CERPEN : Aejengkal Tanah Surga

CERPEN OLEH ; NADJIB KARATAPATI Z

Mobil menggelinjang di atas jalan yang koyak dan berbatu. Kebun tebu di kanan-kiri jalan raya itu mengingatkan aku pada masa kanak-kanak. Satu masa yang penuh oleh kerikil tajam kehidupan. Masa di mana aku mengawali sebuah perjalanan hidup ini dengan beban derita yang panjang. Perjalanan ini seolah-olah hanya menyusuri jejak-jejak masa lalu yang kini berselimut debu.

     Sinar mentari yang menerobos celah-celah rimbun gelagah membuat jalanan jadi sejuk. Bayang-bayang dedaunan bergoyang-goyang di sepanjang jalan yang kami lalui. Anak sulungku, Ardrian namanya, memandang lurus ke depan dari belakang setir yang dikemudikannya. Sesebentar ia bertanya ini dan itu kepadaku, Mama-nya yang duduk di sebelahnya. Memang baru kali ini Ardrian kubawa ke desa untuk berziarah ke makam neneknya alias ibuku.

     “Kenapa Papa tidak mau ikut ziarah, Ma?” tanya Ardian.

     “Tak tahulah. Papa-mu lebih suka kepada hal-hal yang praktis. Ziarah ke makam mertuanya yang tidak pernah dia kenal, apalagi tempatnya sejauh ini, dipandang tidak praktis dan melelahkan…”

     “Apa Papa sudah pernah ziarah ke makam Eyang?”

     “Seingatku baru sekali. Dua puluh tahun yang lalu, waktu kamu masih dalam gendongan. Itu pun karena kupaksa.”

     “Mama terakhir ziarah kapan?”

     “Lebaran luma tahun silam. Sendirian.”

     “Oh! Apa kuburannya nggak kotor ditumbuhi ilalang?”

     “Itulah sebabnya  Mama bawakan kain sarung dan kemeja buat penjaga kubur. Kita juga nanti mesti kasih duit padanya supaya makan eyang-mu dijaga dan dirawat. Hitung-hitung sedekahlah buat penjaga kubur itu. Dan nanti kamu mesti siap membersihkan makam eyang-mu. Nanti kita beli pacul, sabit, dan sapu lidi.”

     Ardian diam. Aku tahu dia juga tidak menyenangi perjalanan ini. Memang cukup berat baginya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan ini. Namun Ardian tidak mau “kalah” dalam berpuasa, sebab ini adalah hari terakhir di mana besok sudah tiba hari lebaran. Dan aku berjanji akan mengganti pegang setir bila ia capek. Aku yakin, hanya karena tidak tega melihat mama-nya pergi sendirian, maka ia korbankan waktu lebarannya untuk mengantarkanku. Yuli, adiknya, bahkan sempat melarangku 

berangkat. Lebaran tanpa ibu dan abangnya tentulah tidak enak baginya.

     Kalaupun suami dan anak-anakku tak pernah tertarik ziarah ke makam Ibu, sepenuhnya bisa kumaklumi. Mereka sama sekali tidak punya ikatan batin apa-apa pada wanita bernama Sulatin alias ibuku. Namun berbeda denganku. Sosok Ibu merupakan satu-satunya figur yang telah membentuk kepribadianku, mengisi pandangan-pandangan hidupku, sekaligus memperkenalkan diriku dengan penderitaan dan menanamkan sejuta dendam.

     Melalui bunga-bunga tebu yang bermahkota putih laksana salju, tiba-tiba aku bagaikan memasuki lorong-lorong panjang masa silam. Tatkala itu, empat puluh tahun yang lampau, kebahagiaan masa kanak kami diguncang oleh badai perselisihan orang tua. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara dalam keluarga Wiryo dan Sulatin. Abangku, Margono namanya, lebih beruntung dibanding diriku. Sejak berusia empat tahun sudah diasuh oleh keluarga Kakek dari garis Ayah. Ia kuyup oleh kemanjaan lantaran ditakdirkan sebagai cucu pertama bagi eyang-nya.

     Aku masih ingat jelas bagaimana Ayah dan Ibu bsering bertengkar. Kata Ibu, Ayah suka berjudi dan menghabiskan uang hasil kerjanya sendiri. Kalau Ibu menegurnya lantaran tidak ada sisa uang buat belanja, Ayah marah-marah. Ayah menuduh Ibu banyak menuntut, suka mendikte, dan tidak menghormati suami. Dan bila Ibu membantah, Ayah tidak segan-segan melayangkan tamparannya ke wajah Ibu.

