simvlacrvm – a political thriller novel

created by cassandra & noorca massardi

1.

Tiara / Terrorem

Markas Detasemen Antiteror & Cyber Crime (DACC) tampak bergairah. Setiap orang yang berada di lantai lima Gedung Annex Kepolisian Daerah (Polda), itu saling menyalami satu sama lain, sambil mengucapkan selamat. Terutama yang tengah menuju ke ruang rapat DACC-Sus (DACC Khusus). Unit khusus antiteror, psywar, antihoax, dan cyber-crime, yang terdiri dari sekumpulan anggota terbaik di jajaran DACC. 

“Selamat untuk kenaikan pangkatnya, Komandan…!” kata anggota tim DACC-Sus satu persatu.

“Terima kasih. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas keberhasilan kita membongkar jaringan ‘Amin Cyber Army’ yang sangat meresahkan masyarakat. Tanpa kerja keras kita semua, pagi sore, siang malam, tak mungkin kita mampu melumpuhkan satu demi satu kelompok garis keras antinegara kesatuan itu….!” kata seorang lelaki tegap yang agaknya menjadi Kepala Unit DACC-Sus itu.

Hadirin bertepuk tangan dalam beberapa kali jeda, yang merupakan ciri khas satuan khusus itu.

“Terima kasih juga saya sampaikan terutama kepada Inspektur Satu Tiara, yang berkat kecerdasan dan keyakinannya, berhasil mengungkap jaringan, kaki tangan, dan pentolan ‘Amin Cyber Army’ dan menangkap mereka satu per satu, tanpa korban jiwa dan tanpa perlawanan…!” kata lelaki itu lagi.

“Siap, Komandan…!” kata Inspektur Polisi Satu Tiara, yang ketika namanya disebut, langsung berdiri dalam sikap sempurna.

“Sila duduk kembali Iptu Tiara…!”

“Siap, Komandan…!” kata Tiara sambil memberi hormat kepada komandannya, dan kemudian duduk kembali.

“Tapi tugas kita belum selesai. Tertangkapnya Amin Sengkuni telah membawa kita kepada jaringan lain, yang mungkin lebih luas dan lebih militan. Kita sudah memiliki rekam jejak transaksi elektronik dan lalu lintas keuangan mereka. Dana untuk melakukan teror serta menyebarkan fitnah dan kabar bohong dalam skala luas di jaringan maya, itu besarnya sangat fantastis. Dengan bukti-bukti yang kita miliki, kita akan menelusuri keterlibatan tokoh-tokoh lain. Terutama, yang selama ini berada di luar target kita. Yakni, tokoh-tokoh yang tampaknya mendukung aksi penumpasan yang kita lakukan, tapi di belakang justru menyokong aksi terorisme. Karena itu, terbongkarnya jaringan Amin Sengkuni, pasti akan menimbulkan kemarahan dan pembalasan dari pihak mereka. Kita harus semakin waspada. Apa dan bagaimana antisipasi kita menghadapi aksi pembalasan mereka, Iptu Tiara…?” kata lelaki itu. 

“Siap, Komandan…!” kata Tiara sambil berdiri tegak. “Saya menunggu perintah berikutnya…!” kata Tiara dengan suara tegas.

“Hari ini kita akan bersyukur dengan merayakan prestasi dan kenaikan pangkat Komisaris Polisi Arka. Ada yang sudah memesankan paket santapan untuk kita. Dan, mohon izin, Iptu Tiara akan segera membawanya ke ruangan ini…!” kata Iptu Rino memotong pembicaraan, sambil berdiri tegak dan bersikap sempurna. 

“Ini pasti ide gila kamu, Rino…! Sila ambil Iptu Tiara…!” kata Kompol Arka, yang baru naik pangkat satu tingkat dari Ajun Komisaris Polisi (AKP) menjadi Komisaris Polisi (Kompol).

Iptu Tiara tampak kurang senang. Ia melotot ke arah Iptu Rino. Dasar bodoh. Giliran urusan makan minum harus selalu perempuan yang ditugaskan. Masih saja diskriminatif! kata Tiara membatin. Namun, Tiara tak punya pilihan lain. Semua mata tertuju ke Tiara. Atasannya sudah memerintahkan. Betapapun sepelenya perintah itu, tetap harus dikerjakan. Hadirin pun sudah bertepuk tangan dalam beberapa kali jeda, yang merupakan ciri khas satuan itu, dalam suasana lebih cair dan santai.

