga terpaksa menyerempet bahaya karena menjadi sopir orang kulit hitam. Tony sangat kreatif untuk selalu lolos dari masalah. Jika tetpaksa, dengan gertak dan kekerasan.
Polisi-polisi korup, selalu relatif lebih mudah ‘ditangani’ (dengan uang, tentu) draripada begundal di jalanan.
Suatu ketika, di kota kecil, setelah memperoleh kamar di sebuah Motel (Motel Tony dan Don selalu tetpisah!), Tony mendapati Don sedang dianiaya oleh beberapa orang lelaki kulit putih bertubuh besar dan brangasan.
Rupanya Don ‘salah masuk’. Don masuk ke sebuah cafe kulit putih. “Aku cuma ingin minum” kata Don dalam cengkraman para begundal.
“Lepaskan!” kata Tony galak. Para begundal keheranan melihat ada orang kulit putih membela orang kulit hitam di Selatan, di cafe ‘milik org kulit putih’. Suasana tegang.
“Lepaskan!”…Tony meraba pinggang belakang celananya, berlagak hendak mencabut pestol.
Pemilik cafe, pun mengokang senapan. Bukan untuk membela Don, tapi…”Ke luar kalian semua! Aku tak mau ada masalah di cafeku!”. Tony pun berhasil menyelamatkan Don.
“Lain kali, jangan ke mana-mana. Atau jika ingin ke mana-mana,…beritau aku!”, kata Tony.
Di setiap kota kecil, Tony selalu menulis surat tanda cinta dan menceritakan keadaannya pada istri dan keluarganya.
Ada dialog lucu. Dalam suatu surat, Tony membukanya dengan:..
“My deer wife”.
Don tertawa. “My dear, bukan my deer. Deer itu artinya rusa”.
Tony tak tersinggung. Don malah mengajari Tony begaimana membuat surat yang indah untuk istri tercinta dan keluarganya. Keindahan kata-kata dalam surat itu membuat istri Tony tersanjung sampai menitikkan airmata.
Di kota terakhir konsernya, Don di perlakukan sangat buruk, sehingga menghabiskan ‘persediaan kesabaran melimpah’ (menurut istilah Tony) yang dimilikinya. Don diterima dengan ramah di sebuah hotel mewah tempat dia akan konser.
Tapi Don ditempatkan di sebuah kamar kecil di sudut hotel yang mirip dengan “gudang sapu”.
Ketika dia hendak masuk ke restoran hotel, manajer restoran mencegahnya. Don dan Tony, meledak dalam kemarahan.
“Orang ini akan mengadakan konser di sebuah hotel. Dan kau melarang sang bintang utama memasuki restoranmu?!…Come ooon!”…kata Tony sambil mencengkram kerah jas, manajer hotel, mengangkatnya,…dan memepetkannya ke dinding.
“Yaa,…ta…tapi,…aku hanya menjalankan tugas!”…kata manajer restoran…”
Makan niiih tug…Tony mengangkat tangannya, bersiap membogem orang itu.
Don mencegah.
“…Tony,…biarkan orang itu. Ayo,…kita pergi saja dari hotel ini!”. “Heey,…bagaimana dengan konsermu?”
“Fuck the consert! Fuck you!”…
Don dan Tony, pergi dari hotel dengan tertawa-tawa. Mereka tak mempedulikan manajer restoran yang berteriak-teriak memanggil.
“Hahaha,…sudah lama aku menginginkan pemberontakan dan ledakan kesabaranmu seperti tadi, Don..!”
(Aries Tanjung)