     Suatu sore, di dapur kudapati Ibu berurai air mata. Kupikir air mata itu hanyalah akibat pedasnya asap bara api di tungku. Namun kemudian kuketahui ada sengguk tertahan yang sempat menggungcang punggung ibuku. Sadarlah aku bahwa Ibu memang sedang menangis. Maka aku pun mendekat dan bertanya.

     “Sesungguhnya kamu belum boleh tahu, Ratih,” tutur Ibu seraya mengusap kedua matanya. “kamu masih terlampau kecil untuk dapat memahami kenyataan ini…”

     “Ibu sedang bersedih, bukan? Kalau Ibu sedih, saya jadi ikut sedih. Kenapa Ibu tidak mau berterus terang?” desakku.

     Karena pertanyaanku itu, tangis Ibu semakin larut. Aku menduga Ibu telah habis bertengkar dengan Ayah, sebab semalam tak kulihat Ayah pulang ke rumah. Ketika dugaanku itu kuutarakan, Ibu menatapku dengan pandang mata sengsara.

     “Baiklah kalau Ibu tidak mau bicara,” kataku. “Suatu saat saya pasti akan tahu sendiri…”

     Dan Ibu lalu berlari masuk kamar. Dari luar kudengar sedu-sedannya. Aku jadi sangat gelisah. Kucari Mas Gono ke rumah Eyang yang tinggal di desa sebelah. Ingin aku mendapat keterangan dari abangku yang kuduga tahu persoalan yang tengah terjadi ini.

     “Ini persoalan orang tua. Kamu tidak perlu ikut-ikut. Tidak ada untungnya kamu mengetahui soal ini!” kata Mas Gono ketus.

     “Pasti soal Ayah. Tadi malam Ayah tidak ada pulang ke rumah.”

     “Habisnya, mana ada lelaki yang sudi didikte istrinya?”

     Aku tersentak mendengar jawaban Mas Gono. Jawaban itu menunjukkan bahwa dia berada di belakang Ayah. Selama ini dia memang kurang akrab dengan Ibu lantaran tangan panjang Eyang yang memanjakannya. Sakit sekali hatiku mendengar jawaban abangku itu.

     “Setahuku Ibu tidak pernah mendikte Ayah,” bantahku. “Bahkan Ayahlah yang sering kulihat bersikap kasar terhadap Ibu.”

     “Jangan salahkan ayahku!” semprot Mas Gono dengan mata melotot. “Kamu tidak pernah tahu kesetiaan macam apa yang Ibu miliki. Ayah sudah terlalu banyak berkorban, bekerja mati-matian, tapi Ibu tidak pernah menghargainya. Ibu terlalu banyak menuntut.”

     “Ayah yang tidak tahu tanggung jawab. Dia sering pergi tanpa setahu Ibu. Pergi berjudi. Suami macam apa itu?”

     Plak! Mas Gono menampar mukaku. Matanya menerkam tajam dan wajahnya merah terbakar. Aku mundur selangkah dengan sakit hati yang menggigit. Ingin aku menangis saat itu juga.

     “Sekali lagi kamu menuduh Ayah bersalah, kuhajar kamu!” hardik Mas Gono dengan sikapnya yang angkuh dan pongah.

     Aku tidak berani membantah. Panas di wajahku akibat tamparannya belum juga hilang. Sambil berlinangan air mata aku berlari pulang. Pelotot mata Mas Gono seakan masih melekat di tengkukku.

     Esoknya, ketika pulang sekolah, secara kebetulan aku memergoki Ayah berbonceng sepeda dengan wanita yang tidak kukenal. Darahku langsung mendidih, seolah-olah diriku mewakili hati Ibu. Wanita yang dibonceng Ayah itu tidak secantik Ibu, tetapi tampak jauh lebih keren dengan selusin perhiasan emas di telinga, lengan, dan lehernya. Aku mulai tahu bahwa inilah sumber pertengkaran orang tuaku. Kebencianku terhadap Ayah muncul menggelegak, sekaligus juga kebencianku terhadap Mas Gono yang membelanya.

     Tiba di rumah aku langsung membuang buku dan berlari ke dalam kamar. Aku menghambur ke tempat tidur seraya memuntahkan tangis yang sudah kutahan sejak di jalanan tadi. Rupanya Ibu terkejut melihat kelakuanku yang aneh itu. Ia lalu menghampiriku seraya bertanya apa yang sedang terjadi atas diriku.

     “Saya sudah tahu semuanya, Bu,” kataku di tengah isak tangis. “Saya bukan anak kecil lagi, Bu. Saya sudah kelas enam. Sudah bisa mengerti apa yang terjadi.”

     “Kamu ini ngomong apa, Ratih? Katakan yang jelas!”