Dengan jengkel Tiara memberi hormat dan terpaksa ke luar ruangan. Ia bergegas ke lorong menuju pintu lift. Sebelum bisa keluar dari pintu itu, Tiara lebih dulu mengarahkan kornea matanya ke alat pemindai. Pintu pun terbuka. Lalu, kepada petugas jaga di luar, ia meminta telepon genggam dan pistolnya, yang tadi dititipkan di rak khusus untuknya. Siapa pun yang memasuki ruangan itu memang wajib menitipkan senjata dan peralatan komunikasi mereka ke petugas jaga yang merangkap resepsionis.

Seluruh area di lantai lima itu dirancang kedap suara. Semua sinyal komunikasi keluar masuk ruangan ditutup. Tidak hanya untuk mencegah penyadapan dari luar,  tapi juga untuk mencegah kebocoran rahasia rapat ke luar ruangan. Deretan dinding dan jendela kaca di lantai itu pun antipeluru. Sementara untuk keluar masuk diatur dengan pemindai retina mata. Hanya yang identitasnya sudah terekam yang bisa membuka dan menutup atau yang bisa keluar masuk ruangan rapat khusus itu.

Tiara mengaktifkan pesawat telepon genggamnya. Begitu jaringannya terkoneksi, terdengar bunyi notifikasi pesan singkat masuk. Ia membuka dan membacanya. Wajahnya mendadak berubah. Keningnya berkerut. Ia tampak tegang. Lalu ia merekam pesan itu dengan screen-shot. Ia kemudian membuka daftar kontak, dan menekan tombol koneksi. Ia harus menghubungi seseorang. Namun, belum lagi terkoneksi, telepon genggamnya sudah berdering lagi. Tiara membaca identitas peneleponnya. 

“Siap. Sebentar, Dan. Kebetulan saya mau turun. Mohon ditunggu…!” kata Tiara sambil kemudian menekan tombol lift.

Tapi, sesaat ia teringat sesuatu. Ia berpaling ke arah petugas jaga, yang sedari tadi tidak melepaskan pandangan mata darinya.

“Ada pizza di bawah…! Untuk pesta komandan…!” kata Tiara sambil masuk lift sebelah kanan, yang pintunya sudah membuka setelah terdengar bunyi “kling.”

“Siap Bu…!” kata petugas jaga sambil memandang sosok polisi berbadan tegap, berambut pendek, berwajah cantik, yang segera menghilang ke dalam lift kanan itu. 

Hanya beberapa detik setelah kepergian Tiara, terdengar lagi bunyi “Kling…!” Dan, pintu lift di sebelah kiri terbuka secara otomatis. 

Petugas jaga melihat ke arah pintu lift. Pandangan mata dan wajahnya menunjukkan rasa heran ketika melihat siapa yang datang. 

“Kok bisa naik…? Itu Iptu Tiara barusan turun…!” kata petugas jaga, begitu ia melihat seorang lelaki berseragam perusahaan pizza delivery, keluar dari pintu lift, sambil membopong tumpukan kotak karton berisi pizza.

“Tadi kata petugas di bawah disuruh langsung naik…!” kata pemuda pizza itu sambil tersenyum.

“Sila taruh dulu semuanya di situ…!” kata petugas jaga sambil menunjuk sebuah meja pajangan di sudut di dekat pintu masuk. Pengantar pizza pun meletakkan tumpukan pizza nya di situ. 

Pada saat bersamaan, di lantai lobby Gedung Annex Polda, Tiara gelisah dan celingukan mencari-cari seseorang. Ia menuju ke depan lobby utama dan menebarkan seluruh pandangannya ke luar pintu. Intuisinya mengatakan ada sesuatu yang janggal. Tiara pun segera menuju pintu lift kembali.

Begitu menekan tombol, sesaat kemudian pintu lift terbuka. Ia tak bisa langsung masuk karena ada seorang pemuda yang hendak keluar dari dalam lift. Setelah mempersilakan pemuda itu keluar, Tiara pun memasuki lift. Sekilas ia sempat melirik kelebatan sosok pemuda yang baru turun itu. Tiara masih berkonsentrasi pada telepon genggamnya. Pintu lift tertutup. Lalu ia menekan tombol lantai lima.

