Trekking Malam 1 Suro, Masih Ada Macan Tutul di di Gunung Salak

Kawah Ratu01 – Foto Endang Mariani

Pesona Kawah Ratu . para alumni Menwa UI yang tergabung dalam Alumni Peduli Center ILUNI UI dan sering turun ke kebencanaan ini mendaki dari kawasan Kecamatan Cidahu, Sukabumi. “Kami naik tengah malam, agar tiba pagi hari,” kata Endang. – Foto Endang Mariani


Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide/id 22/07/2023 – Berbeda dengan konsep budaya ataupun agama-agama yang dianut masyarakat dunia pada umumnya, dalam sistem kalender Islam, hitungan waktu 1 (satu) hari tak dimulai pada ‘tengah malam’ ataupun saat matahari terbit di pagi hari, melainkan diawali pada saat matahari tenggelam di ufuk barat dan suara azan berkumandang sebagai tanda datangnya waktu shalat Magrib.

Begitu pula tahun 1444 Hijriyah yang berakhir di sore (saat terdengar beduk Magrib) tanggal 19 Juli 2023, dan malam pertama. 1 Muharam 1445 Jijriyah pun dimulai. Banyak cara orang ngakoni Malam Tahun Baru Islam yang di Jawa popular sebagai Malam 1 Suro. Psikolog. Dr Endang Mariani misalnya, melakoninya dengan trekking ke Kawah Ratu bareng teman yang disebutnya para Marshal UI-HM 2023.

Trekking adalah aktivitas wisata (biasanya) jalan kaki menempuh medan yang relatif sulit dalam jarak panjang, sedangkan Kawah Ratu adalah areal kawah (dipenuhi asap belerang dan aliran air yang bersumber di perut bumi) di sebuah punggungan Gunung Salak, dan merupakan bagian dari Taman Nasional Gunug Salak – Halimun (TNGS-H) di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Ada beberapa beberapa lokasi wisata di kawasan Bogpr ataupun Sukabumi, yang biasa digunakan sebagai titik start mendaki ke Kawah Ratul Endang dan teman-temannya, para alumni Menwa UI yang tergabung dalam Alumni Peduli Center ILUNI UI dan sering turun ke kebencanaan, itu mendaki dari kawasan Kecamatan Cidahu, Sukabumi. “Kami naik tengah malam, agar tiba pagi hari, ” Kata Endang.

Kawah Ratu saat ini merupakan bekas lutusan Gunung salak yang terakhir pada tahun 1938; Memiliki luas kitaran 2 hektar hingga kini Kawah Ratu masih mengeluarkan uap dan aie panas serta gas belerang. Dari arah Cidahu ataupun dari Desa Gunung Bunder di Pamijahan – Bogor, Kawah Ratu bisa dicapai dalam tempo 3 jam atau kitaran 6 jam jalan kaki pergi-pulang.

Namun namanya tadabbur alam, berwisata sambil menghayati apa yang ada di langit dan bumi, yang sengaja diciptakanNya untuk kita bisa lebih mengenal, lebih dekat dengan alam sekaligus agar ikut menjaga dan melestarikan keberadannya, maka jangan heran bila perjalanan naik turun selalu molor dari target, karena ada saja saujana indah yang memaksa langkah unuk berhenti, sejenak dua jenak.

Dan Kawah Ratu serta jalur setapak ke dan dari lokasi start, memang memiliki banyak hal yang bisa memaksa langkah berhenti, selain kebuhuhan isirahat yang memang dianjurkan selang beberapa jenak kaki melangkah, naik ataupun saat pulang. Dan sering kita malah sengaja beristirahat lebih lama, karena ada suatu ‘paksan hati’ untuk berhenti: ada view apik buat latar ber-selfie, hihihi…!

Macan Tutul (Panthera pardus) Gunung Salak – Foto Heryus Saputro Samhudi

Bagi yang belum pernah ke Kawah Ratu, belum kenal medan hingga berkemungkinan menyulitkan perjalanan, ada baiknya menggunakan pemandu. Apalagi bila trekking malam. Tanda penunjuk jalan masih kurang, ditambah kondisi jalan setapak yang sering hilang karena tertutup serasah atau tumbuhan di lantai hutan tumbuh lebih cepat di kawasan subur dengan curah hujan yang tinggi itu.

Sering terjadi, maksudnya ingin ke Kawah Ratu yang terletak di punggungan, eh… malah tersesat hingga ke satu dari beberapa puncak Gunung Salak. Karena itu, jangan lupa membawa serta perlengkapan standard, khususnya lampu senter atau penerang jalan, sweater serta ponco hujan. Ssst…! Tongkat untuk pengukuh tumpuan langkah, juga penting dibawa dalam daypack, lho…!

Kawasan Gunung Salak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Sukabumi, merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Salak – Halimun (TNGS-H) dengan hutan tropis lebat, dan merupakan habitat berbagai satwa liar “Kemarin, saat turun dari Kawa Ratu, kami sempat temukan kotoran nacan kumbang/tutul (Panthera pardus) dengan serpihan tulang babi (Sus scrofa),” ungkap psikolog Dr Endang Mariani.

Karena masih dihuni macan kumbang alias macan tutul, maka tak heran bila di berbagai lokasi wisata berkemah di sekitar Kawasan TNGS-H selalu ada ada plank ataupun pengumuman resmi pihak pengelola setempat, yang antara lain melarang pekemah menyelenggarakan ‘pesta’ Kambing Guling atau bahkan memanggang ikan. Karena berkemungkinan disatroni macan tutul. ***

22/07/2023 pk 08:59 WIB

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.