     Ingin aku berteriak, membeberkan semua yang kulihat. Akan tetapi tangisku ternyata lebih deras dari kata-kata.

     “Ayah… Ayah… Kulihat tadi Ayah…,” kataku tersekat.

     Mendengar kata-kataku, Ibu langsung ikut menangis. Rupanya Ibu juga memahami apa yang dialami oleh anak perempuannya.

     “Kamu melihat apa?” tanya Ibu menggigil. “”Kenapa ayahmu?”

     “Ayah memboncengkan perempuan lain, Bu…”

     Ucapanku terpatah oleh ledakan tangis Ibu. Akhirnya Ibu mengaku bahwa selama ini dirinya disakiti oleh pengkhianatan Ayah. Kata Ibu, sudah lama Ayah kepelet janda kaya yang disebutnya perempuan gatal itu. Bahkan, demikian ulas Ibu, pihak orang tua Ayah seolah merestui jalan menyimpang anak lelakinya. Sadarlah aku kini bahwa Ibu sudah tidak lagi menganggapku anak kecil. Sengaja atau tidak Ibu telah melibatkan diriku dalam kemelutnya, dan membuatku harus berdiri di belaklangnya.

     “Mas Gono menyalahkan Ibu, menuduh Ibu sebagai istri yang mendikte dan tidak menghormati suami,” kataku mengadu. “Bahkan dia mengancam akan menghajarku kalau aku sampai membela Ibu…”

     “Margono sudah menjadi milik eyang-mu, Ratih. Dia dimanja, baik oleh ayahnya maupun oleh eyang-nya. Jelas dia tidak mau membelaku.”

     Kata-kata Ibu itu mengisyaratkan suatu kedurhakaan seorang anak sulung. Sekaligus mengisyaratkan sebuah kepedihan batin seorang ibu yang dimusuhi anaknya sendiri. Ucapan Ibu itu memang akhirnya dapat kubuktikan kebenarannya. Suatu malam, tatkala aku bersama teman-tem,an sekelas menonton pasar malam di kota kecamatan, aku melihat pemandangan yang nyaris membuatku terjatuh. Ayah, Mas Gon, dan janda itu bergandengan tangan keluar-masuk stan pameran. Dari wajah mereka terpancar kegembiraan yang amat sangat. Tubuhku mendadak lunglai tanpa tenaga. Pikiranku melayang ke rumah, ingat ibuku yang tidur sendiri di ranjang tuanya.

     Keramaian pasar malam menjadi bagaikan ujung-ujung bambu runcing dan mata golok yang mengoyak hati. Mataku tak kuasa lagi menyaksikan ayah dan abangku bersenang-senang dengan janda haram itu meski hatiku ingin tetap mengawasinya. Aku gagal menahan air mata yang rasanya tak mau lagi dibendung.

     Pulang ke rumah aku sengaja bungkam. Tidak tega aku menceritakan apa yang kulihat tadi kepada Ibu. Aku tidak ingin mempedalam luka hati wanita yang pernah melahirkan diriku. Namun naluri Ibu terlalu kuat untuk menyibak arti sembab mataku.

     “Kamu tentu melihat ayahmu pergi dengan janda itu lagi, bukan?” tanya Ibu dengan suara yang berat. “Ibu tahu, dia tentu membawa lontenya ke pasar malam.”

     Aku tidak menyahut. Namun, kebisuanku itu bagi Ibu toh berarti sebuah jawaban. Detik-detik selanjutnya adalah tukar tangis di antara kami. Ibu membelai rambutku penuh kasih sambil bernasihat agar aku tabah mendampinginya.

     Esoknya, di SMP tempat Mas Gono sekolah, aku datang untuk melabrak abangku. Kucegat dia di depan gedung sekolah itu. Saat bel berdering di mana murid-murid berhamburan keluar, mataku jalang mencari sosok abangku yang membela kebejadan Ayah. Dan aku terkejut ketika melihatnya menuntun sepeda baru. Muncul rasa iri yang membakar dalam diriku. Beberapa waktu lalu aku minta sepeda kepada Ayah, tapi tidak pernah digubrisnya. Kini kulihat Mas Gono membawa sepeda dalam keadaan gres sama sekali.

     Aku menyelonong dan menghadangnya, menerkamkan tatap mata tajam ke wajahnya. Mas Gono tampak kaget atas keberanianku ini.

     “Semalam aku melihatmu bersama Ayah dan janda itu di pasar malam,” semprotku. “Kalian bersekongkol untuk menyakiti hati Ibu. Itu tidak pantas! Anak sulung macam apa kamu ini?”

