Menkopolhukham yang juga Ketua PPATK Mahfud MD meminta Bambang Pacul selaku pimpinan Komisi III untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset dan dan RUU pembatasan Uang Kartal Namun Ketua Komisi III itu angkat tangan. Menyerah. Lobinya jangan di sini, katanya.
OLEH DIMAS SUPRIYANTO
SASTRAWAN besar Anton Pavlovich Chekhov – yang populer dengan sebutan Anton Chekov pernah mengatakan “puncak tragedi adalah komedi”. Pada setiap kepedihan dalam tragedi, bagi penulis cerpen dan lakon drama asal Rusia ini, ada sesuatu yang pantas untuk ditertawakan.
Begitulah yang nampak dari pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul saat rapat Komisi III DPR bersama Menko Polhukam Mahfud MD pada Rabu (29/3) yang kini jadi pergunjingan ramai.
Dia mengampaikan pernyataan yang tragis – sungguh tragedi bagi bangsa dan negara ini – dengan gaya jenaka, dan mirip pelawak Srimulat. Dengan mimik melucu dia menyampaikan ketidakberdayaannya sebagai wakil rakyat di gedung parlemen yang seharusnya begitu berdaya dan terhormat.
Padahal, yang sedang dibicarakan adalah silang sengkarut uang rakyat dan uang negara berjumlah Rp349 triliun – angka yang sangat fantastis – yang raib dan kini dikuasai oleh orang orang yang tak berhak. Jika saja uang sebanyak itu dibelanjakan ke hal yang benar – pembangunan infrastuktur misalnya – semakin merata kesejahteraan yang dinikmati rakyat kita. Jika dinvestasikan ke hal yang benar, maka makin tegak kepala kita di antara bangsa lain.
Dalam rapat dengar pendapat yang memanas, itu, Menkopolhukham yang juga Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Mahfud MD meminta Bambang Pacul selaku pimpinan Komisi III untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset dan dan RUU pembatasan Uang Kartal.
Dengan UU itu, maka aset / kekayaan dari orang orang yang tak sesuai profilnya – dengan melimpahnya harta yang entah diperoleh cara apa dan dari mana – dalam posisi sebagai penyelenggara negara, bisa dirampas untuk negara.
Namun Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, selaku Ketua Komisi III mengelak. Angkat tangan. “Republik di sini ini gampang, Pak. Senayan ini gampang. (Tapi) lobinya jangan di sini, Pak, “ kata Bambang Pacul dengan gaya seorang komedian.
“Korea-korea ini nurut ‘bosnya’ masing masing. Di sini boleh ngomong galak, Pak. Tapi, kalau Bambang Pacul ditelepon Ibu, ‘Pacul berhenti’! Y, a siap! Laksanakan! Laksanakan, Pak,” ujar Bambang, disambut gelak tawa anggota dewan yang lain.
Menurut Bambang Pacul, semua anggota DPR akan menuruti dan melaksanakan apa yang menjadi perintah Ketua Umum Partai masing masing.
“Korea korea ini” – dalam sebutan Bambang Pacul – nampak sebagai wayang yang dimainkan oleh para dalang, prajurit yang diperintahkan komandan – notabene boss partai masing masing. Padahal rakyat memilih mereka – masing masing dari mereka – untuk mewujudkan aspirasi rakyat, bukan semata mata memilih partai.
Ternyata setelah terpilih, setelah duduk di komisi komisi dan jadi anggota fraksi di gedung parlemen, mereka mengabdi kepada partai. Bukan kepada rakyat.
LANGSUNG teringat kenangan lawas, ketika grup lawak legendaris Srimulat mengakhiri pertunjukkan panggungnya di komplek Taman Ria Senayan, pada Mei 1989 . Koran ‘Kompas’ menulis di rubrik ‘Pojok’-nya, dengan satire yang menohok, “Habis, kalah lucu sama gedung di sebelahnya”.
Masa itu, para pembaca Kompas sama sama mahfum, gedung di sebelahnya adalah gedung DPR /MPR RI.