“Itu pengantar pizza? Siapa yang menyuruhnya naik…?” Tiara membatin. 

Tiara pun cepat-cepat menekan tombol lift untuk membukanya kembali karena ia ingin keluar lagi. Tapi kabin lift sudah terlanjur bergerak naik. Tiara agak panik. Ia menekan semua tombol lift agar berhenti. Tapi lift terus naik. Ia pun menekan tombol darurat.

Ketika itulah tubuh Tiara tiba-tiba terhuyung, bersamaan dengan terdengarnya suara dentuman keras. Ia merasakan guncangan di dalam lift. Seperti ada gempa bumi. Pada detik berikutnya, lampu lift mati. Saluran listrik di seluruh gedung putus mendadak. Kemudian terdengar bunyi alarm tanda bahaya dan kebakaran. 

Tiara terjebak dalam kegelapan lift yang macet. Ia mencoba untuk berdiri. Tapi kakinya terpeleset. Ia jatuh terduduk. Tapak sepatunya menginjak sesuatu yang licin. Lalu terdengar bunyi gemerincing. Ia meraba-raba lantai. Telapak tangannya menemukan sesuatu. Selongsong peluru! Lalu ia mengambil telepon genggamnya dan menyalakan lampu sorot. Ia menerangi selongsong yang ada di tangannya. Lalu ia menerangi seluruh lantai lift. Ia menemukan dua selongsong lainnya. Ia tertegun. 

Sesaat kemudian ia menyadari situasi. Ia segera menelepon Kompol Arka. Tapi telepon yang ditujunya tidak berjawab.

“Sial…!” kata Tiara. 

Tidak ada alat komunikasi di ruang rapat itu. Semua sudah dititipkan di locker petugas jaga.

Dengan bantuan lampu telepon genggamnya, ia menggerakkan kedua kakinya yang panjang untuk menekan dinding lift. Perlahan-lahan ia memanjat ke atas dan meraba-raba mencari celah untuk membongkar atap kabin lift. Namun, apa yang dicarinya tidak ditemukan. Atap kabin lift itu rata tanpa celah. Ia pun turun lagi. Tiara terduduk di lantai lift. Udara mulai terasa panas dan menyesakkan. 

Tiara membuka lagi pesan singkat yang tadi diterimanya, sebelum turun dari lantai lima. Dari galeri foto ia membaca screen-shot itu:

“Semoga Tiara sehat walafiat. Amin.”

Amin Cyber Army? Tiara pun menendang pintu lift itu sekeras-kerasnya. Bum…!

Kabin lift turun sedikit. Ia melihat seberkas cahaya matahari dari balik pintu lift. Semangatnya bangkit lagi. Dengan segala cara ia mencoba merenggangkan daun pintu yang hanya tampak celahnya sekitar satu jari. Perlahan-lahan, dengan keringat yang mulai bercucuran, ujung-ujung jari kedua tangannya bisa sedikit menggeser daun pintu. Begitu terbuka satu buku jari, ia mengeluarkan pistol dan mengganjal pintu dengan ujung pistol. Lalu ia mengungkitnya. Dengan dorongan tumit sepatu, pintu itu pun terbuka separuh. Lalu ia mengeluarkan kedua kakinya. Kemudian mendorongkan pinggulnya keluar, sampai seluruh badannya meluncur perlahan ke permukaan lantai. Rupanya ia muncul di lobby lantai dua. 

Bersamaan dengan itu, regu pengamanan gedung muncul membawa sejumlah peralatan. Mereka menghampiri Tiara.

“Inspektur dari lantai berapa…?” kata seorang Tamtama, yang langsung memberi hormat ketika melihat Tiara.

“Saya barusan dari lantai dasar,” kata Tiara, sambil memperhatikan mereka dengan heran. Apa yang baru terjadi? Tiara menyadari beberapa pasang mata menatapnya dengan sorot curiga.

Avatar photo

About Noorca M Massardi

Creative Writer, Author, Anggota LSF, tinggal di Tangerang Selatan. Karya Novel: Sekuntum Duri - Mereka Berdua - September - Straw - 180 - Setelah 17 Tahun. Kumpulan Puisi: Hai Aku Sent To You - Hai Aku - Ketika 66 - Pantai Pesisir