     “Jangan cerewet di depan orang banyak! Kutampar kamu nanti!”

     “Kamu tidak kasihat kepada Ibu? Terlalu!”

     “Katakan kepada Ibu bahwa aku menyetujui Ayah kawin lagi! Selama ini Ibu juga tidak pernah memperhatikanku. Sejak usia empat tahun aku dibuang ke rumah Eyang. Bagaimana aku harus membelanya? Selama ini apa pernah Ibu memberikan kasih sayangnya kepadaku?”

     “Tapi kamu tidak bisa begitu, Mas! Ibu menderita, menangis tiap hari. Bagaimanapun dia ibu kandungmu!”

     “Kamu tidak perlu berkhotbah, Ratih! Belum menjadi ibuku saja perempuan itu sudah membelikan aku sepeda baru. Lihat ini! Bagaimana mungkin aku tidak menyenanginya? Sudah, sana pergi!” hardik Mas Gono seraya meloncat ke atas sepeda barunya.

     Dan semenjak itu Ayah semakin jarang pulang. Kalaupun suatu hari datang ke rumah, pasti bertengkar dengan Ibu. Aku sering melihat dengan mata kepala bagaimana Ayah memukuli Ibu tanpa sedikit pun rasa kasihan. Kebencianku terhadap Ayah semakin menjadi-jadi. Dan bila hari ini Ayah dan Ibu bertengkar, esoknya aku pasti bertengkar dengan Mas Gono gara-gara dia membela Ayah. Dan seperti Ayah terhadap Ibu, Mas Gono juga tidak segan-segan menampar mukaku.

     Yang lebih menyakitkan hatiku, Mas Gono sering lewat di depan rumah dengan sepeda barunya, membunyikan belnya yang nyaring seolah-olah sengaja mengejek kami. Memang belakangan kantongnya selalu penuh oleh uang, dan pakaiannya pun serba baru. Mas Gono yang terbiasa dimanja oleh Eyang itu tentu lebih senang kepada janda itu daripada membela ibu kandungnya yang miskin.

     Di pihak lain, Ibu dan aku makin hari kian menderita. Ayah tidak pernah lagi memberikan uang belanja. Kalau aku meminta uang, Ayah selalu bilang tidak punya.

     “Baik-baiklah kamu sama calon ibu tirimu, biar kamu punya banyak uang seperti mas-mu Gono,” jawab Ayah membujukku.

     “Tak sudi! Gara-gara perempuan itu Ibu menderita,” sengolku.

     “Kalau tidak sudi ya jangan mengeluh tidak punya uang.”

     Sampai pada akhirnya, Ayah tidak pernah muncul ke rumah sama sekali. Kabar yang kami dengar, Ayah telah menikah dengan janda kaya itu. Namun, Ayah selalu bilang tidak pernah punya uang manakala aku datang meminta. Menurutnya, selama ini istri mudanya itulah yang menjamin nafkah keluarga. Tetapi, Mas Gono kulihat makin bergaya, suka jajan dan nonton filem, sementara di sekolah bayaran POMG-ku makin menunggak. Tingkah Mas Gono yang pongah dan kasar terhadapku itu membuatku benci dan mendendam.

     Tiga kali sudah Ibu bersurat kepada Ayah untuk meminta cerai, namun sekali juga tidak pernah dibalas. Ayah seperti sengaja menyiksa Ibu dalam statusnya yang tidak jelas. Sementara itu, kehidupan ekonomi kami makin memprihatinkan. Saat lebaran tiba, Ibu tidak mampu membelikan aku baju baru sepotong pun. Ketika kutanyakan hal itu, Ibu malah menangis. Kembali dia membelai rambutku seraya bertutur dengan gemetar agar aku tetap tabah.

     “Tuhan tidak pernah tidur, Ratih. Dia tahu penderitaan hamba-Nya yang tabah, dan akan memberikan anugerah-Nya. Kalaupun tidak sekarang, kelak akan ada waktunya sendiri,” ucap Ibu menggetarkan dinding-dinding perasaanku.

     “Tapi itu kapan, Bu?”

     “Hanya Tuhan yang tahu, Ratih. Mungkin bagian kita masih di langit, belum saatnya turun ke bumi…”

     Kata-kata Ibu itu menggeletar di rongga dadaku. Air mata Ibu bukan lagi sebagai kenyataan pahit yang membuatku sedih dan menderita. Namun linangan air mata itu bagaikan anak sungai yang mengairi sawah-sawah petani. Ia telah memberiku ketabahan dan daya hidup. Ia telah membuka mata batinku pada hal-hal yang kotor dan busuk, sekaligus menciptakan muara keikhlasan yang mahaluas.

