Cerpen: Wajah Yang Menipu

Foto : Gerd Altmann/Pixabay

Aneh! Setiap kali bercermin, saya melihat wajah orang asing. Dan itu bukan wajah saya! Bahkan dengan menggunakan cermin yang lain untuk berkaca, yang muncul wajah berbeda pula.

Gara-gara cermin, saya jadi jengkel. Saya lalu menjejer 1000 cermin sekaligus untuk saya pakai bercermin.

Astaga! Di 1000 cermin itu muncul wajah yang berbeda antara cermin yang satu dan lainnya.

Tiba-tiba saya jadi teramat takut untuk bercermin. Saya tidak ingin melihat atau diburu oleh wajah-wajah asing itu.

Kaca dan apa pun yang mampu memantulkan wajah asing di dalam rumah, langsung saya hancurkan, rusak, dan buang.

Anehnya, perasaan takut itu makin menggila dan menyiksa. Keringat dingin mengucur deras bagai kran air yang bocor. Saya jadi takut tinggal di keramaian. Banyak orang seperti memusuhi dan mengancam jiwa saya. Saya jadi tidak betah dan ingin segera pergi ke tempat yang jauh.

Malam itu, bagai dikejar ketakutan, saya pergi tanpa pamit tetangga. Tujuan kepergian saya adalah tempat yang sepi terpencil untuk menenangkan diri.

Saya membuat tenda di pinggiran hutan yang biasa digunakan oleh anak-anak sekolah untuk kemping.

Amboi! Saya sungguh jadi orang yang bebas sebebasnya dan merdeka. Menikmati indahnya langit bermandikan cahaya bintang. Angin yang berhembus gigilkan daun. Semerbak harum bunga yang membius sukma.

O, semesta! Tenggelamkan saya ke samudra bahagia. Menyusuri rasa tanpa prasangka. Menghapus iri dengki, benci, dan intoteran jadi saling mengasihi.

Dari hari ke hari, saya mencumbui alam untuk jernihkan pikiran dan hati. Bercengkerama bersama alam yang bijaksana, warga pedesaan yang tulus bersaudara dan tanpa curiga. Dan rasa damai penuhi jiwa, menghantar bahagia.

Di suatu pagi, ketika mandi di mbelik, tanpa sengaja saya melihat ke air… astaga! Saya melihat wajah asli seaslinya milik saya. Bagai bermimpi, saya mengucek mata. Berkali-kali saya melihat wajah itu di permukaan air. Saya seperti menemukan wajah yang telah lama hilang.

Usai mandi, saya menari-nari sambil bersiul menuju rumah penjual sarapan di pinggir desa.

Bagai anak kecil yang menemukan kembali mainannya yang hilang, saya melihat wajah sendiri di kaca spion motor.

“Olala! Itu wajah saya!” desis saya berjingkrak saking senang. Lalu saya melihat ke kaca spion yang satunya. Tak ada perubahan. Wajah di kedua spion itu sama. Saya ulangi lagi. Tetap sama pleg, 100% persis!

“Wonten nopo, mas, kok kados mbingungin (ada apa, mas, kok seperti bingung)?” tanya si empunya motor heran.

“Saya dapat rezeki. Boleh ya, semua saya traktir,” kata saya sambil nyengenges.

“Wah, matur nuwun!”

Entah kenapa, berkumpul dengan orang desa yang sederhana dan tulus itu, saya jadi malu sendiri. Ternyata hidup saya selama ini diburu waktu, dicumbui kepura-puraan, gengsi, dan ambisi yang membuat saya jadi sombong.

Melihat wajah orang-orang desa yang sumringah itu, berjuta keinginan yang selama ini menuhi pikiran saya langsung hilang. Saya ingin mengikuti alur hidup orang desa yang alami.

Saatnya saya harus melepas gengsi dan ambisi. Hidup apa adanya. Dan tanpa harus mengenakan topeng…

Cerpen: Terperangkap Jebakan Sendiri

Avatar photo

About Mas Redjo

Penulis, Kuli Motivasi, Pelayan Semua Orang, Pebisnis, tinggal di Tangerang