REFLEKSI oleh Belinda Gunawan
Sore itu aku bergegas ke sekolah Adit. Anak kelas 3 SD ini baru retret bersama sekolahnya. Usianya 8 tahun jalan 9, dan itu masih kecil di mataku. Melepasnya bermalam di luar kota, sekalipun bersama sekolah, rasanya berat.
Beruntung bus itu sampai di sekolah setelah aku ada di situ, menunggu di bangku panjang bersama ibu-ibu lainnya.
“Mama…” Ia turun menggendong tas ranselnya.
“Adit.” Aku menggandengnya dan kami pun segera pamit pada gurunya.
Di rumah, kuajak ia bercakap-cakap.
“Senang retretnya, Dit?”
“Senang, Mama.”
“Bagian mana yang kamu paling suka?”
“Bagian akhir, Ma. Kami menulis doa lalu membakar kertas itu ramai-ramai. Mudah-mudahan doa kami sampai ke surga, ya Ma.”
“Adit mendoakan apa?”
“Mendoakan keluarga kita, supaya selalu sehat.”
“Yang tidak enak, ada juga Dit?”
“Ada, Ma. Suster memberi nasihat supaya anak-anak tidak nakal. Suster memberi contoh kelakuan yang bisa membuat sedih papa-mamanya.”
“Wejangan yang bagus. Kok Adit tidak suka?”
“Sehabis itu lampu dimatikan. Anak-anak duduk di lantai. Lalu lalu Romo dan Suster bergantian mendekat lalu berbisik, ‘Aku ayahmu’, ‘Aku ibumu.’”
“Kenapa Adit tidak suka?
“Karena Adit pikir, Adit pernah bikin sedih Papa dan Mama.”
“Kapan itu, Dit?”
“Waktu Adit menunda membuat pe-er matematika, dan membuat Papa marah. Juga waktu Adit marah-marah belajar PMP bersama Mama, sampai-sampai Mama berteriak membentak Adit.”
Oh, itu! Aku terkesiap. Kalau sampai kesabaranku habis, itu aku yang salah, bukan dia.
“Adit tidak salah, Mama seharusnya lebih sabar mengajarimu.”
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku ingin memeluknya, tapi aku hanya mengacak-acak rambutnya. Aku khawatir bendungan airmatanya bobol. Lalu kataku, “Adit anak baik, tidak pernah bikin sedih Mama-Papa.”
Belakangan ketika aku mengeluarkan baju-baju kotor dari tas ranselnya, aku memeriksa saku-sakunya dulu. Di salah satunya kudapati secarik kertas. Rupanya tugas mengarang. Aku membaca tulisannya yang acak-acakan. Ia menulis tentang masa bayinya.
Aku memang pernah bercerita, betapa ia, di kala masih berumur satu atau dua bulan, menderita diare berkepanjangan dan muntah-muntah. Hal itu membuatnya kurus kering; perutnya membuncit dengan urat-urat kebiruan membayang. Melihatnya aku merasa ngeri.
Dokter menyimpulkan, ia tidak tahan terhadap susu formula yang kuberikan. Aku menyesal tidak memberinya ASI karena keyakinan keliru, bahwa ASI akan menularkan asma yang kuidap. Setelah susunya diganti beberapa kali, barulah ketemu jenis susu kedelai yang cocok dengan pencernaannya. Ia berangsur sembuh dan mulai montok seperti bayi-bayi pada umumnya.
Adit tidak menulis kisahnya selengkap itu, hanya bahwa semasa bayi ia sakit dan ibunya cemas. Ada kalimatnya yang membuatku tercekat: “Waktu itu mamaku setiap hari membaca Kitab Suci.”
Ya, aku ingat. Di kala mengalami kesesakan yang amat sangat, aku memohon dan memohon, agar anakku jangan sampai diambil dariku. Lelah berdoa aku membuka Kitab Suci dan membacanya secara acak, tanpa sungguh-sungguh memahaminya. Aku seperti orang yang terperosok dan hampir terbawa arus, yang dengan panik meraih rumput atau apa pun yang ada di tepi sungai untuk menyelamatkan diri.
Karangan Adit dan kenangan yang ditimbulkannya membuat aku menyesal telah membuatnya sedih, sekaligus bersyukur memiliki anak yang peka, suatu berkat luar biasa dari Yang Kuasa. (BG)
“Sungguh, belajar menerima cara menerima berkat adalah sama pentingnya dengan memberi berkat.” – Joel Osteen