     Lebaran tahun ini memang teramat pahit, tetapi telah berhasil mematangkan kepribadianku. Sehari sebelum orang-orang mengumandangkan takbir, kulihat Ibu mewantek sebuah gaunku dengan warna hijau tua. Ibu tahu aku menyukai warna itu. Suatu saat aku pernah mengidamkan punya gaun hijau seperti milik putri Pak Lurah.

     “Dengan diwantek, gaunmu akan tampak seperti baru, Ratih,” ucap Ibu dengan ketegaran yang luar biasa. “Maafkan kalau Ibu tidak mampu membelikan kamu baju baru pada lebaran tahun ini…”

      Di tengah-tengah teman sebaya yang pada mengenakan gaun baru, aku harus puas dengan gaun hasil wantekan. Takut ada kawan datang, aku tidak berani berada di rumah pada hari-hari awal lebaran. Sebab, di rumah tidak tersedia kue kering apa pun. Untuk membuat nasi uduk pun Ibu menjagakan jatah zakat fitrah dari panitya masjid. Ibu menyuruhku sungkem kepada Ayah dan Mas Gono, tetapi aku menolak. Tidak sudi aku datang kepada ayah dan abangku yang dengan sengaja menyengsarakan kami.

     “Yang boleh sakit hati terhadap ayahmu hanya Ibu, Ratih. Tidak bagimu! Bagaimanapun dia adalah ayah kandungmu, dan Margono juga abangmu sendiri,” utur Ibu dengan nada yang lembut dan bijak.

     “Tidak!” tolakku. “Ayah yang terang-terangan bersalah toh tidak mau datang meminta maaf sama Ibu, begitu juga Mas Gono. Buat apa saya ke sana?”

     Kondisi ekonomi ibuku makin parah. Barang-barang rumah tangga satu demi satu terjual untuk isi perut. Ibu memang tidak bisa mencari nafkah sendiri, dan itu disesalinya kemudian.

     “Kamu mesti pintar-pintar cari duit, Ratih,” tutur Ibu suatu hari. “Jangan seperti ibumu, nanti kamu bisa menderita.”

     Kata-kata itu belum mampu menembus sanubariku. Baru setelah tamat sekolah dasar, aku mulai tergugah. Gara-garanya, Ayah menolak mentah-mentah saat aku datang kepadanya dan minta uang untuk pendaftaran masuk SMP. Tangisku tidak mampu mengetuk pintu nuraninya yang sudah terlanjur lumutan itu. Lagi-lagi Ibu membelai rambutku ketika mendengar aku bersumpah tidak mau lagi menemui Ayah dan Mas Gono. Dendamku terhadap mereka menjadi bagaikan gunung berapi yang sewaktu-waktu siap memuntahkan lahar panas.

     Aku lantas ikut-ikut menjadi penjaja kue di pasar sapi pada siang hari sepulang sekolah. Kue-kue itu kuambil dari pembuatnya dan kujual dengan memungut keuntungan yang tidak seberapa. Malam hari aku setorkan kepada pembuatnya, dan saat itulah aku tahu berapa uang yang kuterima. Yang penting aku bisa masuk SMP. Dorongan moril yang diberikan oleh Ibu sungguh besar artinya.

     Dalam keadaan sulit yang terus-menerus menghimpit seperti ini, Ibu menyatakan ingin ikut adiknya yang tinggal jauh di lain provinsi. Dialah satu-satunya saudara kandung Ibu. Dan niat itu dilaksanakan setelah Ayah secara resmi menceraikan Ibu. Praktis semenjak itu aku berpisah dengan Ayah dan Mas Gono dalam keadaan bermusuhan. Sakit hatiku pada mereka seperti tidak akan pernah sembuh meski misalnya sejuta kata maaf telah mereka hamburkan.

     Akan tetapi, tinggal bersama Paman juga sama artinya dengan berpindah dari gubuk derita yang satu le gubuk derita yang lain. Sebab kehidupan ekonomi Paman pun sama pahitnya.

     “Ada perbedaannya, Ratih,” kata Ibu. “Di sini kita tetap miskin dan susah hidup, tetapi jauh dari sakit hati.”

     Aku paham ucapan Ibu itu. Di tempat tinggalnya semula Ibu jauh lebih menderita lantaran melihat langsung bekas suaminya hidup senang di samping perempuan lain. Ya, cuma itu! Tetapi tidak kuduga bahwa ternyata Ibu hanya menginginkan tempat baru untuk mengakhiri sisa hidupnya. Di rumah Paman, kesehastan Ibu terus melorot. Ia sering sakit-sakitan.

