Oleh ERIZELI JELY BANDARO
Waktu tahun 2000an, banyak orang kaya mendadak. Mengapa ? Setelah asset obligor diserahkan kepada BPPN lewat skema MSAA, utang dinyatakan lunas. Kasus perdata dan pidana selesai.
Itu penyelesaian diluar pengadilan. Ada dasar hukumnya, yaitu UU, Tap MPR dan Inpres. Harap dicatat. Waktu asset diserahkan, obligor harus membuat catatan bahwa semua asset itu clean.
Artinya kalau ada hutang kepada pihak ketiga, itu tanggung jawab mereka. Soal aset itu nilainya setelah dijual hanya 30%. Tak penting dipersoalkan. Wajar saja. Aset itu bernilai kalau ada cashflow. Cashlflow macet, aset jadi tak berharga.
Siapa yang kaya raya?
Pertama adalah lawyer atau pengacara. Mereka inilah yang deal dan loby dengan BPPN. Pasti ada deal dengan obligor agar dapat menghasilkan deal yang terbaik. Fee bukan lagi soal ongkos tetapi sudah sharing atas deal yang dicapai.
Setelah SKL dan MSAA ditandatangani, maka itu sudah jadi keputusan final. Kalau ada ditemukan kecurangan, tugas laywer yang akan menjaga kasus itu agar tidak pernah masuk ke pengadilan. Kontrak selama 18 tahun!
Kedua, adalah para proxy, para obligor. Mereka ini bukan siapa- siapa. Tetapi dijadikan joki untuk ikut lelang aset BPPN. Artinya obligor beli aset mereka sendiri dengan harga murah. Artinya lagi, mereka bayar utang dengan diskon, kalau dia beli aset itu seharga 30%.
Itu sama saja dapat diskon 70%. Keren ya. Para proxy ini sampai kini tetap eksis. Mereka jadi OKB. Seperti orang kaya padahal hanyalah boneka obligor. Para proxy ini juga jadi pendukung partai dan ada yang bikin partai.
Ketiga, adalah anggota DPR dan Partai. Mereka ini ikut menekan dan mempengaruhi kebijakan BPPN, KKSK dan Menteri Perekonomian. Bayaranya bukan lagi fee. tetapi share. Tidak kecil jumlahnya. Waktu itu belum ada KPK.
Apakah negara dirugikan dari kasus BLBI ini? Skemanya tidak. Karena walau aset dijual hanya paling tinggi 30%. Namun dari skema BLBI itu, pemerintah bisa keluarkan obligasi rekap.
Ini sama saja dengan QE. Dari skema QE ini, perbankan jadi sehat dan ekonomi bisa bergerak lagi. Era SBY, PDB tumbuh dari 2004 sebesar Rp. 2.300 Triliun jadi Rp 12.000 trliun tahun 2018. Kalaulah tidak ada penyelesaian BPPN, kita tidak akan bisa melipatgandakan PDB.
Penyelesaian politik memang sulit menjangkau rasa keadilan. Namun karena politik juga kompromi terjadi untuk agenda lebih besar. Semoga paham.