Itulah klaim mayoritas istri. Suami yang baik, seluruh income “formal” ditransfer ke rekening istri. Kalau butuh uang, sang suami minta ke istri.
Sang istri yang ilmu matematikanya lebih pinter dari Einstein, bisa memperkirakan kebutuhan suami jika punya keperluan. Istri akan memberi uang yang pas jiplas.
Kalau pun sang suami mau irit, dan uang dari istri tersisa, kelebihan itu tak cukup untuk mentraktir teman yang baru dikenalnya di perjalanan atau di mall. Nah lo!
Solusinya, diam-diam suami menyimpan uang tanpa sepengetahuan istri. Ini uang dari sumber lain — income informal, yang tak diketahui istri. Tapi sang istri pinter. Untuk mengakali agar income informal itu tak bercokol di kantong suami, sang istri punya resep jitu.
“Pah, income itu harus masuk ke rekening istri. Dari mana pun. Kalau tidak, gak berkah. Uang di istri itu akan berkah dan menambah rejeki suami.”. Weleh kena lo suami .
Rumus di atas mungkin tidak berlaku untuk orang kaya raya. Aku punya teman, yang di tas kecilnya, jika bepergian informal (nonbisnis), selalu tersedia uang minimal Rp 40 juta, tiap hari. Jika ia perkirakan pertemuan informalnya berskala besar, ia akan menambah sediaan uang di tasnya, lebih dari 40 juta. Uang itu kadang habis untuk mentraktir teman-temannya. Ya, gak masalah. Karena itulah jatah minimalnya. Orang macam ini mungkin tak terkena hukum di atas, “uangku uangmu. Uangmu uangku.”
Tapi uang berkah dan tidak, kadang ada benarnya. Sebab tak sedikit suami yang bawa uang banyak acap tergoda wanita cantik yang ketemu di mall.
Lagi-lagi aku punya cerita, ini juga temanku, yang gampang sekali tergoda wanita cantik. Kebetulan teman ini ganteng. Di setiap mal yang dia datangi, jika tak bersama keluarganya, ia selalu pulang bersama wanita cantik yang baru dikenalnya. Lalu mereka pergi, entah ke mana. Ah ini contoh uang yang tak berkah jika bercokol di kantong suami.
Bagaimana solusi kasus kedua ini? Ingat anak! Jika ayahnya nakal, besar kemungkinan sang anak akan mengikuti jejaknya.
Solusi ini terinspirasi dari obrolan Gading Marten dengan Ruben. Ketika Gading ditanya Ruben, peristiwa apa yang membuatnya shock berat — ia menjawab ketika ayahnya, Roy Marten, terciduk kedua kali dalam kasus narkoba.
Gading shock. Terus ia bilang, Pah kalau sekali lagi terciduk polisi karena kasus narkoba, aku mau nemani papah di penjara. Ini artinya, Gading pun mau pakai narkoba. Roy Marten kaget. Lalu, ia berjanji tak akan pernah lagi pakai narkoba, demi kebaikan Gading. Ini pun dilakukan temanku yang perokok berat. Tetiba putranya yang baru kelas enam SD merokok. Ia tak berani melarang karena dia perokok. Solusinya ia berhenti merokok dan ia minta anaknya meniru jejaknya. Berhasil, anaknya berhenti merokok.
Jika kasus narkoba dan rokok bisa berhenti dengan cara seperti itu, apakah kasus pria playboy bisa diingatkan dengan cara yang sama?
Soalnya, kalau nafsu seks sudah di ubun, masalahnya sulit dihentikan. Padahal, satu cret masalah, bikin keluarga berantakan. Kalau sang payboy sadar, bagus. Tapi kalau tidak, bersiaplah keluarganya berantakan seperti dua pesohor agama dari Bandung dan Riau itu.
Kasus terakhir mungkin bukan karena income-nya tidak berkah. Tapi lebih karena isi pikiran dan hati duo ustad beken tadi tidak berkah. Kata orang Jawa, keduanya ulama jarkoni. Iso ujar ra iso nglakoni. Ulama jarkoni ternyata hidupnya tidak berkah.
Lalu, bagaimana dengan Nisa Sabyan, pelantun lagu salawat nabi yang fonomenal itu? Ternyata, salawat pun tidak berkah jika dilantunkan wanita cantik yang laris. Kasus terakhir ini aku kehabisan logika untuk menjelaskannya. Sebab, salawat — menurut pandangan Islam — adalah doa paling ampuh untuk menghancurkan dosa. Bersalawatlah, karena malaikat dan Tuhan juga bersalawat. Itulah yang dilakukan Nisa. Ternyata, salawat Nisa tidak berkah untuk dirinya sendiri.