     Suatu senja, saat yang paling kutakutkan itu datang juga. Ibu menghembuskan napasnya yang terakhir dalam keadaan yang amat menyedihkan. Tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. Aku menangis meraung-raung di samping jenazah Ibu. Kutatap wajahnya yang tulus dan terpejam itu sebagai potret penderitaan wanita desa.

     Kata Paman, ibu menderita TBC sebagai akibat tekanan batin selama hidup dengan Ayah. Maka aku berkesimpulan bahwa Ayah telah sengaja membunuh Ibu. Dendamku makin membara, tidak cuma terhadap Ayah melainkan juga terhadap Mas Gono yang ikut memusuhi ibunya sendiri. Ya, dendamku terhadap mereka ibarat bayangan darah.

     Dalam asuhan Paman, aku giat belajar. Setiap mata pelajaran yang kutekuni seakan-akan memantulkan wajah Ibu saat-saat akhir hayatnya. Setiap buku yang kubaca seolah-olah menyuarakan bisikan dendamku terhadap ayah dan abangku. Derita Ibu dan dendam kesumat itulah yang kemudian berhasil membuatku selalu menjadi bintang kelas.

     Setamat SMP, oleh Paman aku dititipkan kepada seorang temannya di Jakarta. Di Ibu Kota itu aku memanfaatkan bea siswa yang kuperoleh untuk masuk SMA. Menghadapi ujian akhir kelas tiga, Paman bersurat kepadaku, memberitakan bahwa Ayah sekeluarga mengalami kecelakaan. Rumahnya runtuh diseruduk truk pada subuh buta dan kemudian terbakar. Ayah meninggal dalam musibah itu sementara Mas Gono menderita luka parah. Aku menyebut kebesaran-Nya. Satu sisi aku bersyukur karena dendamku telah dibayarkan oleh Tuhan, namun sisi lain aku terpukul oleh bencana itu. Kini aku tidak punya lagi orang tua. Mereka telah pergi sebelum aku berhasil jadi “orang”.

     Dan ketika keluarga Paman bertransmigrasi ke Sumatra, aku merasa menjadi gadis sebatangkara. Mas Gono tidak kuketahui rimbanya, entah hidup entah mati. Sisa-sisa dendamku terhadapnya masih sesekali mengusik. Berkat ketekunanku, aku berhasil meraih gelar sarjana. Tetapi aku masih ingin terus belajar untuk menjadi wanita intelektual yang lebih punya martabat. Pesan Ibu masih kuingat jelas bahwa aku harus pintar cari duit agar tidak hidup menderita.

     Karena terlalu sibuk belajar dan bekerja, masa perkawinanku cukup terlambat. Itulah harga yang harus kubayar untuk cita-citaku. Kini semua penderitaan sudah tertepis dari hidupku. Kalaupun masih ada satu hal yang tersisa, tidak lain dan tidak bukan adalah dendamku terhadap Mas Gono yang kini entah di mana.

     “Kenapa sih Mama bernafsu sekali ziarah ke makam Eyang?” tanya Ardian menyentakku.

     Aku tergeragap seperti orang yang baru tersadar dari mimpi panjang. Kutatap Ardian yang menguap lebar dari belakang setir.

     “Meskipun tinggal nisan, kuburan itu merupakan saksi bahwa Mama pernah punya masa lalu,” jawabku. “Di samping itu, dengan menziarahinya Mama merasa masih punya hubungan batin.”

     “Tapi kenapa Mama tidak pernah ziarah ke makam Eyang Kakung?”

     Aku terbungkam. Tidak ingin aku menjelaskan hal yang sebenarnya. Itu sudah menjadi konsensus antara aku dan suamiku, di mana kami harus merahasiakan sejarah masa silamku agar anak-anakku tidak ikut menanam dendam. Cukup aku sajalah yang merasakannya.

     “Makam eyang kakung-mu jauh di ujung timur Pulau Jawa ini,” dalihku. “Kapan-kapanlah kalau kita punya waktu luang.”

     Kami bermalam di sebuah hotel di Purwodadi. Memang tidak menyenangkan menikmati malam lebaran di perjalanan. Tetapi itulah pengorbananku untuk memperteguh hubungan batin dengan mendiang Ibu.

     “Makam eyang-mu masih tigapuluh kilometer dari kota ini. Besok, begitu usai Sholat Id, kita baru nyekar ke sana,” kataku.