Artinya sejak dulu kala, dan hingga kini – memang DPR penuh dengan pelawak dan makhluk lucu. Belakangan hadir pelawak sesungguhnya jadi anggota dewan di sana.
MENYAMPAIKAN curahan hati dengan cara komedi adalah ekspresi ketidakberdayaan gaya Bambang Pacul – dan nampaknya anggota dewan yang lain. Dengan humor dengan tertawa, manusia menjadi berani, demikian Rabelais mengatakan dalam pengantarnya di dalam bukunya “Gargantua dan Pantagruel”.
Bambang Pacul mencoba meringankan beban tugasnya dan membuat utuh rasa kemanusian kita berempati.
Meski sekuat tenaga ingin membela rakyat – jika itu benar, sebab sebagian lain duduk di Senayan dalam rangka memperkaya diri – bila Boss Partai memerintahkan yang lain, mereka tak berdaya. Atau kena PAW – pergantian antar waktu. Hilang jabatan.
“Kalau saya hilang jabatan ya ngarit lagi, “ katanya. Ngarit artinya menyabit rumput untuk kambing atau sapi piaraan di kampung. Jadi kembala ternak.
NAMPAKNYA sebagai anak bangsa, kita tak usah serius menanggapi aksi aksi anggota dewan – khususnya di Senayan. Mereka cuma petugas, pesuruh dan operator bagi elite dan Ketum Partai masing masing. Mereka pukan politisi – apalagi wakil rakyat.
Jika selama ini oligarki ditunjukan kepada konglomerat Tionghoaa binaan Orde Baru yang berlanjut ke Orde Reformasi, lupakan. Oligarki itu adalah para Ketum Partai yang ketika pidato nampak berbusa busa, bicara kesejahteraan rakyat, kemakmuran bersama, namun dalam praktiknya hany mementingkan kelompoknya sendiri.
Kita sebagai manusia, sebagai bangsa, sedih. Menangis. Tak habis pikir. Tapi memang jangan menjadi terlalu serius. Dengan otak dan pengetahuan terbatas, sulit mencari kebenaran untuk memahami jalan pikiran para anggota dewan dan pimpinan mereka.
Sastrawan Ceko, Milan Kundera mengutip pepatah Yahudi, “Ketika manusia berpikir, maka Tuhan pun tertawa.” Artinya, bagi mereka yang otaknya terbatas, gak usah kelewat mikir. Salah salah bisa jadi gila. Kita pun tertawa dengan pepatah itu.
Miguel de Carventes atau Francois Rabelais jauh di abad 15, melalui sosok Alonso Quixano, seorang bangsawan Spanyol, mengolok-olok sejarah dan keadaan di masa itu dengan parodi.
Alonso kehilangan akal dan mengidap halusinasi Lantaran banyak kisah dongeng ksatria, yang dibacanya. Lalu dia memutuskan untuk menjadi “pahlawan kesiangan” bernama Don Quixote de La Mancha. Dia menunggangi kuda kurus bernama Rocinante dan membawa petani di desanya, Sancho Panza sebagai pengawalnya.
Tapi semua kisah epik ini hanya berkutat di kepala Don Quixote saja. “Somewhere in La Mancha, in a place whose name I do not care to remember…” dia mengawali ceritanya. Di suatu tempat di La Mancha, di tempat yang namanya tidak ingin kuingat…”
Otak Don Quixote ‘mengering’ karena terlalu banyak membaca, sehingga ia tidak dapat memisahkan antara fantasi dan realita. Seperti di Senayan nurani anggota dewan mengering karena dalam kendali boss partai.
Antara kisah fantasi atau realita, semua saling silang. Dan kita lihat hari ini. Tak ada kebenaran absolut dalam cerita nyata yang kita saksikan ini. Kita terus dibawa ke peristiwa peristiwa membingungkan di antara realitas dan fantasi.
Begitu banyak paradoks yang membuat kita yang sok serius, mungkin bertanya-tanya, “realitas kehidupan yang kita jalani ini nyata atau fana?”
Yang ditampilkan para wakil rakyat di Senayan adalah komedi. Padahal yang dihadapi bangsa dan negara ini adalah tragedi. ***