     Paginya kami tiba di makam Ibu. Ramai orang nyekar di kuburan itu. Ardian —meski dengan sedikit cemberut— sudah siap dengan pacul, sabit, dan sapu lidi untuk membersihkan makam eyang-nya. Namun betapa aku terkejut saat mendapati makam Ibu dalam keadaan bersih dan terawat indah. Siapa gerangan yang memeliharanya? Di daerah ini tidak ada lagi famili kami. Mungkinkah ini kerja Mas Gono? Dalam hatiku muncul fitasat bahwa sesuatu telah terjadi.

     Tanpa pikir panjang kucari penjaga makam untuk mendapatkan informasi tentangnya, sekalian memberikan hadiah kain sarung dan kemeja yang telah kupersiapkan. Oleh orang-orang aku diberi tahu bahwa penjaga makam tinggal pada sebuah gubuk kecil di pojok kuburan ini. Buru-buru aku ke sana.

     Penjaga kubur itu muncul terbongkok-bongkok. Mata kanannya buta dan wajahnya penuh bekas luka. Gerakannya lamban dan berat, memberikan kesan acuh tak acuh dalam menyambutku.

     “Bapak tahu siapa yang merawat dan membersihkan makam Sulatin di bawah mohon mahoni itu?” tanyaku.

     “Siapa lagi kalau bukan anaknya sendiri?” jawabnya dingin.

     “Saya ini anaknya, Pak. Saya datang dari Jakarta.”

     Penjaga kubur itu memandangku sejenak, lantas tersenyum. Tuhan! Mataku tidak bisa dikelabuhi. Dialah Mas Gono! Kejutan besar ini memaksa jiwaku terguncang. Aku benar-benar tidak siap bertemu dengan lelaki yang kubenci dan kudendami ini. Bayangan kecongkakannya dan kesengsaraan Ibu membuat dendam itu kembali menggeliat.

     “Kamu ikut membunuh ibuku!” teriakku refleks sambil berlari meninggalkan kuburan, tak peduli bahwa aku belum lagi sempat nyekar. Entah kenapa aku tidak ingin lagi bertemu dengannya.

     Samar-samar kulihat Ardian ikut-ikutan gugup dan mengejarku. Buru-buru dia menyerobot masuk mobil sebelum aku menginjak pedal gas. Tak satu pun pertanyaan Ardian kujawab. Mobil kupacu dengan kencang. Dan aku langsung menghambur ke tempat tidur begitu tiba di hotel.

     “Apa yang sebenarnya terjadi, Ma? Katakan! Siapa yang mengganggu Mama?” tanya Ardian kebingungan.

     “Jangan ganggu Mama dulu. Mama lagi depresi! Mama belum bisa bercerita. Pergilah kamu, Ar!”

     Dengan rasa berat Ardian meninggalkanku di kamar. Seorang diri aku terseret gelombang emosi yang sulit terbahasakan.

     Aku jadi gelisah begitu sadar bahwa sepetang ini Ardian belum ada kembali. Dia pergi membawa mobil entah ke mana. Besar kemungkinan dia telah kembali ke makam eyang-nya untuk mengusut sebab-musabab sampai mama-nya jadi seperti orang gila.

     Menjelang magrib Ardian muncul ke kamar dengan wajah kusut-masai. Napasnya terengah-engah bagai seorang pelari maraton yang kalah. Dia duduk di hadapanku dengan roman muka bersungut-sungut.

     “Saya sudah tahu seluruhnya, Ma,” katanya dingin, namun secara telak menyodok hatiku. “Ternyata selama ini Mama merahasiakan satu peristiwa besar. Lama saya tadi berbincang dengan Pakde Margono, abang Mama satu-satunya.”

     Aku bungkam, tak tahu harus berkata apa.

     “Mama harus ketemu Pakde!” kata anakku lagi. “Sekaranglah saatnya dendam Mama berakhir.”

     “Mama tidak sanggup bertemu dengannya, Ar!”

     “Kalau Mama menolak, saya nggak mau pulang ke Jakarta.”

     Tuhanku! Anak sulungku ini telah mengancamku. Oh, Ardian! Kamu hanya tahu soal nilai-nilai kebajikan, namun kamu tidak pernah bisa menembus pekatnya dendam mama-mu. Kamu tak bakal mampu ikut merasakan bagaimana kesengsaraan dan sakit hatiku dulu. Lemah sekali aku menggelengkan kepala.

     “Baik,” ucap Ardian. “Dengan demikian Mama telah menunjukkan kemunafikan kepada kami. Mama mengajari kami berlapang dada dan berjiwa besar, tetapi Mama sendiri pendendam justru terhadap abangnya sendiri yang kini telah insyaf…”

     “Insyaf? Apa yang kamu dengar dari pakde-mu?”

     “Kalau saya bercerita apa Mama mau percaya?”

     “Setidaknya Mama akan mendengarkan ceritamu.”

     “Pakde telah lama menyesali semua perbuatannya pada masa silam. Tepatnya sejak mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat seumur hidup. Pakde merasa sangat berdosa kepada ibunya, dan dia ingin menebus dosa-dosanya itu…”

     “Pengkhianatannya terhadap ibu kandungnya tidak bakal tertebus.” 

     “Nah, belum-belum Mama sudah membantah. nggak ada gunanya saya bercerita,” kata Ardian dengan sinar mata gusar.

     “Maafkan Mama! Lanjutkan ceritamu, Nak!”

     Ardian memandangku seakan menguji kejujuranku. Setelah menghela napas panjang dia lantas melanjutkan, “Pakde Margono mengaku jiwanya tidak pernah tenteram sebelum dia tahu bagaimana caranya menetralisasi dosa-dosanya. Dia lalu mencari jejak Eyang, dan bertahun-tahun baru dia temukan. Dia pingsan begitu tahu Eyang sudah lama meninggal…”

     Ardian berhenti bercerita. Kembali dia meraba pedalaman jiwaku dengan pancaran mata penuh pengharapan. Hati nuraniku mulai mengajak bicara dan mengusik dendam kesumatku. Aku lantas meminta anakku agar melanjutkan ceritanya tentang Mas Gono.

     “Pakde bilang, dia menangis meraung-raung sambil memeluk nisan Eyang. Itu terjadi empat tahun yang lalu,” lanjut Ardian dengan suara agak gemetar. “Tiga hari lamanya dia tidak mau beranjak dari makam ibunya. Dan ternyata di sanalah Pakde memperoleh sedikit rasa tenteram. Akhirnya dia memutuskan membuang dirinya dari keramaian untuk sebuah kehidupan menyendiri di dalam kompleks kuburan itu. Setahun kemudian, setelah penjaga makam yang lama meninggal, oleh pihak desa Pakde diberi kepercayaan menggantikannya…”

     Aku menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya lepas-lepas. Ardian menunduk, di kedua matanya kulihat ada air yang bergenang. Rupanya dia benar-benar terbawa oleh jelujur nasib pakde-nya yang kelam dan pedih itu.  Tak kusangka tremaja seumur dia mampu memberikan simpatinya kepada pergulatan hidup pakde-nya yang baru sekali ini dia kenal. Aku bangga sekaligus malu kepadanya.

     “Mama bilang kuburan merupakan sebuah tempat di mana seseorang memelihara hubungan batin dengan yang sudah meninggal. Dan Mama sendiri tidak setiap tahun berziarah, sementara Pakde telah pelihara hubungan batin itu setiap saat. Tapi kenapa Mama tetap menolaknya dan memihak kepada nafsu dendam itu?” gugat Ardian menggempur keangkuhanku.

     Kini aku tertunduk. Hati nuraniku demikian hebat menghujat.

     Belum puas juga Ardian mengghajar batinku, dia pun menambah, “Semua orang saling bermaafan pada Idul Fitri yang suci ini, tapi Mama telah mengumbar nafsu dendamnya justru terhadap abang kandung sendiri yang telah insyaf. Padahal Mama tahu bahwa Tuhan tidak pernah menutup pintu tobat hamba-Nya. Untuk apa ilmu pengetahuan Mama yang selangit itu kalau hanya buat memuasi dendam?”

      Sampai di sini aku tidak dapat lagi mencegah tergulirnya tetes air mataku. Anak sulungku yang baru dua smester mengenyam pendidikan universitas dan kupandang ingusan itu ternyata jauh lebih arif dari mama-nya yang arogan.

     “Mama berjanji akan memberikan kain sarung dan kemeja kepada penjaga kubur, tapi itu pun Mama ingkari juga. Mama munafik!” gumam Ardian hampir tak kedengaran. “Dan saya nggak akan balik ke Jakarta sebelum melihat Mama berjabat tangan dengan Pakde yang malang. Mama mendengar kata-kata saya?”

     Ada satu kekuatan yang tiba-tiba membuatku mengangguk.

     “Sungguh saya nggak ingin Mama mengabaikan momentum ini. Saya berharap Mama mau menghayati hakikat Idul Fitri seperti yang Mama ajarkan kepada kami. Mama bersedia, bukan?”

     Tanpa berucap kata langsung kupeluk erat-erat tubuh Ardian. Sejuta rasa haru bagai sedang mengalir deras ke seluruh pembuluh darah, memompa segenap denyut nadiku. Kalau masih ada sejengkal tanah di surga buatku, anak sulungku inilah yang telah membukakannya. Tuhan! Aku bersyukur atas rahmat-Mu!

Jakarta, Februari 1991.